Share

Keributan

Bingwen mengangkat benda dari dalam kotak tersebut, benda yang cukup berat baginya.

"Pedang macem apa ini, Bingwen? Sudah berkarat sekali, jangankan untuk mengalahkan lawan. Paling buat motong sayuran juga tidak akan bisa," celetuk Mei Lin setelah Bingwen membuka pembungkus benda tersebut.

"Masa kamu bilang begitu? Bukankah kamu merasa ada yang aneh dengan pedang ini?" tanya Bingwen sambil membolak-balik pedang yang sudah berkarat itu.

Walau agak berat dan karatan, tapi bentuk pedang tersebut masih kokoh. Bahkan terdapat ukiran naga di gagang pedang.

"Hal aneh apa? Aku tidak merasakan apapun kok. Mending kamu kembalikan saja pedang itu ke tempatnya, Bingwen. Karena kita sudah tahu isi dari kotak tersebut, kita pulang saja yuk. Aku takut Ayah sudah pulang. Pasti Ayah akan khawatir," ujar Mei Lin.

"Kamu benar, Mei Lin. Kita pulang saja, tapi kalau aku bawa pedang ini bisa kali ya. Kan pedang ini juga pasti sudah dibuang, buktinya sampai keadaannya begini saja tidak ada yang mengambil," kata Bingwen.

"Buat apa? Sepertinya pedang itu juga berat. Kamu yakin mau membawanya? Kamu bisa menggunakannya kah?" Mei Lin tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Bingwen.

Mei Lin memang tahu kalau Bingwen adalah anak lelaki yang gila dengan pedang. Namun baru kali ini Bingwen begitu antusias terhadap satu pedang, walau pedang itu tampilannya buruk.

"Aku tidak yakin bisa menggunakannya dengan baik, mungkin nanti aku akan tanya dengan Guru Bao untuk membenahi pedang ini," jawab Bingwen.

Sebenarnya Bingwen juga tidak tahu kenapa dia bisa begitu tertarik dengan pedang berkarat tersebut. Namun yang pasti, Bingwen merasa seolah ada yang mendorongnya untuk mengambil pedang terbengkalai tersebut.

"Ya sudah, terserah kamu saja Bingwen. Ayo kita pulang, kamu mau bawa pedang itu dengan apa?" tanya Mei Lin.

Tidak mungkin juga Bingwen membawa pedang tersebut dengan kotaknya juga?

"Kamu tenang saja, aku akan membawanya seperti ini," jawab Bingwen sambil membungkus pedang yang dia temukan dengan kain. Setelah itu barulah Bingwen mengambil kain yang agak panjang dari dalam barang bawaannya, dengan telaten Bingwen menggendong benda yang dia temukan barusan.

"Kamu yakin kuat, Bingwen? Perjalanan kita cukup jauh dan terjal," ujar Mei Lin yang dari tadi memperhatikan tingkah laku Bingwen.

"Kamu jangan khawatir, biarpun aku seperti ini. Namun aku masih kuat kok, cuman membawa apa yang sudah tidak digunakan ini bukan?" Bingwen justru makin semangat dalam melangkah.

Meli Linen yang menyaksikan tingkah laku Bingwen, yang tidak membebani fisik Bingwen.

"Menurut kamu, siapa ya pemiliknya? Lalu kenapa pedang itu bisa ada di gua tadi. Aku perhatikan ada ukiran naga di gagang pedang tadi," ujar Bingwen.

"Mana aku tahu itu pedang siapa. Eh tunggu, kamu bilang pedang itu ada ukiran naga? Kok mirip dengan pedang yang ada di tangan gambar pendekar yang ada di tembok itu?" tutur Mei Lin.

Mei Lin yakin dengan apa yang dia katakan, dia yang lebih memperhatikan lukisan gambar di tembok gua.

"Aku rasa pedang ini memang pedang bersejarah, mana tahu juga itu yang ada di lukisan gambar itu tuh para pendekar di zaman dahulu," ucap Mei Lin.

"Memangnya dulu ada cerita yang seperti itu? Bukankah kehadiran para pendekar pedang itu sudah sangat lama terjadi, apa mungkin cerita itu terkubur dan sengaja disembunyikan?" tanya Bingwen.

