(SETELAH KONTRAK, NOVEL INI UPDATE SEHARI 3-5 BAB!!!) Mahesa terbangun dalam kurungan api, kedua tangannya dirantai, dan kekuatannya tersegel. Di hadapannya, kekasihnya disiksa—dan akhirnya dibunuh. Dalam satu hari, dia kehilangan cinta, kekuatan, dan harga diri. Tubuhnya dibuang ke Lembah Sarip, mata dibakar, dan masa depannya dihancurkan. Tapi dunia belum selesai dengannya. Dalam keadaan buta dan hanya bertangan satu, Mahesa dipaksa menapaki kembali jalan pendekar. Bukan demi keadilan—tapi demi balas dendam. Untuk membunuh para pengkhianat. Untuk merebut kembali pusaka, kehormatan, dan takdir bangsa yang dicuri. Mahesa akan menantang iblis, pendekar serikat, bahkan dewa-dewa lama demi satu hal: membakar dunia yang pernah membakarnya.
View More"Di mana aku?"
Suara itu lirih, tapi cukup untuk menyalakan kembali kesadaran yang nyaris padam. Kabut hitam mengepul dari celah-celah batu, melingkupi langit-langit ruangan gelap yang dikelilingi tembok batu merah. Bau daging terbakar dan besi tua menguar dari lantai yang dipenuhi bercak darah.
Pemuda itu tergolek tak berdaya. Tubuhnya terkulai, setengah tenggelam dalam genangan cairan hitam kental. Setiap helaan napasnya berat, seolah paru-parunya menolak udara beracun yang menyelimuti ruangan itu.
Tangan kirinya terangkat, tapi berhenti setengah jalan. Borgol hitam menyala api membelenggu pergelangan tangannya, menancap ke tiang besi yang menguarkan panas iblis. Rantai itu bukan sekadar pengikat, melainkan kutukan hidup yang menyegel seluruh kekuatan batin dan energi spiritualnya.
“Aaaaaargh!”
Jeritannya meledak, menggema di antara dinding batu, tapi tak ada jawaban. Tak ada suara selain gemuruh api dan desis hawa jahat yang meresap ke dalam tulang.
Lalu suara langkah terdengar. Pelan. Berat. Penuh ancaman.
Dari balik jeruji yang dipenuhi bara merah, muncul siluet seorang lelaki bertubuh tinggi besar, membawa pedang lebar di bahunya. Matanya memerah, kulitnya kasar seperti sisik naga. Wajahnya menampakkan senyum tipis yang lebih menyerupai ancaman.
“Masih hidup, rupanya,” ujarnya, nada suaranya seperti geraman binatang lapar. “Bagus. Tapi jangan berpikir kau akan keluar dari sini hidup-hidup, Mahesa.”
Mahesa menggertakkan gigi. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tertahan di balik tubuh yang lumpuh.
“Di mana aku?! Apa yang kalian lakukan pada rakyat Nusantara?!”
“Pertanyaan yang bodoh,” sahut lelaki itu. “Kau sudah tahu jawabannya.”
Ia melambaikan tangan. Dua sosok berjubah gelap masuk ke ruangan. Mata mereka menyala merah. Tubuh mereka dibalut bulu kasar seperti binatang hutan. Tiga iblis penjaga menyeret Mahesa dari selnya, mencabik-cabik lantai dengan langkah kasar.
Mahesa melawan. Namun, kekuatannya seolah tenggelam. Tubuhnya seperti tak lagi mengenal jurus. Bahkan aliran napasnya tak sanggup mengalirkan tenaga dalam.
Brak!
Satu pukulan keras menghantam wajahnya. Dua giginya rontok. Darah menyembur dari bibir dan hidungnya. Tubuhnya dibanting ke depan singgasana besar yang menjulang di ujung aula batu.
Di sana, duduk seorang lelaki berikat kepala hitam, bersenjatakan tombak bercahaya kelam. Sorot matanya tajam, dingin, dan penuh kebencian.
“Ki Seno Aji pasti menyesal telah memilihmu sebagai pewaris,” katanya, sinis. “Penerus yang bahkan tak mampu menjaga rakyatnya sendiri.”
Mahesa meludah. “Kau pengkhianat, Wusasena. Kau bukan lagi pendekar, kau... iblis.”
Wusasena bangkit dari singgasananya. Langkahnya tenang, tapi menggetarkan lantai batu. “Kami menawarkan perdamaian. Tapi kalian memilih perang. Dan lihatlah... semua pendekar Nusantara telah tumbang. Kau... yang terakhir.”
Seperti petir menyambar, Mahesa dipukul lagi. Kali ini, dengan tinju berbalut energi kegelapan. Tubuhnya terpental, menghantam tiang logam hingga darahnya menyiprat ke segala arah.
“Beraninya kau menolak serikat pendekar!”
Mahesa mengerang. Di sela rasa sakit, pikirannya membuncah. Kenangan demi kenangan muncul: wajah Ratih, senyum gurunya, darah para pendekar yang gugur demi mempertahankan bumi Nusantara.
Semuanya... hilang.
