Home / Rumah Tangga / Batas Tipis Benci / Harapan hidup Terryn

Share

Harapan hidup Terryn

Author: Joya Janis
last update Last Updated: 2023-12-15 22:18:44

Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.

Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.

“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.

“Dia baik-baik saja, dia cantik sepertimu, Yin.” Deva mengecup ujung jari Terryn dan menempelkannya di pipinya. Tatapannya dalam memandang ke wajah Terryn.

“Kenapa melihat Yin seperti itu? Yin jelek banget yaa?” seulas senyum itu berubah menjadi kerucut di bibir Terryn.

“Tidak, justru aku melihatmu saat ini wanita yang paling cantik yang pernah aku lihat. Galgadot si Wonder Woman aja kalah cantik dan kalah kuat denganmu, Yin.” Deva mengecup lagi telapak tangan Terryn dengan sekuat tenaganya Deva menahan agar pertahanan di matanya tidak jebol.

“Kak, Terryn ingin lihat bayi kita, Terryn ingin melihatnya, please ….” mata Terryn berkaca-kaca, pastinya sebagai ibu dia ingin mendekap bayinya.

“Nanti yaa, kalau keadaan kamu sudah pulih, bayi kita harus dirawat sementara dalam inkubator Sayang.”

“Tapi putri kita baik-baik saja kan?” Terryn tersengal, nafasnya panjang pendek. Deva mengelus lengan Terryn. Hati Deva semakin mencelos melihat Terryn yang sekuat tenaga menahan nyeri yang dirasakannya.

“Terryn, kau harus menjalani transplantasi paru itu secepatnya, aku rasa dokter sudah menemukan pendonornya.” Deva mengatakan itu setelah Terryn sudah cukup tenang.

“Hanya keajaiban yang bisa membuat donor paru itu tiba-tiba ada buat Yin, Yin tahu prosedurnya tidak gampang, butuh waktu untuk menemukan donor yang tepat, Kak.” Terryn masih menunjukkan wajahnya yang tenang.

“Baiklah, kalau begitu kau istirahat dulu yaa. Aku ingin melihat bayi kita di sana.” Deva meletakkan tangan Terryn yang sedari tadi di genggamnya.

“Sheira … Yin mau nama depan putri kita Sheira.” tiba-tiba Terryn mengatakan itu pada Deva dan membuat Deva tersenyum. Deva terlalu sibuk memikirkan Terryn sehingga belum sempat memberi nama putri mereka.

“Sheira .... Nama yang bagus, nama bayi kita Sheira Devina Danuarta, dia adalah anak perempuan yang paling beruntung di dunia memiliki kita sebagai orang tuanya dan kita sangat beruntung memilikinya.” kali ini pertahanan Deva benar-benar jebol. beberapa titik air matanya lolos berjatuhan dan jatuh di punggung lengan Terryn.

Perlahan Terryn mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Deva yang basah. Deva terkesiap dan sadar telah menangis di depan Terryn. Laki-laki itu menarik nafas panjang dan menarik bibirnya agar tersenyum.

“Maafkan Terryn yaa Kak, Terryn tidak bisa seperti perempuan lain yang sehat dan sigap mengurus bayi mereka. Sepanjang waktu mungkin Yin akan merepotkan Kakak.”

“Tidak … Tidak, jangan berkata seperti itu, sudah tugasku untuk menjaga dan mengurus keluarga kita, aku kepala keluarganya. Tugasmu hanya satu, jangan berhenti berpikir optimis, semua akan baik-baik saja. Aku mencintaimu Terryn, apapun yang terjadi padamu kini dan nanti tidak akan mengubah apapun di dalam hatiku. Terima kasih karena sudah berjuang mempertahankan bayi kita dalam kandunganmu meski kau tahu nyawamu adalah taruhannya.” Deva berdiri dan mendekati Terryn, dikecupnya dahi Terryn dengan segenap perasaannya, air mata Terryn pun meleleh mendengar apa yang dikatakan suaminya barusan.

“Aku beruntung memilikimu, Kak” bisik Terryn saat bibir Deva masih hangat menempel di dahi Terryn. Deva menurunkan kepalanya dan juga berbisik dengan lembut di telinga Terryn.

“Aku juga sangat beruntung memilikimu, Terryn Arunika, Mama Sheira.”

