Arjuna membuka jendela rumah kontrakannya lebar-lebar dan membiarkan matahari masuk. Udara pagi terasa segara di Senin ini. Proyek baru akan dimulai dua hari ke depan, jadi dia masih punya waktu untuk bersantai sambil melihat sekitaran kampung.
Tim inti dan para pekerja sudah datang lebih dahulu untuk melihat-lihat lokasi dan melakukan persiapan di barak. Rasanya dia sudah tak sabar ingin menyaksikan proses pembangunan tanggul, namun mereka harus mengikuti instruksi yang sudah ditetapkan.
Arjuna berjalan keluar dan melihat sekeliling. Di jam segini, warga sudah sudah mulai beraktivitas dan banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Dia berencana mencari sarapan di sekitar rumah.
Ketika Arjuna hendak membuka pintu pagar, tampaklah seorang gadis yang berjalan kaki memakai seragam sekolah abu-abu dengan tas slempang di bahu. Matanya menatap intens kepada wajah yang semakin lama semakin mendekatinya.
"Hai!" sapanya saat menyadari bahwa gadis itu adalah orang yang ditolongnya saat di sungai.
Arum menoleh dan langsung menutup mulut karena tak percaya. Kenapa mereka bertemu lagi?
"Om," katanya menjawab sapaan.
"Kamu sekolah di sana?" tanya Arjuna menunjuk bangunan sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
"Iya, Om."
"Ingat saya?"
"I-ya. Yang waktu itu nolong saya jatuh," kata Arum gelisah. Matanya melirik ke arah jam di tangan. Jika kelamaan berbicara maka dia akan terlambat. Ini masih kurang sepuluh menit lagi sebelum bel berbunyi.
"Pinter. Masih cari baju?" tanya Arjuna memancing.
"Sudah hilang, Om," jawab Arum.
"Kalau saya temukan, dapat apa?" tanyanya.
Entah mengapa dia jadi ingin menggoda gadis itu. Wajahnya yang lugu membuat Arjuna penasaran. Ada banyak anak sekolahan yang dia temui di mana saja, tapi yang satu ini ... unik.
"Ndak mungkin."
"Gak percaya? Ayo masuk ke dalam, saya ambilkan," kata Arjuna menunjuk rumah, padahal bajunya ada di mobil.
"Maaf, Om. Saya permisi, sebentar lagi masuk kelas."
Arum melangkahkan kaki dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju sekolah. Gadis itu bahkan setengah berlari saat pintu gerbang hendak ditutup.
"Pak Darmo. Tunggu!" teriak Arum kepada penjaga.
"Neng Arum. Tumben datang terlambat." Darmo membukakan pagar agar gadis itu bisa masuk.
"Biasa, Pak. Nyuci piring dulu habis sarapan," jawab Arum melirik jam di tangan. Waktunya lima menit lagi tersisa.
"Rajinnya. Calon istri idaman," kerling Darmo.
"Hus! Bapak ini, ingat anak istri di rumah."
Lonceng sekolah berbunyi tepat saat Arum hendak masuk ke dalam kelas. Murid-murid yang lain berebutan ingin masuk sehingga salah seorang menyenggolnya.
Arum terjatuh dan tasnya terlempar. Bukannya menolong, teman-teman sekelasnya malah menertawakan. Sudah biasa dia mendapat perlakuan seperti itu, baik di rumah maupun di sekolah. Nilai yang anjlok dan wajah yang kurang menarik membuatnya menjadi bahan olok-olokan.
"Ayo, Rum!" Ratih menarik lengan sahabatnya dan membantu berdiri.
"Ndak apa-apa, Tih."
"Kamu itu ya, kalau dibegitukan ya balas. Jangan diam saja, Rum. Kamu itu manusia, buka patung."
"Terserah mereka saja yang penting senang," katanya sambil meletakkan tas di meja.
"Harga dirimu diinjak-injak, Rum," kata Ratih dengan gemas. Dia yang paling tahu kondisi sahabatnya, sampai ingin berkata bahwa Arum itu bodoh karena membiarkan orang lain berbuat zalim terhadapnya.
"Suatu saat aku akan membuktikan kepada mereka bahwa orang yang selalu dihina, akan hidup lebih sukses daripada yang menghina," katanya sambil mengibaskan debu yang menempel di rok karena terjatuh tadi.
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang guru masuk.
"Selamat Pagi, Anak-anak."
"Selamat pagi, Pak."
"Baiklah kita mulai pelajaran hari ini. Buka halaman ...."
