Share

Keributan

Penulis: Maesaro Ardi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-10 23:39:03

Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya.

"Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut.

"Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu.

Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang.

"Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin.

"Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengambil," kata Bingwen.

"Buat apa? Sepertinya pedang itu juga berat. Kamu yakin mau membawanya? Kamu bisa menggunakannya kah?" Mei Lin tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Bingwen.

Mei Lin memang tahu kalau Bingwen adalah anak lelaki yang gila dengan pedang. Namun baru kali ini Bingwen begitu antusias terhadap satu pedang, walau pedang itu tampilannya buruk.

"Aku tidak yakin bisa menggunakannya dengan baik, mungkin nanti aku akan tanya dengan Guru Bao untuk membenahi pedang ini," jawab Bingwen.

Sebenarnya Bingwen juga tidak tahu kenapa dia bisa begitu tertarik dengan pedang berkarat tersebut. Namun yang pasti, Bingwen merasa seolah ada yang mendorongnya untuk mengambil pedang terbengkalai tersebut.

"Ya sudah, terserah kamu saja Bingwen. Ayo kita pulang, kamu mau bawa pedang itu dengan apa?" tanya Mei Lin.

Tidak mungkin juga Bingwen membawa pedang tersebut dengan kotaknya juga?

"Kamu tenang saja, aku akan membawanya seperti ini," jawab Bingwen sambil membungkus pedang yang dia temukan dengan kain. Setelah itu barulah Bingwen mengambil kain yang agak panjang dari dalam barang bawaannya, dengan telaten Bingwen menggendong benda yang dia temukan barusan.

"Kamu yakin kuat, Bingwen? Perjalanan kita cukup jauh dan terjal," ujar Mei Lin yang dari tadi memperhatikan tingkah laku Bingwen.

"Kamu jangan khawatir, biarpun aku seperti ini. Namun aku masih kuat kok, cuman membawa apa yang sudah tidak digunakan ini bukan?" Bingwen justru makin semangat dalam melangkah.

Meli Linen yang menyaksikan tingkah laku Bingwen, yang tidak membebani fisik Bingwen.

"Menurut kamu, siapa ya pemiliknya? Lalu kenapa pedang itu bisa ada di gua tadi. Aku perhatikan ada ukiran naga di gagang pedang tadi," ujar Bingwen.

"Mana aku tahu itu pedang siapa. Eh tunggu, kamu bilang pedang itu ada ukiran naga? Kok mirip dengan pedang yang ada di tangan gambar pendekar yang ada di tembok itu?" tutur Mei Lin.

Mei Lin yakin dengan apa yang dia katakan, dia yang lebih memperhatikan lukisan gambar di tembok gua.

"Aku rasa pedang ini memang pedang bersejarah, mana tahu juga itu yang ada di lukisan gambar itu tuh para pendekar di zaman dahulu," ucap Mei Lin.

"Memangnya dulu ada cerita yang seperti itu? Bukankah kehadiran para pendekar pedang itu sudah sangat lama terjadi, apa mungkin cerita itu terkubur dan sengaja disembunyikan?" tanya Bingwen.

"Entahlah, Bingwen. Aku juga penasaran, tapi kita perhatikan saja dulu untuk sementara kita kembali dulu. Barulah kita tanyakan pada Ayah. Ayahku juga kan mengerti tentang pedang, kamu bisa tanyakan dengan Ayah," ujar Rian.

Kedua anak muda itu pun meninggalkan gua yang baru saja mereka jadikan tempat petualangan yang baru.

Kesunyian menyelimuti Bingwen dan Mei Lin, walau terkadang Bingwen menunjukkan bakat yang belum pernah Mei Lin.

"Keramaian apa itu?" tanya Bingwen ketika dia menyadari ada sekelompok penduduk yang tengah berkerumun di depan pondok Guru Bao.

"Aku tidak tahu, Bingwen. Firasatku enggak enak, ayo cepat kita ke sana," ucap Mei Lin sambil menarik tangan Bingwen.

Bingwen terseok-seok mengikuti langkaj kaki Mei Lin yang jauh lebih lebar darinya, walau Bingwen laki-laki dan lebih tua dari Mei Lin. Namun dari segi fisik, Mei Lin lebih unggul darinya.

Mei Lin menerobos kerumunan penduduk yang meributkan sesuatu yang tidak dipahami oleh Bingwen. Apa yang Bingwen tangkap dari ucapan mereka hanyalah, kerajaan barat mulai melakukan penyerangan.

"Ayah!" Seru Mei Lin saat dia melihat sang ayah baru saja memberikan arahan pada anak didiknya, yang sudah berada di tingkat senior pelatih.

Pada tingkat itu, mereka dipercaya untuk melatih murid baru atau yang lambat menyusul ketinggalan seperti halnya Bingwen.

Di antara para senior itu, tentu ada Ni Lou dan Ni Me. Keduanya melirik ke arah Bingwen sambil tersenyum mengejek.

"Ayah, apa yang terjadi? Kenapa ramai sekali di sini?" tanya Mei Lin.

"Kamu dari mana saja, Ayah hampir meminta tolong Ni Lou untuk mencarimu dan Bingwen," jawab Guru Bao.

"Guru.... Sebenarnya ada apa? Kenapa semuanya berkumpul? Apa yang terjadi?" Bingwen pun tidak lagi berdiam diri. Hatinya panas ketika diremehkan oleh dua orang yang sering menindasnya.

"Bingwen, untuk sementara waktu kamu jangan keluar dari lingkungan pondok. Kamu pasti sudah dengar desas-desusnya, bahwa kerajaan barat akan menyerang kerajaan kita. Aku sudah mendapat mandat untuk ikut serta melawan pasukan kerajaan barat," tutur Guru Bao.

"Guru, tidak bisakah aku ikut? Aku mungkin bisa membantu Guru," pinta Bingwen yang langsung disambut gelak tawa Ni Lou dan Ni Me.

Keduanya pun berjalan mendekati Bingwen yang masih terpaku, menanti jawaban dari sang guru.

"Bingwen, Bingwen. Kamu ini seberapa bodoh sih? Kamu mau ikut terjun ke medan perang? Kamu pikir kamu ini siapa?" tanya Ni Lou.

"Ni Lou, jangan kasar begitu. Kamu harusnya biarkan saja. Siapa memangnya yang boleh maju ke medan perang? Tentu saja bukan orang seperti kamu," sahut Ni Me.

Tawa menyebalkan Ni Lou dan Ni Me sungguh menyakiti hati Bingwen, tapi dia juga sadar diri. Apa yang dikatakan Ni Lou dan Ni Me memang benar, ketidakberdayaan itulah yang menjadi penghalang di antara mereka.

"Berhentilah, sampai kapan kalian harus bertengkar tidak tahu tempat? Ni Lou, Ni Me, kalian ingin dekat sekali dengan pars musuh itu? Medan perang tidak seperti apa yang kalian lihat," tutur Guru Bao.

"Maafkan kami, Guru. Kami tidak bermaksud buruk. Kami hanya ingin menyadarkan Bingwen kalau pilihannya itu salah besar," jawab Ni Lou dan Ni Me bersamaan..

Belum selesai Guru Bao memberikan himbauan, dua orang lelaki penduduk kaki gunung itu berlari dengan cepat menghampiri Guru Bao.

"Guru gawat, Guru....!" Seru kedua lelaki tersebut. Wajah keduanya pucat pasi, seakan baru saja melihat penghuni hutan saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bangkitnya Swordmaster   Menjadi Prajurit Bayaran

    "Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked

  • Bangkitnya Swordmaster   Trik sihir

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah janji

    Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa

  • Bangkitnya Swordmaster   Rencana Baru

    "Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah Kenyataan

    Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik

  • Bangkitnya Swordmaster   Menghadap Raja Peri Fei Gu

    "Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status