Langit berubah gelap sejak serikat pendekar bersekutu dengan iblis. Elang Hitam menjadi simbol baru penjajahan. Tiap desa dibakar, tiap anak diburu, tiap pendekar disiksa sampai ajal.
Dan Mahesa... menjadi simbol terakhir perlawanan yang kini nyaris padam.
Jeritan itu berhenti seketika saat sebuah sosok perempuan ditarik masuk ke aula.
Tubuh Ratih kurus dan penuh luka. Bajunya compang-camping, dan matanya sembab.
“Jangan...!” Mahesa meronta, tapi borgol iblis menahan tubuhnya.
Wusasena mencengkeram leher Ratih, lalu mendekatkan wajahnya ke Mahesa.
“Masih mencintainya? Sayang sekali. Karena hari ini, kau akan melihatnya mati di depan matamu.”
Mahesa meronta, memanggil kekuatan yang terkunci dalam tubuhnya. Tapi tak ada yang bangkit. Gatra... mustika merah... tetap diam.
Wusasena mengangkat tangannya.
“Jangan sentuh dia!” Mahesa berteriak, nadanya lebih seperti auman binatang terluka.
“Lawan, kalau bisa,” ejek Wusasena.
Dan detik itu juga, Ratih menatap Mahesa dengan mata berkaca. “Maafkan aku... Hesa.”
Crat!
Darah mengalir. Ratih jatuh ke pelukan Mahesa dengan tubuh tertusuk logam panas.
“Tidak... Ratih... RATIH!!!”
Amarahnya meledak. Jeritan dari dasar hati itu mengguncang istana batu. Tubuh Mahesa mendidih, api hitam meledak dari dalam pori-porinya. Dalam satu gerakan gila, ia mengangkat tangan kirinya—dan menghantamkan kepalan ke dasar tiang hingga tulangnya patah.
Suara retak bergema.
Tangan kirinya... terputus.
Segel iblis hancur. Energi membuncah dari tubuhnya seperti badai. Mata Mahesa menyala. Napasnya terbakar.
“Kau... akan kubakar hidup-hidup, Wusasena!”
Dalam sekejap, pedang api muncul di tangannya. Ia melompat. Tiga iblis penjaga menyerbu dari kiri dan kanan.
Blarr! Blarr! Blarr!
Semua terbakar. Tubuh mereka meleleh menjadi abu.
Wusasena memanggil pasukan tambahan. Tapi Mahesa sudah membentuk pusaran api hitam di sekelilingnya. Ilmu Ajian Angin Tandus bangkit. Setiap langkahnya membawa badai. Setiap tebasan pedangnya menghanguskan.
Ratih tak bergerak di pelukannya. Tapi tubuh Mahesa terus menyala.
“Matilah kalian semua!”
Dan tepat ketika Mahesa hendak menebas Wusasena...
Brak!
Sebuah tangan iblis menghantam tubuhnya dari belakang. Mahesa terbang menabrak tiang istana, darah mengalir dari mulutnya. Sebilah pedang berkilau merah menembus punggungnya.
Semuanya... gelap.
“AKU BELUM MATI!!”Raungan itu menggema ke seluruh lembah, membelah malam dan mengguncang keberanian makhluk yang hendak membunuhnya.Siluman kelelawar mengangkat kepalanya, matanya yang menyala merah seolah terkejut, lalu mengaum lebih keras, membalas tantangan Mahesa. Dengan sayap baja dan cakar berapi, ia menerjang maju, siap mencabik tubuh lawannya yang sudah setengah mati.Tapi Mahesa kini berdiri dengan tekad baru. Tubuhnya mungkin remuk, tapi jiwanya menyala seperti bara. Di dalam gelap yang terus menelan dunia, satu cahaya kecil menyala dalam dirinya—suara Ratih yang menggema di pikirannya.“Harapanku... harapan semua yang gugur... dan harapan bagi yang belum sempat hidup.”Mahesa berjongkok rendah. Telinganya menajam, menangkap suara angin yang berdesir melalui celah sayap kelelawar. Hidungnya mencium aroma darah hangus yang semakin pekat. Ia tahu, waktu makhluk itu hampir habis—tapi hanya jika dia bisa memukul di saat yang tepat.Swiinggg!Sayap menyambar. Mahesa melompat ke
Udara malam berubah menggigil. Pepohonan menunduk seperti berdoa, dan tanah di sekitar Mahesa bergetar pelan seiring datangnya sesuatu yang mengerikan dari langit.Kepakan sayap terdengar semakin mendekat—dalam, kasar, dan disertai bau daging terbakar yang menyengat hidung. Suara-suara binatang hutan menghilang, tertelan keheningan yang menekan. Kabut perlahan menyelimuti pondok Nyai Armilati yang kini tak lagi terlihat.Mahesa berdiri, meski lututnya gemetar. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang pendek. Mata kanannya menatap gelap. Angin menampar wajahnya, dan kabut terasa seperti tangan dingin yang mencoba mencengkram lehernya.“Mahesa Basundara, ujian pertamamu dimulai!”Suara itu menggema dari balik pepohonan, berat, laki-laki, namun tidak menyerang. Hanya mengawasi.“Aku adalah Su. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak akan menolongmu. Tapi aku akan menyaksikan… apakah kau layak hidup atau dikubur malam ini.”Mahesa menggertakkan gigi. Tanpa peringatan—BOOM!Sosok besar menghan