***
Dua gadis itu duduk di kantin sekolah sambil menikmati makan siang. Ratih dengan sepiring nasi kuning. Arum dengan sepotong gorengan ... dan air putih.
"Tih, tadi aku ketemu om itu," kata Arum memulai pembicaraan.
Matanya sejak tadi melirik nasi kuning dengan taburan telur dadar dan bawang goreng. Air liurnya hendak menetes melihat sahabatnya itu makan dengan lahap. Dalam hatinya berucap, jika suatu saat nanti diberikan kekayaan, maka dia akan makan sepuasnya, apa saja yang disuka hingga kekenyangan.
"Om siapa?"
"Yang nolong aku itu, loh," jawab Arum sambil menuang saus cabai di gorengan.
"Kapan?"
"Hari Minggu kemarin, waktu kita pergi ke sungai. Aku masuk ke lokasi proyek buat nyari bajunya. "
"Kok, kamu ndak cerita ke à ku?" Ratih menghentikan makan dan menatap Arum lekat.
Melihat itu, Arum menjadi serba salah dan akhirnya menuturkan semua secara pelan-pelan dari awal hingga kejadian tadi pagi saat bertemu Arjuna di depan rumahnya.
"Lalu?"
"Dia tinggal di rumah kosong dekat sekolah kita."
"Yang ada hantunya?"
"Mana ada hantu, Tih. Itu cuma kucing yang suka main ke situ. Jadinya menimbulkan suara-suara aneh."
"Ah, masa?"
"Buktinya, om itu tinggal di sana," kata Arum.
"Ya, bisa jadi sudah manggil dukun buat diusir."
"Tih. Kata om itu, dia menemukan baju Ayu."
Mata Ratih melebar mendengar ucapan Arum barusan. "Sudah kamu ambil?"
"Belum. Paling dia bohong. Masa aku disuruh masuk ke rumahnya. Ya ndak maulah. Aku takut," jawab Arum.
"Nanti pulang sekolah aku temani. Kalau benar, kan, selamat kamu. Ndak dimusuhi Ayu terus."
"Tiap hari juga dimusuhi."
"Harusnya mereka keluar dari rumah itu, Rum. Itukan peninggalan orang tuamu. Sertifikat atas nama ibumu," saran Ratih.
"Tapi Bu Lastri yang bayar sekolahku, Tih. Dari Bapak meninggal, dia yang cari uang buat kami berdua. Waktu Ibu sakit dulu, dia juga yang bantu mengurusi, terus dinikahi sama Bapak."
Arum meneguk air dan menghabiskan sisa gorengan. Tadi pagi dia masih diberi uang jajan oleh ibunya. Akan tetapi, saat jam istirahat tiba, Ayu datang ke kelas dan meminta sebagian sebagai ganti bajunya yang hilang.
"Kalau begitu sabar saja. Sebentar lagi ujian. Nanti lulus sekolah kamu cari kerja."
"Iya, memang begitu rencanaku. Tadinya mau jual rumah dan pergi jauh dari kampung, tapi utang pinjaman Bapak masih Bu Lastri yang bayar. Jadi, dia juga punya hak dari rumah itu."
"Ruwet, Rum."
"Makanya aku nurut daripada rumah disita."
Arum berdiri mencuci tangan di air pancuran dekat kantin. Sementara itu, Ratih menyelesaikan makannya. Lonceng masuk sudah berbunyi, jadi mereka harus cepat-cepat masuk.
***
"Yang mana rumahnya?" tanya Ratih saat mereka berjalan menuju pulang.
"Itu!" tunjuk Arum.
"Ayo kita ke sana! Mana tau memang benar dia yang menemukan bajunya."
"Kalau dia bohong dan mau menjebak kita?"
"Jangan berpikiran buruk, Rum. Buktinya dia yang nolong kamu waktu jatuh."
"Tapi aku takut. Soalnya dia itu om-om. Mana tau berniat jahat seperti film yang sering ditonton Ayu."
"Memangnya film apa?"
"Om mesum menjebak gadis muda dan menodainya. Aneh, masa judul panjang begitu."
Kedua gadis itu tergelak lalu berhenti tepat di depan rumah Arjuna saat pintu terbuka.
"Itu! Itu dia orangnya!" tunjuk Arum saat melihat laki-laki itu berjalan ke halaman dan menuju ke arah mobil.
Mata Ratih terbelalak saat melihat sosok Arjuna. Di kampung mereka, hanya putra Pak Camat yang kuliah di kota yang memiliki tampilan gagah seperti om itu.
"Dia sudah punya istri, Rum?"
