Share

Arjuna Mencari Cinta

Setelah pertemuan kemarin, setiap pagi Arjuna akan keluar rumah sebelum jam tujuh, untuk menunggu Arum lewat dan melihatnya berjalan kaki dengan wajah yang ditekuk. Dia tahu, jarak rumah dan sekolah pasti cukup jauh, sehingga gadis itu tampak kelelahan. Setelah itu, barulah dia akan pergi ke lokasi untuk mengecek pekerjaan para tukang. 

"Hai!" Begitulah sapanya. Lalu dia akan tertawa geli saat Arum berjalan lebih cepat untuk menghindar.

Arjuna melirik wajahnya di kaca spion, apa ada yang salah sehingga Arum terlihat begitu takut setiap kali mereka bertemu? 

Dia tampan walaupun ya ... sudah berumur. Lalu, jika memang menyukai remaja yang masih berseragam, apa salahnya? Bukannya kebanyakan laki-laki memang menyukai daun muda? Dia termasuk salah satu di antara mereka. 

"Aruuum!" teriak Arjuna, lalu tergelak dan menertawakan diri sendiri karena sudah bertingkah aneh. 

Arum MEMPERCEPAT langkah saat mendengar namanya dipanggil. Jika memang benar Arjuna adalah orang yang sama dengan yang pernah memberikan mereka bantuan, kenapa dia malah jadi takut? 

Harusnya Arum berterima kasih karena di dalam dus bantuan itu, tak hanya berisi makanan tapi juga beberapa jenis obat. Sehingga mereka bisa mengurangi wabah diare dan tipes saat banjir waktu itu, walaupun nyawa ibunya ... tak tertolong.

"Kamu kenapa, Rum? Seperti dikejar setan saja," tanya Ratih saat mereka bertemu di depan. Hari ini dia diantar oleh bapaknya jadi mereka tidak pergi bersama. 

Sejak kelas satu hingga sekarang, mereka selalu sekelas. Arum tidak mau berpisah dengan sahabatnya itu karena hanya Ratih, satu-satunya orang yang bisa menerima semua kekurangannya.

"Ndak apa-apa."

"Kamu aneh sekarang. Kayak ketakutan gitu," kata Ratih sembari memperhatikan Arum yang sedang menyeka peluh di dahinya.  

"Om itu suka manggil-manggil kalau aku lewat," katanya polos. 

"Om yang waktu itu? Siapa namanya, ah lupa tanya." 

"Entah, kan dia juga ndak nyebut nama. Cuma tanya kita." 

"Kamu ini, ada cowok yang suka kok malah takut. Om itu kan kaya, lihat saja mobilnya. Kalau kamu nikah sama dia bisa memperbaiki keturunan juga, Rum. Dia kan ganteng."

"Aku belum mau nikah, Tih." 

"Kamu maunya apa? Kuliah? Jangan ngimpi, Rum. Masa depan kita cuma dapur, sumur, sama kasur. Syukur-syukur tamat sekolah ada yang ngelamar," lanjut Ratih. 

"Aku ndak tau. Maunya ke kota cari kerjaan biar nasib jadi lebih baik."

"Jangan ngayal ketinggian, Rum. Bisa sekolah sampai SMA saja sudah bersyukur kita. Lihat yang lain, tamat SMP sudah momong anak."

"Jadi, kamu nanti setelah selesai ujian, mau nikah saja, Tih?" tanya Arum sambil mensejajari langkah sahabatnya. 

Kelas mereka terletak di bagian ujung sekolah sehingga melewati kelas lain. Namun, lebih dekat dengan kantin sehingga ada beberapa murid yang diam-diam membolos untuk makan. 

"Ndak tau. Ya terserah Bapak. Kalau ada jodoh aku terima." Ratih mengucapakannya dengan pasrah. Mereka melanjutkan cerita, hingga tiba di kelas. 

Sepanjang pelajaran berlangsung, Arum banyak melamun sehingga ditegur oleh gurunya. 

"Kamu masih mau belajar atau ndak, Rum?" tanya guru matematika saat melihat gadis itu terdiam ketika diberikan pertanyaan. 

"Ma-u, Bu."

"Kalau begitu maju! kerjakan soal sampai selesai."

Arum berjalan ke depan dengan malas. Sikapnya itu malah mendapatkan sorakan dari teman-teman sekelas, kecuali Ratih. Dia bahkan membela sahabatnya dengan melototkan mata kepada setiap murid yang mengolok-olok. 

"Kamu bisa mengerjakannya, ndak?" tanya ibu guru kepada Arum yang melamun dengan kapur tulis di tangan. Tidak ada pergerakan sama sekali karena dia memang tidak tahu harus menjawab apa. 

"Ndak bisa, Bu."

"Ya ampun, sebentar lagi mau ujian. Kamu ini gimana bisa lulus kalau soal mudah begini saja tidak bisa jawab."

Arum tertunduk menahan malu, apalagi bisik-bisik dari murid yang lain terdengar semakin kencang.

"Beda sama Ayu, ya. Juara kelas sebelah."

"Arum ini memang lambat menangkap pelajaran."

"Iya, mana wajahnya burik lagi. Haduh kasihan sekali. Masa depannya pasti suram."

"Paling kalau dapat jodoh juga orang rendahan."

"Atau duda tua. Hahaha."

Kata-kata dan cemoohan seperti itu sudah biasa Arum dengar. Hingga kadang dia menangis diam-diam di kamar saat semua orang sudah tertidur. 

"Duduk, Rum. Nanti pulang sekolah menghadap saya di ruangan guru." 

Arum kembali ke kursinya dan menunduk malu hingga pelajaran berakhir. 

"Sudah, Rum. Jangan dengerin mereka. Ada aku bersama kamu." Ratih memeluk sahabatnya dengan erat saat gadis itu menumpahkan tangis. Mereka tidak keluar untuk jajan di kantin saat istirahat karena Arum sudah terlanjur menanggung malu. 

***

"Nilai ulangan semester kamu rendah sekali, Rum." Ibu Guru matematika menyerahkan selembar kertas hasil penilaian. 

"Bukan cuma di mata pelajaran Ibu, tapi beberapa pelajaran yang lain." 

Arum tak menyela apa pun yang disampaikan gurunya. Semua itu benar, dia memang sulit menangkap pelajaran. 

"Kamu mau, kalau sampai ndak naik kelas?"

"Tapi saya ndak pernah bolos, Bu," kata Arum membela diri. 

"Ibu tahu, tapi nilai juga mempengaruhi hasil rapor."

Arum memilin ujung baju. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Uang jajan di kantong masih utuh, hanya tinggal sedikit. Ayu tetap saja memalak sekalipun bajunya sudah ketemu. Katanya sebagai ganti rugi baju yang rusak karena terkena noda saat hanyut.

"Kalau memang ndak naik kelas juga ndak apa-apa, Bu," kata Arum pasrah.

"Jangan begitu, Rum. Ibu memanggil kamu untuk memperbaiki diri. Kalau kamu sukses nanti, kami para guru yang akan bangga dengan kalian."

"Iya, Bu."

"Yasudah. Kamu lapar, kan? Pulang sana."

Arum mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu dengan lemas. Ratih sudah pulang duluan dijemput bapaknya karena ada acara keluarga. 

Matahari cukup terik, hingga di jam segini panasnya masih menyengat. Arum mengusap peluh yang sejak tadi menetes sambil berjalan menuju rumah.

Tiba-tiba, bunyi klakson menghentikan langkahnya. Arum menoleh dan mendapati sebuah mobil berhenti di depan.

"Arum!" sapa Arjuna. Dia sedang ada keperluan, sehingga keluar dari lokasi dan tak menyangka jika bertemu dengan gadis itu. 

"Om."

"Sendirian?"

"I-ya."

"Ayo, diantar pulang."

"Ndak usah. Makasih," tolak Arum halus. 

"Ini panas banget. Ikut aja nanti saya antar. Oke?"

Arum meragu lalu berjalan hendak meninggalkan laki-laki itu, ketika lengannya dicekal kuat. 

"Jangan keras kepala. Ayo ikut!" Arjuna menariknya dan membukakan pintu mobil.

Jantung Arum berdebar kencang dan menjadi canggung karena seumur hidup, inilah pertama kali dia naik mobil pribadi selain angkutan umum. Dulu, Bapak suka mengajak ke kota naik bus dan membelikan baju lebaran. 

"Rumah kamu di mana?" tanya Arjuna sambil meliriknya berulang kali. 

"Arah sana belok kiri," jawab Arum. Matanya menatap jalanan dan tak berani menoleh ke samping. 

"Gak capek tiap hari jalan kaki?"

"Capek, Om."

"Kalau diantar jemput tiap hari mau?" 

Arjuna mulai mengeluarkan jurus andalannya untuk merayu. Dengan wajah tampan dan materi yang berlimpah, banyak wanita yang takluk ke dalam pelukannya. Hanya saja yang satu ini berbeda, sulit didekati dan membuatnya sedikit ... tertantang.

"Ndak usah, makasih. Nanti dikira kita ada hubungan," kata Arum polos. 

Arjuna tergelak mendengar itu, lalu berkata, "Oh, jadi kalau ada hubungan baru bisa antar jemput, ya?"

Arum mengabaikan pertanyaan itu, kemudian berkata sambil menunjuk jalan. "Kiri, Om!"

Mobil berbelok ke arah jalan yang disebutkan Arum, dan berhenti di depan sebuah gang kecil dan sempit. Sepertinya, hanya motor dan pejalan kaki yang bisa masuk. 

"Di sini?" tanya Arjuna saat gadis itu meminta berhenti. 

Arum mengangguk dan membuka pintunya, lalu keluar begitu saja. 

"Sampai ketemu lagi," kata Arjuna membuka kaca jendela mobil.

"Terima kasih, Om."

Arum berjalan memasuki gang diiringi oleh bisik-bisik tetangga. 

"Itu siapa?"

"Arum diantar siapa pakai mobil?"

"Apa pacarnya?"

"Kok, dia bisa dapat pacar kaya?"

"Sepertinya itu orang luar."

"Aduh, diam-diam si Arum punya gandengan. Ganteng lagi."

Arum mengabaikan ucapan itu, lalu membuka pagar kayu dan masuk ke rumah. Seperti biasa, kedatangannya disambut Lastri dengan omelan.

"Ke mana saja kamu jam segini baru pulang?" tanya Lasti dengan gaya favoritnya, berkacak pinggang. 

"Tadi dipanggil guru ke ruangan, Bu."

"Kenapa lagi? Nilai rendah? Atau kamu nilep uang SPP?" tuduh Lastri.

Arum tak menjawab pertanyaan itu dan langsung masuk ke kamar untuk berganti pakaian.

"Siapa yang ngater kamu pulang tadi, Rum?" tanya Lastri saat putrinya masuk ke dapur. 

"Temanku."

"Teman siapa? Di kampung kita cuma juragan kaya yang punya mobil. Kamu kenal dia di mana?"

Arum ingin menjelaskan tapi sudah dicecar dengan berbagai macam pertanyaan. "Ibu tau dari mana?" 

"Tadi ada yang ke sini ngasih tau."

Arum mengumpat dalam hati. Ada saja tetangga usil yang mengadu kepada ibunya. 

"Kamu itu jangan sembarangan dekat dengan laki-laki, Rum. Banyak yang menggoda hanya ingin memanfaatkan."

"Iya, Bu."

"Aku ini janda tapi berusaha menjaga diri. Jangan sampai kalian para perawan mengotori diri atas nama cinta," lanjut Lastri. 

Arum hanya mengiyakan karena tak kuasa berdebat. 

"Sudah sana makan. Habis itu jangan lupa cuci piring! Itu kamar mandi disikat sekalian sampai bersih!" teriak Lastri sebelum dia masuk ke kamarnya sendiri.

Arum mengambil nasi dan menghabiskannya dengan lahap. Lauk seadanya menjadi teman makan siangnya hari ini. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status