Share

Bawang Merah Bawang Putih
Bawang Merah Bawang Putih
Penulis: Rini Ermaya

Awal Bermula

Pukul tiga pagi, suara kentongan besi di pos jaga yang biasanya digunakan untuk membangunkan warga, menggema dan bersahut-sahutan seantero kampung. 

"Banjir, banjir! Air sungai meluap."

Sebagian penduduk desa yang mendengar teriakan itu, BERLARI keluar rumah dan berusaha menyelamatkan diri. Sebagian lagi, ada yang masih terlelap dan bergelung di balik selimut. 

"Pak! Pak, bangun!" Retno mengguncang tubuh suaminya yang masih terlelap.

"Ada apa, Bu?" Darman menggeliat malas dan enggan membuka mata.

"Banjir. Cepat, Pak! Kemasi barang-barang kita. Ibu mau bangunkan Arum."

"Astagfirullah."

Mereka mengemasi barang-barang yang layak dibawa. Curah hujan memang deras tahun ini, ditambah dengan penebangan hutan untuk pembangunan perumahan di daerah sekitar kampung, membuat air sungai meluap karena tanah tak mampu meresap air. 

Para pengembang dan pemegang proyek sudah diingatkan untuk membuat saluran air kotor yang benar namun beberapa justru mengabaikan, malah meninggalkan lokasi begitu saja setelah perumahan selesai dibangun, serta akad jual beli ditanda-tangani. 

"Arum! Bangun, Nak!"

"Apa, Bu?"

"Rumah kita kebanjiran. Ayo, kita harus mengungsi!" ajaknya.

"Tapi sekolahku, Bu."

"Sudah jangan dipikirkan. Ayo cepat. Lihat, airnya sudah masuk. Nanti lama-lama kita bisa tenggelam." 

Arum segera bangun dan membuka lemari untuk mengambil beberapa barang yang menurutnya penting. Air mata gadis itu bercucuran saat memasukkan buku-buku ke dalam kotak.

"Itu jangan dibawa. Berat. Ditinggal saja. Ambil baju-baju kamu."

"Tapi, Bu ...," katanya. 

Arum akan mengikuti ujian akhir sekolah menengah pertama tahun ini, karena itulah rasanya berat hati jika harus meninggalkan sumber ilmu yang telah menemaninya selama tiga tahun. Mereka bukan dari keluarga berada, sehingga untuk membeli buku pun harus menyisihkan uang dan rela tidak jajan. 

"Kita ndak mungkin bawa buku itu ke penampungan. Air sudah mulai tinggi. Ayo cepat. Bapakmu sudah menunggu di motor. Kalau telat, nanti bisa ikut hanyut."

Arum meletakkan kembali kardus yang sudah dia siapkan tadi, lalu mengambil sebuah tas dan mengisinya dengan beberapa helai baju. 

Tangannya ditarik dengan begitu kuat sehingga menimbulkan rasa sakit.

"Ayo, naik!" titah Darman yang sejak tadi sudah menghidupkan mesin dan siap melaju.

"Kamu duluan, Rum," kata Retno. 

"Ibu?" tanya gadis itu, merasa heran mengapa ibunya malah menunda berangkat. 

"Nyusul. Ada yang kelupaan Ibu ambil."

"Sudah nanti saja. Itu lihat sudah tinggi. Kalau telat, motor Bapak bisa mogok terendam air," kata Darman setengah membentak. 

Mereka bertiga duduk berdempetan di motor. Bapak dengan cekatan melajukan motor di tengah hujan deras menuju gerbang depan. Ada sebuah dataran tinggi di ujung kampung yang biasanya digunakan untuk posko penampungan. 

Banjir di kampung ini sudah menjadi langganan setiap tahun. Namun, kali ini sepertinya lebih besar dari tahun sebelumnya. Penduduk yang tinggal di pinggiran sungai sudah terbiasa dengan keadaan ini, tapi tetap saja kepanikan melanda. Mau bagaimana lagi, mereka tak punya uang untuk membeli tanah. Akhirnya membangun rumah di bantaran sungai. 