Cahaya temaram dari obor tua menyala redup di sudut-sudut pondok kayu itu. Asap dupa membumbung tinggi ke langit-langit jerami, memenuhi ruangan dengan aroma kayu gaharu dan rempah tajam yang membuat tubuh terasa menggigil.Mahesa melangkah masuk pelan, tongkatnya mengetuk lantai kayu tua. Meski ia buta, tubuhnya tahu bahwa tempat ini berbeda. Setiap langkah seolah melewati waktu. Setiap aroma membawa kenangan yang tak dikenalnya.Di tengah ruangan, duduk seorang perempuan tua berjubah hitam dan syal merah melilit lehernya. Wajahnya keriput, namun matanya bersinar tajam seperti api yang belum padam. Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan, namun menyentuh hati seperti palu godam menghantam tembok.“Selamat datang, Mahesa Basundara,” ucapnya.“Nyai Armilati?” tanya Mahesa pelan.“Sudah terlalu lama aku menunggumu. Dan sekarang kau tiba, dengan tubuh terbakar, mata buta, dan jiwa yang terkoyak.”Ki Cipto berdiri di belakang Mahesa, menunduk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan.“Aku m
Mahesa berjalan sambil menggenggam tongkat kayu pemberian Ki Cipto. Meskipun matanya masih gelap, setiap ayunan tongkat dan bisikan tanah di bawah kakinya menjadi panduan untuk bertahan hidup. Ki Cipto tetap berada di sampingnya, membimbing dalam diam, kadang menahan napas setiap kali Mahesa nyaris tersandung akar atau tergelincir ke tebing curam."Berapa jauh lagi menuju kaki Bukit Pawitra?" tanya Mahesa saat matahari mulai naik ke atas kepala.“Empat hari perjalanan, kalau kita tak berhenti,” jawab Ki Cipto. “Tapi kita tak bisa menempuhnya tanpa istirahat. Tubuhmu belum pulih. Dan kita tak tahu apa saja yang menunggu di depan.”Mahesa mengangguk. Dia tahu Ki Cipto benar. Tapi waktu bukanlah sekutu. Semakin lama ia berjalan tanpa penglihatan dan kekuatan, semakin besar kemungkinan Elang Hitam menemukan jejaknya.Setelah melewati lembah kecil dan hutan basah, mereka tiba di dataran lapang. Pepohonan terbuka, menyisakan pemandangan langit yang pekat—bukan karena awan, melainkan kabut h
Dunia Mahesa kini gelap, bukan karena malam, tetapi karena penglihatannya telah lenyap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari cahaya: suara. Setiap desir angin, tiap gemerisik dedaunan, dan detakan napas—semua itu kini menjadi peta barunya untuk memahami dunia.Ki Cipto berjalan pelan di depan, sesekali membimbing Mahesa dengan tongkat kayu. Lembah Sarip berada jauh di belakang mereka, namun bayangan kematian di tempat itu masih mengikuti setiap langkah.“Kau merasakannya?” tanya Ki Cipto, tiba-tiba berhenti.Mahesa menajamkan pendengaran. Udara di sekelilingnya membeku, seperti aliran energi tak kasat mata menyapu permukaan kulitnya.“Ya… ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan.”Ki Cipto mengangguk. “Kau sudah mulai terbiasa. Tapi ini baru permulaan.”Mereka berhenti di pelataran batu berbentuk lingkaran yang tersembunyi di antara dua tebing curam. Di tengahnya terdapat susunan batu menyerupai altar. Ki Cipto duduk bersila, menarik napa
Gelap.Tak ada cahaya. Tak ada suara. Hanya dingin yang perlahan merayap ke sumsum tulang.Mahesa tak tahu apakah ia telah mati, atau hanya terjebak dalam ruang di antara hidup dan kematian. Tubuhnya melayang, atau mungkin jatuh. Entah. Yang jelas, dia tak merasakan tanah, tak merasakan luka, dan tak merasakan dunia.Kemudian...Bruggggh!Tubuhnya membentur sesuatu. Keras. Penuh duri. Rasa sakit langsung menjalar dari punggung hingga ke kepala. Darah menyembur dari luka terbuka yang belum sempat pulih sejak pertempuran terakhir.Suara sayup angin menyusup dari celah-celah tebing. Aroma tanah basah dan batu hangus memenuhi hidungnya.Dia sadar.Tapi matanya gelap. Bukan karena malam. Tapi karena dunia telah benar-benar menghilang dari penglihatannya. Matanya telah dibutakan oleh kain hitam terkutuk yang membakar retina hingga hancur."Ahh... sial," desahnya.Tangannya meraba tanah di sekelilingnya—batu tajam, akar tua, dan lumut dingin. Udara di sini berat, seperti dipenuhi asap tak ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments