Share

Hadiah

"Apa ini?"

Arum menatap Pak Darmo, si penjaga sekolah dengan bingung ketika sebuah kotak diserahkan kepadanya, saat akan memasuki gerbang. 

"Untukmu. Ambil saja." Darmo kembali menyodorkan kotak itu karena Arum terlihat ragu untuk menerimanya.

"Dari siapa, Pak?"

"Bapak ndak tau, Rum. Mas itu datang terus bilang titip ini buat kamu."

Arum menerimanya kemudian memasukkan kotak ke dalam tas. Jangan sampai terlihat siapa pun, bisa bahaya jika ada yang mengadu ke Ayu. 

Setelah berpamitan dengan Pak Darmo, Arum berjalan cepat memasuki kelas, karena hari ini jadwalnya piket.

Om itu tidak ada saat dia lewat tadi, jadi hatinya tenang karena tidak ada yang menganggu. Ratih juga beberapa hari ini diantar jemput bapaknya. Sehingga, sudah satu minggu ini dia berjalan kaki sendirian.

Setelah meletakkan tas, Arum berjalan ke belakang sekolah untuk mengambil ember dan kain pel. Keran diputar hingga airnya mengucur deras, lalu dia membawanya ke kelas. Teman-teman yang lain belum tampak karena dia memang sengaja datang pagi-pagi. 

Piket kelas sudah dibagi setiap hari dengan jadwal yang tetap. Hanya saja, ketika tiba di giliran Arum, murid yang lain memilih mengerjakan yang ringan, seperti menyiram bunga atau menyapu halaman depan kelas. Ada juga yang memilih untuk menghapus papan tulis. 

"Rum!" Tampak Ratih baru datang dan menyapanya. Tanpa diminta, gadis itu langsung membantu sahabatnya membersihkan lantai dan membuang sampah sebelum dipel. 

"Jangan! Biar aku sendiri. Nanti tanganmu kotor," tolak Arum. Sekalipun jadwal piket mereka berbeda, Ratih tetap saja membantunya.

"Biar pekerjaanmu jadi ringan, Rum. Di rumah kamu sudah disuruh-suruh mereka, di sekolah juga sama. Memang keterlaluan," omel Ratih. Entah mengapa justru dia yang menjadi kesal atas perlakuan orang lain kepada sahabatnya. Kalau tidak dilarang Arum, mungkin dia sudah melabrak mereka. 

"Sudah, itu saja. Sebentar lagi mereka datang. Kalau kamu yang kerjakan, nanti yang lain jadi keenakan." Arum mengambil sapu yang dipegang Ratih dan mengembalikannya ke dekat pintu.

Benar saja, tak lama siswa-siswi yang dapat giliran piket mulai berdatangan dan mengambil tugas masing-masing. Arum yang sudah selesai, langsung membawa ember dan kain pel ke belakang kemudian mencuci tangan. Saat kembali ke kelas, semua sudah rapi dan bersih. 

"Sudah bikin PR, Rum?" tanya Ratih ketika gadis itu duduk di sebelahnya.

"Sudah, tapi aku ndak tau jawabannya benar atau salah," jawab Arum ragu-ragu.

"Sini aku lihat. Kita perbaiki. Masih ada waktu." 

Ratih melirik jam di tangannya dan menarik buku Arum saat diletakkan di meja. Raut wajahnya berubah saat membaca jawaban yang dituliskan Arum. Ada beberapa yang benar, tapi lebih banyak lagi yang keliru.

"Bukan itu jawabannya, Rum. Ganti saja. Hapus," titahnya. 

"Biar saja, Tih. Aku malas," kata Arum lemas.

"Jangan begitu, masih ada waktu lima belas menit lagi. Ayo, perbaiki sekarang!"

Arum menuruti saran sahabatnya dan mulai menuliskan angka-angka yang disebutkan oleh Ratih. Dalam waktu sepuluh menit semuanya selesai. Ada beberapa yang sengaja dibiarkan salah agar guru tak menaruh curiga.

"Ini namanya membohongi Ibu Guru, Tih," kata Arum polos.

"Biar saja, paling tidak nilaimu sedikit bagus."

"Lain kali aku ndak mau."

"Ya sudah, sekali ini saja. Nanti-nanti ndak usah lagi," kata Ratih.

Arum menarik bukunya dan hendak memasukkan kembali, ketika tak sengaja tasnya terbuka lebar dan kotak itu jatuh.

"Kotak apa itu?" tanya Ratih penasaran. Matanya mencuri-curi pandang, ingin tahu benda apa yang dibawa sahabatnya. 

"Ssstttt." Arum menyentuhkan telunjuk di bibir agar Ratih tak berisik. 

"Kamu beli apa? Kotaknya bagus."

"Dikasih Pak Darmo," jawab Arum.  

"Apa? Pak Darmo ngasih kamu hadiah?" Ratih terbelalak saat mendengar itu. Dia tak percaya jika penjaga sekolah mereka ternyata diam-diam menyukai sahabatnya. 

"Ssstttt, jangan keras-keras nanti didengar yang lain." Arum menutup mulut Ratih dengan tangannya. 

"Iya, tapi itu apa?" Ratih menepiskan tangan Arum dan kembali bertanya. 

"Belum aku buka."

"Jangan-jangan itu mahar biar kamu jadi istri keduanya. Aduh Rum, memang nasibmu disukai laki-laki tua semua," tebaknya asal. 

Arum menepuk bahu sahabatnya kemudian mereka tergelak. Dia kembali menyimpan kotak itu, bertepatan dengan lonceng masuk berbunyi.