Terryn tersenyum mendengar nama panggilan baru untuknya, Mama Sheira. Detik-detik ketika baru tersadar dari efek obat biusnya Terryn merasa baru saja lolos dari kematian. Kini dia ingin menjalankan tugas yang dikatakan Deva kepadanya agar dia selalu berpikir optimis, postif dan yakin jika semua baik-baik saja. Walaupun Terryn tidak tahu sampai kapan dia akan bertahan dengan paru-parunya yang rusak serta tabung oksigen yang akan selalu menemaninya.

Deva masuk ke ruangan dokter yang mengobati paru-paru Terryn selama ini. Dia ingin mengajukan diri sebagai donor paru untuk Terryn. Deva meminta agar dirinya menjalani tes kesehatan dan kelayakan agar bisa mengetahui apakah paru-parunya bisa dicangkokkan di dalam tubuh istrinya. Deva disarankan untuk banyak berolah raga dan tidak merokok serta mengkonsumsi alkohol. Setelah beberapa waktu ke depan baru Deva akan menjalani serangkaian tes kesehatan.

Dengan menggunakan jubah steril Deva saat ini sedang berada di depan kotak inkubator Sheira, putrinya.

“Hai Princess Sheira, kamu juga harus kuat yaa seperti mama, kalian adalah ratu dan putri Papa yang luar biasa, sungguh wanita di kerajaan papa itu hebat-hebat. Kau harus segera kuat dan sehat untuk bisa berkenalan dengan oma Imelda dan nenek Asih, mereka kedua ibu suri yang hebat, ada bibi ratu Aluna, dia kakaknya papa yang paling cantik. Lalu ada ratu yang tercantik di kerajaan Papa, ratu Terryn Arunika, mama putri Sheira. Masakannya gak ada yang bisa ngalahin enaknya. Kelak kau akan tahu bagaimana hasil tangan mamamu itu.” Deva menyeka sudut matanya yang basah. Beberapa perawat di ruangan itu yang mendengar celotehan Deva turut tersenyum-senyum.

“Tapi tuk saat ini kamu yang sabar yaa Sayang, mama belum bisa menggendong Sheira dulu, bantu doa yaa supaya paru-paru Papa yang sebelah sini bisa diberikan pada mama nantinya. Kalau paru-paru Papa cocok, Mama akan dioperasi secepatnya dan kelak bisa menggendong sheira.” Kalian berdua adalah perempuan pujaan hati Papa, kalian adalah pejuang tangguh, bertahanlah untuk kami Sheira dan mama pun bertahan untuk Shiera seperti waktu Sheira masih di dalam perut Mama.” Deva menghela nafas, ratusan kali hatinya berbisik dalam doa agar semuanya berjalan sesuai harapan.

Setelah puas “mengobrol” dengan putrinya Deva pun pamit pada perawat di ruangan itu.

“Tolong jaga putri saya dengan baik yaa, Sus. Ibu dan ibu mertua saya akan sering datang berkunjung juga di ruangan ini.” pesan Deva pada mereka.

“Semoga ibu Terryn lekas mendapat pendonor yaa Pak, sehingga lekas sembuh dan bisa ikut merawat Sheira.” ujar salah seorang perawat menunjukkan rasa simpatinya. Deva tersenyum sambil mengucapkan rasa terima kasihnya.

Deva berjalan menyusuri selasar rumah sakit, dunia terasa sepi baginya tanpa keceriaan Terryn yang sekian tahun menemaninya. Tak ada yang lebih menyakitkan melihat Terryn yang tidak berdaya dengan wajah sepucat mayat serta bibir dan kuku yang keunguan. Deva menepis kata “andai saja” yang mengisi kepalanya, dia mencoba fokus pada kesehatannya agar kondisinya layak menjadi pendonor bagi Terryn.

Dua minggu kemudian, Deva sedang berdiri mengenakan jas terbaiknya yang sama dengan yang dikenakan Willy. Mereka sedang berada di ballroom hotel Melda’s untuk menghadiri akad nikah dari Desta, sahabatnya. Desta yang biasanya terlihat santai, kocak dan sangat ceria itu tidak menampakkan kebiasaannya. Wajahnya tegang serta dahinya yang kerap berpeluh.

“Santai Des, tegang amat muka lu," bisik Willy pada Desta yang tengah menantikan detik-detik dirinya resmi menjadi suami Mega.

