Pembalasan Dewa Pedang Mahesa

Pembalasan Dewa Pedang Mahesa

last updateLast Updated : 2025-07-18
By:  ozedpe_Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

(SETELAH KONTRAK, NOVEL INI UPDATE SEHARI 3-5 BAB!!!) Mahesa terbangun dalam kurungan api, kedua tangannya dirantai, dan kekuatannya tersegel. Di hadapannya, kekasihnya disiksa—dan akhirnya dibunuh. Dalam satu hari, dia kehilangan cinta, kekuatan, dan harga diri. Tubuhnya dibuang ke Lembah Sarip, mata dibakar, dan masa depannya dihancurkan. Tapi dunia belum selesai dengannya. Dalam keadaan buta dan hanya bertangan satu, Mahesa dipaksa menapaki kembali jalan pendekar. Bukan demi keadilan—tapi demi balas dendam. Untuk membunuh para pengkhianat. Untuk merebut kembali pusaka, kehormatan, dan takdir bangsa yang dicuri. Mahesa akan menantang iblis, pendekar serikat, bahkan dewa-dewa lama demi satu hal: membakar dunia yang pernah membakarnya.

View More

Chapter 1

1) Ra-Ratih...

"Di mana aku?"

Suara itu lirih, tapi cukup untuk menyalakan kembali kesadaran yang nyaris padam. Kabut hitam mengepul dari celah-celah batu, melingkupi langit-langit ruangan gelap yang dikelilingi tembok batu merah. Bau daging terbakar dan besi tua menguar dari lantai yang dipenuhi bercak darah.

Pemuda itu tergolek tak berdaya. Tubuhnya terkulai, setengah tenggelam dalam genangan cairan hitam kental. Setiap helaan napasnya berat, seolah paru-parunya menolak udara beracun yang menyelimuti ruangan itu.

Tangan kirinya terangkat, tapi berhenti setengah jalan. Borgol hitam menyala api membelenggu pergelangan tangannya, menancap ke tiang besi yang menguarkan panas iblis. Rantai itu bukan sekadar pengikat, melainkan kutukan hidup yang menyegel seluruh kekuatan batin dan energi spiritualnya.

“Aaaaaargh!”

Jeritannya meledak, menggema di antara dinding batu, tapi tak ada jawaban. Tak ada suara selain gemuruh api dan desis hawa jahat yang meresap ke dalam tulang.

Lalu suara langkah terdengar. Pelan. Berat. Penuh ancaman.

Dari balik jeruji yang dipenuhi bara merah, muncul siluet seorang lelaki bertubuh tinggi besar, membawa pedang lebar di bahunya. Matanya memerah, kulitnya kasar seperti sisik naga. Wajahnya menampakkan senyum tipis yang lebih menyerupai ancaman.

“Masih hidup, rupanya,” ujarnya, nada suaranya seperti geraman binatang lapar. “Bagus. Tapi jangan berpikir kau akan keluar dari sini hidup-hidup, Mahesa.”

Mahesa menggertakkan gigi. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tertahan di balik tubuh yang lumpuh.

“Di mana aku?! Apa yang kalian lakukan pada rakyat Nusantara?!”

“Pertanyaan yang bodoh,” sahut lelaki itu. “Kau sudah tahu jawabannya.”

Ia melambaikan tangan. Dua sosok berjubah gelap masuk ke ruangan. Mata mereka menyala merah. Tubuh mereka dibalut bulu kasar seperti binatang hutan. Tiga iblis penjaga menyeret Mahesa dari selnya, mencabik-cabik lantai dengan langkah kasar.

Mahesa melawan. Namun, kekuatannya seolah tenggelam. Tubuhnya seperti tak lagi mengenal jurus. Bahkan aliran napasnya tak sanggup mengalirkan tenaga dalam.

Brak!

Satu pukulan keras menghantam wajahnya. Dua giginya rontok. Darah menyembur dari bibir dan hidungnya. Tubuhnya dibanting ke depan singgasana besar yang menjulang di ujung aula batu.

Di sana, duduk seorang lelaki berikat kepala hitam, bersenjatakan tombak bercahaya kelam. Sorot matanya tajam, dingin, dan penuh kebencian.

“Ki Seno Aji pasti menyesal telah memilihmu sebagai pewaris,” katanya, sinis. “Penerus yang bahkan tak mampu menjaga rakyatnya sendiri.”

Mahesa meludah. “Kau pengkhianat, Wusasena. Kau bukan lagi pendekar, kau... iblis.”

Wusasena bangkit dari singgasananya. Langkahnya tenang, tapi menggetarkan lantai batu. “Kami menawarkan perdamaian. Tapi kalian memilih perang. Dan lihatlah... semua pendekar Nusantara telah tumbang. Kau... yang terakhir.”

Seperti petir menyambar, Mahesa dipukul lagi. Kali ini, dengan tinju berbalut energi kegelapan. Tubuhnya terpental, menghantam tiang logam hingga darahnya menyiprat ke segala arah.

“Beraninya kau menolak serikat pendekar!”

Mahesa mengerang. Di sela rasa sakit, pikirannya membuncah. Kenangan demi kenangan muncul: wajah Ratih, senyum gurunya, darah para pendekar yang gugur demi mempertahankan bumi Nusantara.

Semuanya... hilang.

Langit berubah gelap sejak serikat pendekar bersekutu dengan iblis. Elang Hitam menjadi simbol baru penjajahan. Tiap desa dibakar, tiap anak diburu, tiap pendekar disiksa sampai ajal.

Dan Mahesa... menjadi simbol terakhir perlawanan yang kini nyaris padam.

Jeritan itu berhenti seketika saat sebuah sosok perempuan ditarik masuk ke aula.

Tubuh Ratih kurus dan penuh luka. Bajunya compang-camping, dan matanya sembab.

“Jangan...!” Mahesa meronta, tapi borgol iblis menahan tubuhnya.

Wusasena mencengkeram leher Ratih, lalu mendekatkan wajahnya ke Mahesa.

“Masih mencintainya? Sayang sekali. Karena hari ini, kau akan melihatnya mati di depan matamu.”

Mahesa meronta, memanggil kekuatan yang terkunci dalam tubuhnya. Tapi tak ada yang bangkit. Gatra... mustika merah... tetap diam.

Wusasena mengangkat tangannya.

“Jangan sentuh dia!” Mahesa berteriak, nadanya lebih seperti auman binatang terluka.

“Lawan, kalau bisa,” ejek Wusasena.

Dan detik itu juga, Ratih menatap Mahesa dengan mata berkaca. “Maafkan aku... Hesa.”

Crat!

Darah mengalir. Ratih jatuh ke pelukan Mahesa dengan tubuh tertusuk logam panas.

“Tidak... Ratih... RATIH!!!”

Amarahnya meledak. Jeritan dari dasar hati itu mengguncang istana batu. Tubuh Mahesa mendidih, api hitam meledak dari dalam pori-porinya. Dalam satu gerakan gila, ia mengangkat tangan kirinya—dan menghantamkan kepalan ke dasar tiang hingga tulangnya patah.

Suara retak bergema.

Tangan kirinya... terputus.

Segel iblis hancur. Energi membuncah dari tubuhnya seperti badai. Mata Mahesa menyala. Napasnya terbakar.

“Kau... akan kubakar hidup-hidup, Wusasena!”

Dalam sekejap, pedang api muncul di tangannya. Ia melompat. Tiga iblis penjaga menyerbu dari kiri dan kanan.

Blarr! Blarr! Blarr!

Semua terbakar. Tubuh mereka meleleh menjadi abu.

Wusasena memanggil pasukan tambahan. Tapi Mahesa sudah membentuk pusaran api hitam di sekelilingnya. Ilmu Ajian Angin Tandus bangkit. Setiap langkahnya membawa badai. Setiap tebasan pedangnya menghanguskan.

Ratih tak bergerak di pelukannya. Tapi tubuh Mahesa terus menyala.

“Matilah kalian semua!”

Dan tepat ketika Mahesa hendak menebas Wusasena...

Brak!

Sebuah tangan iblis menghantam tubuhnya dari belakang. Mahesa terbang menabrak tiang istana, darah mengalir dari mulutnya. Sebilah pedang berkilau merah menembus punggungnya.

Semuanya... gelap.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status