"Alhamdulillah."

Darman langsung terduduk ketika mereka sampai dan bergabung dengan warga yang lain. Mesin motornya bahkan belum dimatikan. Lutut mereka lemas seketika saat melihat air deras yang menggulung tanah kampung. 

Air mata ibu dan Arum bercucuran, antara sedih dan senang. Sedih karena harta benda yang mereka kumpulkan dengan susah payah harus dilepas begitu saja. Tak hanya itu, mungkin akan ada banyak korban yang hanyut, hanya saja tak mengetahuinya. Senang karena mereka sekeluarga masih bisa selamat dan berkumpul.

"Anakku. Anakku. Tolong!" teriak seorang wanita. 

Sebuah boks plastik mengapung. Di dalamnya ada seorang bayi yang menangis kencang. Tadi wanita itu sengaja memasukkan bayinya ke dalam tempat mandi agar tak terbawa arus. Namun, tangannya tak kuasa menahan karena sulit untuk berjalan sambil menerobos banjir. 

"Pak! Pak, tolong itu!" 

Darman dengan sigap berusaha turun bersama yang lain untuk menyelamatkan si bayi dan ibunya. Air sudah sampai sepinggang orang dewasa. 

Bantuan dari pihak manapun pasti akan datang, tapi bisa dipastikan penyalurannya lambat. Sebisa mungkin, mereka akan melakukan apa saja untuk menolong orang-orang yang bisa diselamatkan. 

"Ambil ini, Bu." Darman menyerahkan boks itu kepada istrinya.

Arum membantu ibunya mengangkat boks dan langsung membawa bayi itu menuju tenda. Dengan cekatan Retno membuka kain yang menutupi tubuh mungil itu dan menggantinya dengan batik yang mereka bawa dari rumah. Tangisan yang tadinya terdengar kencang, kini berangsur mereda. 

"Dia haus," kata Retno saat melihat bibir si bayi berdecap. 

"Mana ibunya?" tanya Arum sambil melihat sekeliling, lalu tak mendapati orang yang dimaksud. 

"Tadi bukannya lagi dibantuin sama Bapak buat naik ke sini?" tanya Retno keheranan.

Arum masih mencari dan mendapati bapaknya yang sedang berenang sambil memegang seorang wanita.

"Itu, Bu. Itu mereka!" Dia berlari menuju ke arah dua orang itu dan mencoba membantu. 

"Alhamdulillah, terima kasih, Nak," kata wanita itu sambil memeluknya. 

Dengan kondisi tubuh yang lemas, mereka menuju tenda. 

"Anakmu haus," kata Retno kepada wanita itu.

"Gantikan bajunya dulu. Baru beri susu," usul Darman. Lalu dia kembali membantu korban yang lain. 

Arum membuka tas dan mengambil baju ibunya untuk diberikan kepada wanita itu. Seingatnya, mereka tidak bertetangga karena belum pernah bertemu sama sekali. 

"Cepat ganti baju, kasihan anakmu," kata Retno.

Arum membantu membentangkan kain saat wanita itu berganti pakaian, agar tak terlihat siapa pun. 

Ketika bayinya diserahkan, air mata wanita itu kembali luruh, dan mengucap hamdalah berulang kali karena mereka bisa diselamatkan.

"Namamu siapa?" tanya Retno ketika si bayi sudah terlelap dan mereka duduk sambil berbincang. Entah apa yang ditunggu, sepertinya hujan juga tidak akan kunjung reda. 

"Lastri."

"Rasanya kita belum pernah ketemu, ya. Kamu tinggal di sebelah mana?"

"Saya baru pindah satu minggu ini. Saya sudah ... bercerai. Anak saya yang pertama dibawa ayahnya. Seumuran dia," Lastri menunjuk Arum dengan mata berkaca-kaca. 

Arum dan ibunya saling berpandangan karena tak tahu harus menanggapi apa. 

"Ya sudah kita tidur saja. Kalau lapar baiknya ditahan. Ndak ada makanan kalau sudah banjir begini. Paling besok pagi kalau relawan datang."