“Gampang lu bilang, karena bukan lu yang mau akad tapi gue!“ bisik Desta dengan sedikit geraman. Deva tertawa mendengarnya dan menepuk pelan bahu Desta.

“Tarik nafas lu dan hembuskan pelan-pelan, jangan terlalu dibawa tegang," timpal Deva pula untuk menenangkan Desta. Peluh semakin membanjirinya ketika Desta dipersilahkan duduk di depan ayah Mega.

“Saya terima nikah dan kawinnya Mega Mawarni binti Sup… Sup … Suuup…” Desta benar-benar lupa dengan nama ayah Mega sehingga dia Mega menyikut pelan pinggang Desta. Willy menutup mulutnya yang ingin menyemburkan tawa melihat Desta yang seakan ingin ditelan hidup-hidup oleh ayah Mega.

“Saya terima nikahnya Suprapto Binti Mega Mawarni dengan….” lagi-lagi Mega menyikut Desta yang masih salah ucap. Wajah Desta kian memucat dengan suara dengung orang-orang dan tawa yang tertahan.

Akhirnya pak penghulu memberikan kesempatan Desta untuk berlatih dulu, seorang ibu dari pihak keluarga Desta menyodorkannya segelas air dingin yang langsung diminum habis oleh Desta. Desta menatap ke arah Deva yang seakan memohon minta dibunuh saja saat ini juga,. Deva tersenyum dan menganggukkan kepalanya beberapa kali untuk meyakinkan Desta. Dari balik jas-nya Deva memperlihatkan dua lembar tiket bulan madu ke Bali yang seketika membuat mata Desta membulat semangat. Desta menarik nafas tanda siap memulai lagi ijab kabul.

“Saya terima nikah dan kawinnya Mega Mawarni binti Suprapto dengan mahar seratus gram koin emas, satu stel perhiasan serta seperangkat alat sholat dan kitab suci Al Qur’an, Tuuunaaai…!”

Semua menikmati pesta resepsi Desta dan Willy masih saja tak henti mengejek kegugupan Desta tadi. Deva pun menyerahkan lembaran tiket pesawat pulang pergi serta voucher paket bulan madu di cabang hotel ibunya itu kepada Desta dan Mega. Kedua pasangan pengantin baru itu sangat bergembira dan berterima kasih atas hadiah yang diberikan Deva kepada mereka. Tiket itu dikibas-kibaskannya di depan Willy yang pura-pura tidak melihatnya. Deva baru saja menghabiskan minumannya ketika ponselnya berdering.

Dia segera menyingkir ke sudut ruangan yang tidak terlalu bising, dokter yang menangani Terryn sedang menelponnya.

“Hasil pemeriksaan kesehatan serta kecocokan paru-paru Anda sudah keluar dan Anda dinyatakan bisa mendonorkan paru-paru Anda kepada pasien.”

Deva terdiam beberapa saat, nafasnya tertahan dan rasa gembiranya membuncah hingga ke ubun-ubunnya. Deva sangat senang dengan kabar yang diterimanya.

“Baik Dok, terima kasih. kapan operasinya akan dilakukan?” tanyanya dengan antusias.

“Segera Tuan Deva, karena kondisi istri Anda pagi ini tiba-tiba menurun dan kita harus melaksanakan operasi malam nanti.”

“Kondisi Terryn memburuk?!” tanpa melanjutkan pembicaraan lagi Deva segera berpamitan pulang pada Desta dan bergegas menuju rumah sakit ditemani oleh Willy.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batas Tipis Benci   Jiwa Kecil yang Hancur

    “Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.“Ibu

  • Batas Tipis Benci   Kemarahan Seorang Gadis Kecil

    Keadaan Sheira semakin hari semakin membaik, kesehatannya sudah pulih tetapi dia memutuskan untuk tidak kembali dulu ke lokasi syuting. Sheira masih menjalani masa berkabung dan rumah produksi sinetronnya mengerti akan hal itu. Kesempatan itu digunakan Sheira untuk berkunjung ke rumah panti asuhan Sayap Ibu. Seperti yang dijanjikan Panji, lelaki itu akan menemani kemanapun Sheira ingin pergi.Sheira membeli berbagai macam mainan yang sangat banyak serta makanan lezat. Berkotak-kotak pizza serta ayam goreng yang terkenal dengan gerainya di penjuru dunia itu dibeli Sheira penuh semangat. Panji sampai kewalahan membawa mainan dan makanan itu. Anak-anak menyambut kehadiran Panji dengan penuh suka cita pun dengan ibu Dewi, ibu pengasuh mereka.Sheira mendekat perlahan pada sosok wanita di depannya itu, meraih tangannya dan mencium tangannya seperti dia melakuk

  • Batas Tipis Benci   Perlakuan Manis Panji

    “Kau sudah bangun rupanya, aku baru saja membuat bubur ayam ceker kesukaanmu.” Panji datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk dengan asap yang mengepul tipis. aroma gurih menguar di udara dan menerbitkan selera Sheira meskipun lidahnya terasa sedikit pahit. Wajah Panji sudah lebih tenang dari sebelumnya.Perawat itu tersenyum lagi dan meminta pamit meninggalkan kamar mereka. Panji menyiapkan sarapan Sheira dengan cekatan. Meniup sesaat bubur di sendok itu sebelum disuapi ke mulut Sheria. Sheira menyantapnya dengan pelan, sedikit hambar mungkin karena lidahnya yang pahit terasa. Namun dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Panji untuknya.“Habiskan yaa, supaya kamu punya tenaga lagi dan cepat pulih.” Panji menyendokkan kembali bubur itu kepada Sheira.

  • Batas Tipis Benci   Hati yang melunak

    Sheira membuka matanya perlahan, hal yang dilihatnya adalah Panji yang tertidur di kursi samping tempat tidurnya. Laki-laki itu menggunakan lengan untuk menopang kepalanya. Mata Sheira berkeliling dan melihat punggung lengan kirinya yang tertancap jarum infus juga tiang infus yang menggantungkan kantung cairan berisi asupan makanan serta obat untuk Sheira.Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, Sheira merasa ingin buang air kecil. Dirasakan jika tubuhnya masih diliputi demam dan sungguh payah untuk bergerak. Dicobanya untuk menyibak selimut dan duduk tapi kepalanya masih sangat berat sementara desakannya untuk buang air kecil semakin menjadi. Terdengar rintihan kecil dari mulut gadis itu ketika jarum infus di punggung lengannya bergerak.Panji merasakan gerakan di tempat tidur Sheira dan membuat laki-laki itu terbangun.

  • Batas Tipis Benci   Janji Hati

    “Bony, tolong panggilkan dokter dan Venus tolong bantu aku mengganti baju Sheira.” Panji menatap Sheira dengan tatapan prihatin, dirinya sibuk mengurus pemakaman Terryn sehingga kondisi Sheira luput dari perhatiannya. Vero yang biasa menjaganya pun hampir datang terlambat karena pesawatnya yang delay.“Kakak ‘kan suaminya. kenapa harus cari orang buat ganti baju istri sendiri?” tanya Venus bingung.“A-aku … aku belum pernah bersama dengan Sheira, jadi aku masih … aah tolong saja kakakmu ini, Ve!” seru Panji gugup. Venus menarik sudut bibirnya mengetahui hal itu. Mereka sama sekali belum menjadi suami istri pada umumnya.“Tolong siapkan air hangat dan handuk kecil yaa, Min.” Panji menggulung lengan kemejanya, dan membantu Venus melepaskan sepat

  • Batas Tipis Benci   Setelah Kepergian Terryn

    Suasana pemakaman tampak begitu suram dengan aura kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Langit pun seakan menegaskan jika ini adalah waktu yang paling gelap untuk mereka dengan mengirimkan gumpalan awan gelap kelabu.Ashiqa yang datang bersama Rama dan putranya Raka, sahabat Terryn itu tak menyangka jika Terryn sudah tiada. Lama Ashiqa memeluk Sheira yang tampak antara bernyawa dan tidak bernyawa. Juga pada Panji, berangkai kata penghiburan diucapkan pada pemuda yang telah menjadi bagian hidup Terryn. Sejarah tentang Panji pun diketahui oleh Ashiqa sehingga dia tahu jika Panji ikut larut dalam duka yang besar atas kepergian perempuan baik hati itu.Vero yang hadir turut merasakan kesedihan, dirinya ikut menanggung rasa bersalah seperti yang Sheira rasakan sekarang. Oma Imelda menangis meraung meratapi menantu kesayangannya yang kini telah berku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status