Murid-murid berebutan masuk kelas disertai dengan suara berisik dan teriakan. 

"Kata Pak Darmo ini dari hadiah seseorang buatku," bisik Arum. 

"Siapa?"

"Ndak tau. Nanti pas jam istirahat kita buka di sini. Jangan di kantin, bisa bahaya kalau ketahuan Ayu," pinta Arum.

"Kalau begitu, nasi kuningnya aku bungkus saja. Terus kita makan di kelas," usul Ratih. 

Mereka sepakat dengan rencana itu dan duduk dengan posisi rapi. Ketika guru memasuki kelas, semua murid langsung terdiam. 

***

Mata Ratih berbinar saat kotaknya dibuka. 

"Wah, ini namanya ponsel. Hape. Hape," katanya sembari merebut benda itu. 

Arum melihat kotak itu dan mencari buku petunjuk bagaimana cara menggunakannya. 

"Cara pakainya bagaimana ya, Tih?"

"Aku tahu, pernah lihat punya Bapak. Cuma ndak dikasih pinjam. Katanya nanti aku teleponan sama cowok-cowok." Ratih mulai mengutak-atik ponsel itu dan akhirnya berhasil.

"Bisa, Tih?"

"Ini, sudah menyala." Dia menyerahkan ponsel itu mengajari Arum cara menggunakannya. 

Arum meraih benda itu dan melihatnya dengan teliti. Untuk apa dia memiliki benda ini, jika tidak ada siapa pun yang ingin dihubungi. 

"Siapa yang ngasih ponsel ini ya, Tih. Apa benar Pak Darmo?" gumam Arum. 

"Bisa jadi. Tidak ada nama pengirim."

"Kata Pak Darmo, mas itu menitipkan kepada dia. Tapi, mas siapa?"

"Mungkin Pakde yang menyamar," tebak Ratih. Dia mulai membuka bungkus nasi dan makan pelan-pelan. 

"Kamu ini, tega sekali."

"Lebih baik kalau itu dari Pakde, daripada Pak Darmo."

Arum kembali memukul pundak Ratih karena kesal, lalu mereka menghabiskan nasi kuning untuk mengganjal perut. 

Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Satu nomor tak dikenal muncul di layar. Arum menghentikan makan dan menatap sahabatnya dengan gamang. 

"Angkat, Rum!" titah Ratih. 

"Ndak mau. Kamu saja," katanya sambil menyodorkan ponsel. 

"Ini milik kamu. Harusnya kamu yang jawab," saran Ratih. 

Setelah menimbang beberapa saat, Arum akhirnya memberanikan diri untuk menjawab. "Ha-lo?" 

"Arum?"

"I-ya. I-ni Arum," jawabnya terbata sambil melirik Ratih berulang kali. 

"Dari tadi saya telepon gak diangkat. Akhirnya kamu jawab juga." Suara di seberang sana terdengar senang. 

"Ini siapa?"

"Ini saya, Arjuna."

Arum tersentak dan kaget, sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari kursi. Ponselnya terlempar ke lantai. 

"Aduh, Rum. Kamu ini kenapa?" Ratih MERAIH TANGAN sahabatnya dan membantu Arum berdiri. 

"Dia meneleponku, Tih." Arum meraih benda itu dan meletakkannya di meja. 

Ratih yang penasaran sejak tadi langsung mengambilnya dan ikut berbicara. "Halo?"

"Ini siapa?" Arjuna yang berada di seberang sana bertanya karena mendengar suara yang berbeda. 

"Ini Ratih, temannya Arum. Mas ini siapa, kenapa ngasih Arum ponsel?" cecar gadis itu. 

"Saya Arjuna."

"Arjuna ini yang mana, ya?"

Arjuna tertawa geli kemudian menjelaskan siapa dirinya. Ratih menutup mulut karena tak percaya. Dia melirik Arum yang sejak tadi diam sembari melanjutkan pembicaraan. Beberapa menit kemudian, panggilan terputus.

"Rum."

"Ya."

"Om itu, namanya Arjuna."

"Iya. Aku sudah tahu, tadi dia sebutkan."

"Sepertinya dia menyukaimu. Katanya sengaja membelikan ini supaya lebih mudah berhubungan," jelas Ratih. 

Arum kembali menatap sahabatnya dengan lekat. Lalu berkata, "Tih, aku mau menceritakan sesuatu, tapi tolong kamu rahasiakan."

"Ada apa sebenarnya?"

Arum membuka tas, mengeluarkan sebuah foto dan menyerahkannya kepada Ratih. Gadis itu menerimanya dan kembali menutup mulut ketika melihat ada gambar Arum bersama seorang laki-laki yang menyerahkan sebuah dus. Bukankah itu ... Arjuna? Om yang waktu itu mereka temui di rumah dekat sekolah. 

"Dia orang yang sama?"

"Iya. Aku baru yakin waktu tadi di telepon dia menyebutkan nama."

"Mungkin kalian berjodoh," tebak Ratih. 

"Ya, ndak tau."

"Terima saja, Rum. Sepertinya Om Arjuna memang menyukaimu."

Arum terdiam beberapa saat. Dia memang sengaja membawa foto itu setiap kali pergi ke sekolah, untuk memastikan bahwa itu adalah orang yang sama. 

"Tapi aku ragu."

"Kenapa?"

"Kata Bu Lastri, orang kota itu penipu."

Ratih mendengarkan penjelasan sahabatnya tanpa menyela.

"Karena dia sendiri mengalami dari suami yang pertama. Bapaknya Ayu."

Setelah mengatakan itu, Arum mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status