"Mana aku tahu," kata Arum sambil mengangkat kedua bahu.
"Jangan-jangan, inilah pangeran yang menemukan kainku yang hanyut di sungai." Ratih masih menatap Arjuna.
Arum menepuk pipi sahabatnya. "Hus! Sudah jelas aku yang bertemu dia duluan."
"Berarti dia jodohmu?"
"Ya ndaklah. Masa aku nikah sama om-om begitu."
"Ya mending, dia ganteng. Daripada sama Pakde. Memangnya kamu mau?"
Arum memukul Ratih yang berlari sambil tergelak, merasa menyesal telah menceritakan tawaran Pakde untuk menjadikannya istri, jika dia jadi bahan olok-olok seperti itu.
"Hai, kalian!"
Suara teriakan itu membuat mereka menoleh. Tampak Arjuna sedang bersandar di mobil.
"Kalian, sini!" panggilnya.
"Ayo, Rum!" ajak Ratih.
"Kamu saja."
"Ya, sudah kalau ndak mau. Memang om ini jodohku berarti." Ratih berjalan memasuki pekarangan rumah itu.
"Hai, Om," sapanya
"Temanmu mana?"
"Dia takut sama Om."
Arjuna tergelak, lalu melambaikan tangan mencoba memanggil Arum, tapi gadis itu tak beranjak.
Melihat itu, Arjuna membuka pintu mobil dan mengambil sebuah plastik, kemudian mengeluarkan isinya. Dia melambai-lambaikan baju itu ke arah Arum.
Arum yang tadinya cuek, kini berhenti dan melihat dengan seksama. Ketika menyadari apa yang berada di tangan laki-laki itu, dengan segera dia berlari mendekat.
"Ini, kan, yang kamu cari?" Arjuna menyerahkan baju itu kepada Arum.
"Iya, Om. Terima kasih," katanya memasukkan baju itu ke dalam tas, sambil mengatur napas yang naik turun.
"Kan, aku sudah bilang tadi. Aku yang menemukannya," kata Arjuna.
"Iya, sekali lagi terima kasih."
"Siapa namamu?" Arjuna mengulurkan tangan mengajak BERKENALAN.
Arum kembali ragu-ragu sehingga Ratih menarik tangan sahabatnya itu dan menyentuhkannya ke tangan Arjuna.
"Arum namanya, Om. Kalau saya Ratih."
"Oh, Arum. Cantik namanya," kata Arjuna merespons sambil melirik Arum berkali-kali karena gadis itu hanya menduduk sejak tadi.
Ratih yang mendengar itu tiba-tiba saja bergumam, "Yah, batal jodohku."
"Apa, Tih?"
"Ndak. Ayo kita pulang saja, Rum!" ajaknya.
"Kami permisi," pamit Arum.
"Ya hati-hati. Apa mau diantar pakai mobil? Kebetulan saya mau keluar. Jadi bisa sekalian," tawar Arjuna.
"Boleh," jawab Ratih yang langsung mendapat pelototan mata dari Arum.
"Ndak usah, Om. Kami jalan saja. Dekat kok."
"Oke kalau gitu. Minta nomor ponsel boleh?"
Ponsel? Kedua gadis itu saling berpandangan.
"Nomor telepon maksudnya. Hape, hape." Arjuna menjelaskan dengan mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana.
"Oh, kami ... ndak punya. Permisi." Arum menarik tangan Ratih dan segera berlalu dari rumah itu.
Arjuna menatap keduanya dengan takjub lalu tertawa geli saat meyadari kekeliruannya. Di kampung seperti ini, sebagian anak-anak tidak menggunakan gadget. Berbeda dengan di kota di mana para pelajar sangat melek dengan teknologi.
Dia lalu masuk ke mobil dan melajukannya menuju lokasi proyek untuk mengecek barak, apakah sudah layak dihuni bagi pekerja nanti.