"Entahlah, Bingwen. Aku juga penasaran, tapi kita perhatikan saja dulu untuk sementara kita kembali dulu. Barulah kita tanyakan pada Ayah. Ayahku juga kan mengerti tentang pedang, kamu bisa tanyakan dengan Ayah," ujar Rian.

Kedua anak muda itu pun meninggalkan gua yang baru saja mereka jadikan tempat petualangan yang baru.

Kesunyian menyelimuti Bingwen dan Mei Lin, walau terkadang Bingwen menunjukkan bakat yang belum pernah Mei Lin.

"Keramaian apa itu?" tanya Bingwen ketika dia menyadari ada sekelompok penduduk yang tengah berkerumun di depan pondok Guru Bao.

"Aku tidak tahu, Bingwen. Firasatku enggak enak, ayo cepat kita ke sana," ucap Mei Lin sambil menarik tangan Bingwen.

Bingwen terseok-seok mengikuti langkaj kaki Mei Lin yang jauh lebih lebar darinya, walau Bingwen laki-laki dan lebih tua dari Mei Lin. Namun dari segi fisik, Mei Lin lebih unggul darinya.

Mei Lin menerobos kerumunan penduduk yang meributkan sesuatu yang tidak dipahami oleh Bingwen. Apa yang Bingwen tangkap dari ucapan mereka hanyalah, kerajaan barat mulai melakukan penyerangan.

"Ayah!" Seru Mei Lin saat dia melihat sang ayah baru saja memberikan arahan pada anak didiknya, yang sudah berada di tingkat senior pelatih.

Pada tingkat itu, mereka dipercaya untuk melatih murid baru atau yang lambat menyusul ketinggalan seperti halnya Bingwen.

Di antara para senior itu, tentu ada Ni Lou dan Ni Me. Keduanya melirik ke arah Bingwen sambil tersenyum mengejek.

"Ayah, apa yang terjadi? Kenapa ramai sekali di sini?" tanya Mei Lin.

"Kamu dari mana saja, Ayah hampir meminta tolong Ni Lou untuk mencarimu dan Bingwen," jawab Guru Bao.

"Guru.... Sebenarnya ada apa? Kenapa semuanya berkumpul? Apa yang terjadi?" Bingwen pun tidak lagi berdiam diri. Hatinya panas ketika diremehkan oleh dua orang yang sering menindasnya.

"Bingwen, untuk sementara waktu kamu jangan keluar dari lingkungan pondok. Kamu pasti sudah dengar desas-desusnya, bahwa kerajaan barat akan menyerang kerajaan kita. Aku sudah mendapat mandat untuk ikut serta melawan pasukan kerajaan barat," tutur Guru Bao.

"Guru, tidak bisakah aku ikut? Aku mungkin bisa membantu Guru," pinta Bingwen yang langsung disambut gelak tawa Ni Lou dan Ni Me.

Keduanya pun berjalan mendekati Bingwen yang masih terpaku, menanti jawaban dari sang guru.

"Bingwen, Bingwen. Kamu ini seberapa bodoh sih? Kamu mau ikut terjun ke medan perang? Kamu pikir kamu ini siapa?" tanya Ni Lou.

"Ni Lou, jangan kasar begitu. Kamu harusnya biarkan saja. Siapa memangnya yang boleh maju ke medan perang? Tentu saja bukan orang seperti kamu," sahut Ni Me.

Tawa menyebalkan Ni Lou dan Ni Me sungguh menyakiti hati Bingwen, tapi dia juga sadar diri. Apa yang dikatakan Ni Lou dan Ni Me memang benar, ketidakberdayaan itulah yang menjadi penghalang di antara mereka.

"Berhentilah, sampai kapan kalian harus bertengkar tidak tahu tempat? Ni Lou, Ni Me, kalian ingin dekat sekali dengan pars musuh itu? Medan perang tidak seperti apa yang kalian lihat," tutur Guru Bao.

"Maafkan kami, Guru. Kami tidak bermaksud buruk. Kami hanya ingin menyadarkan Bingwen kalau pilihannya itu salah besar," jawab Ni Lou dan Ni Me bersamaan..

Belum selesai Guru Bao memberikan himbauan, dua orang lelaki penduduk kaki gunung itu berlari dengan cepat menghampiri Guru Bao.

"Guru gawat, Guru....!" Seru kedua lelaki tersebut. Wajah keduanya pucat pasi, seakan baru saja melihat penghuni hutan saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status