Mereka bertiga merebahkan diri di tanah kosong yang dialasi terpal. Arum sulit memejamkan mata. Rasanya kasur kapuk di rumah lebih nyaman. Bapaknya entah kemana, mungkin masih membantu korban yang lain. 

"Baca doa, Nak. Lalu pejamkan mata. Nanti lama-lama juga ngantuk," bisik Retno. 

Arum menggeser posisi tidur dan memeluk ibunya dengan lelap. Tak lama dengkur halusnya terdengar.

***

Arum membuka mata saat sebuah guncangan di tubuhnya semakin kuat. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. 

"Ayo bangun. Bantuan sudah datang."

Matanya terbelalak saat melihat posko yang tiba-tiba berubah drastis. Orang-orang berlalu lalang melakukan aktivitas. Ada yang membagikan makanan dan minuman, selimut, juga bantuan yang lain. Ada juga yang sibuk memasang kompor untuk memasak.

"Lastri. Ambil ini untuk anakmu." Retno membawa sekantong besar berisi popok dan susu. 

"Nak, ambil nasi bungkus buat Bapak sama yang lain. Kasihkan ke sana," tunjuk Retno kepada sekumpulan laki-laki yang sedang membangun tenda tambahan. 

Arum mengambil nasinya dan menyerahkan itu dengan cepat, lalu kembali ke tenda mereka. 

"Lapar, Bu," rengeknya. Untuk gadis yang masih berusia lima belas tahun dia cukup manja, apalagi anak tunggal. 

"Ayo makan." Retno menyodorkan beberapa bungkus nasi dan mereka makan bertiga. Lastri duduk didekat Arum karena tak begitu kenal dengan yang lain. 

"Nanti kalau banjir sudah reda, kalian boleh tinggal sama kami sementara waktu. Mudah-mudahan rumah kita ndak roboh," tawar Retno.

"Makasih. Mbak sekeluarga baik sekali," kata Lastri haru. 

Mereka sedang asyik makan sambil bercerita, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari ujung sana. 

"Perhatian semua! Ini ada bantuan datang dari pengembang perumahan!" Teriakan salah satu warga membuat mereka berhenti makan.

Tampaklah seorang laki-laki dengan penampilan klimis sedang membagi-bagikan kardus yang isinya bahan makanan. 

"Sana, Rum. Ambil dua ya, buat kita sama Mbak Lastri," kata Retno. Putrinya sejak tadi sudah selesai makan, sehingga dia yang dimintai tolong.

Arum segera mencuci tangan dan berjalan cepat untuk mengantre bantuan. 

"Saya dua ya, Om. Buat Ibu sama Mbak Lastri," katanya sambil menunjuk ke arah tenda. 

"Kamu bisa bawanya? Kardusnya berat, loh."

"Bi-sa," jawabnya gugup.

"Siapa namamu?" Laki-laki itu menunduk agar wajah mereka sejajar.

"Arum," jawabnya.

"Anak pintar."

"Om siapa?" tanya gadis itu. 

"Arjuna."

Arum terbelalak karena kaget. Arjuna itukan ... nama tokoh wayang? Seingatnya, dulu dia pernah membaca buku itu di perpustakaan sekolah. 

"Kita foto dulu, ya." 

Arjuna melambaikan tangan dan meminta juru foto mengambil gambar mereka. Dia berpose sedang memberikan kardus dan diterima oleh Arum, untuk nanti diserahkan sebagai laporan bahwa bantuan telah disalurkan kepada korban bencana. 

Pihaknya merasa ikut andil atas banjir yang melanda kampung. Juga untuk mengambil hati warga karena proyek besar-besaran akan kembali diadakan beberapa tahun ke depan. 

"Om."

"Ya?"

"Itu ... nanti boleh ndak aku minta fotonya untuk kenang-kenangan," katanya polos.

Arjuna tergelak dan mengangguk, lalu menyuruh seseorang untuk membantu Arum membawa dua kardus menuju tenda, dan melanjutkan pemberian bantuan kepada yang lain. 


Komen (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
Hi,I think your novel has the potential. Please leave me your social media so that I can let you know!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status