"Saya terima nikahnya Arum Kinasih binti Darman Prabowo dengan mas kawin sebuah cincin emas dibayar tunai!""Sah?""Sah!"Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khaiir.Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan dengan khusyu'. Juga mengaminkan agar mereka berdua mendapat limpahan berkah, rumah tangga aman tentram, langgeng hingga kelak maut yang memisahkan, dan berkumpul kembali di surga.Arya, suamimya Ayu menepuk bahu Arjuna, setelah iparnya itu mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Hanya dalam sekali ucap dan tarikan napas, lelaki itu melakukannya.Ajuna sudah berlatih seminggu ini, mengahafal sebaris kalimat yang pendek tapi sangat menengangkan sewaktu diucapkan. Syukurlah, ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkannya dengan fasih. Padahal dulu dia pernah melakukan ini saat menikah dengan Sasya, tapi tetap saja gugup.Sementara itu,
Hari berganti dan waktu pun terus berjalan. Setiap detiknya berpacu dengan kehidupan. Begitu pula dengan roda kehidupan yang terus berputar.Arum yang tadinya menjadi asisten, kini memegang toko sendiri. Kejujuran dan kerja kerasnya selama ini, membuat pemilik butik memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengelola cabang baru.Lima tahun berjalan dengan cepat tanpa terasa. Arum begitu menikmati pekerjaannya yang kini mulai menghasilkan. Pemilik butik memberikannya modal untuk mengembangkan usaha, dengan catatan dia tak akan pergi karena desainnya begitu digemari.Kini, sebuah mobil sederhana menjadi teman Arum setiap berangkat kerja sekalipun dia masih tinggal di butik untuk menghemat biaya sewa. Rasa syukur tak hentinya dia ucapkan karena telah dipertemukan dengan begitu banyak orang baik, setelah badai menerpa.Arum, di usia yang masih muda ditempa menjadi sosok wanita kuat dan tangguh demi kehidupan yang lebih baik. Dia terlihat dewasa deng
Suasana di gudang menjadi riuh ketika pemilik butik masuk bersama dua orang karyawan laki-laki baru. Arum bersama tiga orang yang lain segera menyambut mereka dan mendengarkan pengarahan."Mulai hari ini, kalian semua pindah ke bagian depan, biar para laki-laki yang menjaga gudang," jelas pemilik butik yang langsung disambut antusias oleh Arum dan teman-temannya."Baik, Bu," jawab mereka serentak."Untuk sortir tetap kalian yang bantu karena yang laki-laki biasanya kurang paham. Jadi nanti saya akan memindahkan barang yang belum disortir ke ruangan sebelah. Jadi di sini khusus untuk barang yang sudah siap di display," jelas si pemilik butik lagi.Semua orang mendengarkan pengarahan dengan serius. Setelah selesai, pemilik butik meminta karyawan wanita untuk membereskan barang-barangnya dan pindah ke ruangan sebelah, di mana pakaian yang baru datang dari tempat produksi menumpuk untuk disortir kembali."Ini apa?" tanya pemilik butik
Arjuna menatap lekat wajah cantik itu dengan perasaan bersalah. Rasanya dia tak tega hendak menyampaikan maksud, karena Arum pasti akan kecewa.Hampir tiga bulan ini Arjuna berusaha untuk merebut kembali hati Arum dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengunjungi butik setiap makan siang.Mereka akan menghabiskan waktu dengan berbagi cerita sembari makan siang di sekitaran lokasi butik. Setelahnya, Arjuna akan kembali ke kantor dan menghubungi Arum di malam hari saat pulang bekerja."Aku mau minta maaf atas apa yang pernah aku lakuin sama kamu dulu," katanya dengan tulus. Merusak masa depan seorang gadis sekalipun dengan alasan cinta tetap saja tak dibenarkan.Arum tertunduk sembari menatik tangan. Hatinya bisa goyah jika Arjuna merhayu kembali, sementara dia sudah ingin membuka hati untuk Erlangga."Ya, Mas.""Aku juga mau bilang kalau selama ini belum bisa jemput kamu karena papa gak kasih izin." Arjuna menatap wajah
Setelah pertemuan kemarin, esoknya Arjuna kembali menemui Arum di butik saat makan siang. Inilah kesempatannya untuk menjelaskan kesalah pahaman yang dibuat oleh Sasya."Arum ada?" Arjuna bertanya saat memasuki butik dan tak mendapati sang pujaan hati di sana."Di gudang," jawab salah seorang karyawan."Bisa panggilkan?"Dalam sekejap, si pelayan butik bergegas ke belakang dan memanggil Arum. Sementara itu, Arjuna menunggu di sofa dengan hati berdebar."Mas."Arjuna mengangkat wajah saat melihat sang pujaan hati berdiri di hadapannya. Mata laki-laki itu berbinar dan langsung meraih jemari Arum kemudian menggenggamnya erat."Rum, aku ....""Mas ngapain ke sini?""Aku mau bicara. Berdua," pinta Arjuna sembari menatap sang kekasih dengan lekat.Arum menatap sekeliling di mana beberapa karyawan butik sedang memperhatikan mereka, lalu berkata, "Tapi aku izin dulu ya, Mas. Tapi bisanya cuma sebentar. Selesai jam m
Karena rinduku tak cukup jika hanya diucapkan, tapi ingin dihadiahkan pertemuan juga ~Rini Ermaya***"Mas Juna?" Sasya terbelalak saat melihat sang pujaan hati sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan seorang wanita yang memakai pakaian seragam butik.Siapa dia? Apa Arjuna mengenalnya sehingga mereka terlihat begitu akrab? Batin Sasya meronta sehingga gadis itu nekat menghampiri mereka."Eh, udah selesai?" tanya Arjuna tanpa melepaskan genggaman tangan di jemari Arum."Sudah, Mas. Ownernya ngasih aku model gaun terbaru. Padahal mau launching bulan depan," jawab Sasya sambil melirik sinis ke arah Arum."Oh, syukurlah. Jadi bisa pulang sekarang," kata Arjuna santai sembari berdiri."Kamu siapa?" tanya Sasya seraya menatap Arum dengan sengit. Panas di hatinya semakin membara setelah melihat perlakuan Arjuna kepada wanita itu."Arum," ucap gadis itu memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan.Sasya sen
Hanya ada tiga hal yang dapat mengubah seseorang, yaitu waktu, Tuhan dan dirinya sendiri ~Anonim***"Ayo, berangkat sekarang!" Seperti biasa, Erlangga akan membukakan pintu mobil dan membiarkan Arum masuk dan duduk di sampingnya. Lalu, mereka akan saling terdiam sepanjang perjalanan hingga tiba di tempat tujuan.Arum akan mengucapkan terima kasih lalu berlalu bergitu saja tanpa memahami perasaan yang sedikit demi sedikit tumbuh di hati laki-laki itu.Erlangga bahkan rela memangkas rambutnya, hanya karena Arum pernah mengatakan bahwa penampilannya cukup menyeramkan dengan gaya seperti itu."Rum?""Ya?""Malam minggu nanti aku mau ajak kamu jalan," ucap laki-laki itu dengan meragu. Melihat sikap Arum yang dingin, nyalinya seketika ciut. Kata-kata ini sedari dulu dia ingin ucapkan namun tertahan di bibir.Sudah hampir tiga bulan ini, Arum tinggal bersama mereka. Selama itu pula ada rasa yang tumbuh di dalam hatinya, y
"Hati-hati. Jangan diri baik-baik tempat orang," pesan Lastri saat mengantar putrinya ke pelabuhan.Disaksikan oleh banyak orang, akhirnya Arum meninggalkan kampung dengan berbekal seadanya. Setelah kejadian malam itu, dia tinggal di rumah Ratih untuk sementara waktu dan menyelesaikan ujian. Setelahnya, gadis itu diharuskan untuk berangkat, bahkan sebelum hasil ujian diumumkan.Air mata Lastri dan Ayu menetes saat Arum berpamitan. Ratih tak ikut mengantar karena tak sanggup berpisah dengan Arum. Gadis itu memilih untuk mengurung diri di kamar saat kepergian sahabatnya."Nanti kami akan mengirimkan ijazahmu kalau kelulusan sudah diumumkan," ucap wali kelas saat Arum mencium tangannya."Iya."Hanya itu yang Arum ucapkan untuk menjawab semua nasihat dari semua orang yang mengantarnya. Dia menatap wajah sang ibu dengan gamang karena tak rela berpisah. Namun, inilah keputusan terbaik yang telah mereka sepakati. Dia akan tinggal d
"Kerjakan dengan teliti. Jangan terburu-buru."Arum meraih kertas ujian yang disodorkan kapadanya dan mulai mengisi soal satu per satu. Di awal terasa cukup mudah, tetapi ketika memasuki nomor 20 dia kebingungan."Kenapa, Rum?" tanya guru yang mendampingi saat melihat dahinya berkerut. Arum juga menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena merasa gugup sejak tadi."Saya ndak bisa jawab, Bu," katanya dengan jujur."Soal yang mana?" tanya Ibu Guru sembari menatap kertas ujian."Ini. Sama yang ini. Tapi ini juga, Bu. Terus--" Arum menunjuk beberapa soal kemudian terus ke bawah dia bagian essai."Dibaca ulang. Diingat lagi sewaktu guru menjelaskan," ucap Ibu Guru dengan sabar.Arum berusaha fokus dengan tulisan dan angka-angka di kertas. Cukup lama dia membaca ulang ketika akhirnya satu per satu sial mulai terisi.Ibu Guru Arum dengan senyum sekaligus iba. Siswanya yang satu ini sebenarnya cukup pandai asal sabar mengajari. Se