Share

Perintah

Lastri berdiri di depan pintu kamar sambil berkacak pinggang, lalu berkata, "Kamu ndak nyuci baju, Rum?" 

"Sebentar, Bu. Arum masih bikin PR," jawabnya sopan, sambil menatap buku yang masih terbuka dan pekerjaan rumah yang masih belum selesai.

"Ini baju kami sudah habis. Kalau ndak kamu cuci sekarang, kapan keringnya? Mumpung cuaca lagi panas," omel Lastri.

Kata-kata itu membuat bising telinga. Arum menutup buku dan bergegas ke belakang.

"Nyuci, ya?" tanya Ayu yang sedang asyik menonton televisi. 

"Iya, Yu," jawab Arum. 

"Yang bersih. Cucian dua hari lalu masih ada noda di bajuku. Jangan asal ngucek gitu," katanya sambil mengutak-atik remote di tangan. 

Arum mengepalkan tangan menahan emosi. "Kalau ndak bersih ya nyuci sendiri," umpatnya kesal.

"Kamu bilang apa tadi?" kata Ayu meletakkan remote dan berdiri sambil berkacak pinggang. 

"Ndak apa-apa, Yu." 

Dengan cepat Arum meninggalkan tempat itu dari pada mendapat kemarahan dua kali. Sejak pagi dia belum sarapan karena kurang berselera. 

Di meja ada nasi sama tempe. Bukannya Arum memilih makanan, tadi dia sempat melihat Ayu makan dengan ayam goreng. Ibunya memang pilih kasih. Sekalipun anak sambung, tak bisakah mereka bersikap adil?

"Lama bener. Ke mana saja kamu?" Lastri terlihat marah dengan mata yang melotot sambil berkacak pinggang, persis seperti sikap Ayu tadi. Memang, buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya. 

"Masih bikin PR, Bu. Besok dikumpul," jawabnya sambil mengambil sebuah keranjang berisi pakaian kotor. 

"Nanti malam kan bisa. Sekarang kewajibanmu dulu di rumah. Jangan bermalas-malasan," katanya sambil memperhatikan Arum yang sibuk memisahkan kain. 

Baju berwana dan putih tidak boleh dicampur karena akan terkena lunturan. Dia sudah pernah disemprot gara-gara hal itu.

"Air di sumur kering. Kamu ke sungai sana!" titah Lastri.

"Tapi jauh, Bu. Kakiku sakit kalau jalan sambil bawa keranjang besar begini. Biar Arum pompa sumurnya ya ndak apa-apa," pintanya sambil memelas. 

"Kamu budeg atau apa? Tadi, kan, Ibu bilang sumurnya kering. Jangan ngeyel. Sana pergi ke sungai. Nanti kesiangan. Kalau ndak selesai hari ini, awas ya!"

Lastri kembali mengaduk sesuatu di panci. Baunya harum tercium. Arum mengintip sedikit. Ada ayam yang dimasak dengan kuah santan. Seketika perutnya berbunyi.

"Arum makan dulu, ya. Perih." Sengaja dia memegang perut dan berpura-pura merintih.

Sebenarnya dia tidak berbohong karena memang kelaparan. Hanya saja sedikit berakting supaya ibunya mau memberikan potongan daging, bukan hanya tempe goreng. 

"Itu ada tempe di meja. Makan sana!" tunjuknya.

"Cuma tempe. Dipanci ada ayam. Arum juga mau," katanya nekat. 

"Kamu ini ndak tau bersyukur. Dipikir bapakmu mati ninggalin banyak harta apa? Syukur aja aku masih mau mengurusi kamu," omel Lastri. 

Mendengar itu Arum hanya terdiam, sudah terlalu sering dan biasa. Dalam hatinya berkata, bukannya mereka yang menumpang di rumah ini? Harusnya dia yang mengatakan hal itu. Mereka yang tidak tahu bersyukur. 

Dengan gontai dia mengambil piring dan nasi juga beberapa potong tempe. Tidak ada sambal di meja, sepertinya sudah dihabiskan Ayu. 

"Nih!"

Sebuah mangkuk diletakkan di meja. Mata Arum berbinar saat mencium aromanya. Gulai ayam dengan kuah yang masih mengebul panas. Arum menyendok isinya dan mengaduk sebentar, berharap ada bagian dada atau paha ayam yang lezat. Namun malang, hanya ada ceker dan kepala.

"Kenapa ngelamun? Ndak dimakan?" tanya Lastri.

"Aku pikir ada dagingnya." Dia mengambil kepala dan menuang kuah di nasi. Untungnya ada sedikit daging dan lemak di bagian leher. Cukuplah, dari pada tidak merasakan sama sekali.

"Dagingnya belum mateng. Lagian kamu kalau dikasih makanan bergizi juga percuma. Nilai di sekolah rendah terus. Coba lihat Ayu, juara kelas," sindir Lastri.

Dengan cepat Arum menghabiskan nasi sekalipun masih sedikit panas. Lebih baik mencuci di sungai dari pada mendengarkan ceramah ibunya. Kalau isinya menasihati mungkin lebih baik, ini cuma membandingkan antara dia dengan Ayu.

"Pergi dulu, Bu," pamitnya.

Lastri mengabaikan ucapan putrinya dan sibuk mengaduk panci sambil bersenandung. 

"Rajinnya kamu. Nanti dapat suami ganteng, loh," ejek Ayu. Setiap kali Arum akan pergi mencuci, dia akan mengatakan itu, mengolok-olok lalu menertawai. 

Arum menggerutu, mana ada laki-laki tampan yang mau dengannya kalau kulit wajahnya penuh dengan bintik-bintik, juga bentuk tubuh yang kurus. Berbeda dengan Ayu yang padat berisi juga memiliki kulit yang mulus. 

Di kampung ini saja, belum ada satu pun remaja laki-laki yang menoleh ke arahnya. Semua mata tertuju kepada Ayu. Sepertinya, si upik abu di dongeng Cinderella pantas disematkan sebagai julukannya. 

Arum mengambil sendal jepit dan memanggul keranjang menuju sungai. Jaraknya satu kilometer dari sini. Pulang nanti dia akan menumpang kendaraan yang lewat, mana sanggup membawa baju basah sekeranjang. 

"Arum!"

Gadis itu menoleh dan mendapati Ratih, sahabatnya memanggil.

"Apa?"

"Bareng," katanya.

"Mana cucianmu?" Dia bertanya saat melihat tangan Ratih yang kosong.

"Aku ndak nyuci hari ini. Capek. Mau mandi saja."

Mereka berjalan beriringan sambil bercerita.

"Ya ... mana tau pas mandi kainku hanyut terus ada pangeran tampan yang menemukannya. Kami pun saling jatuh cinta dan menikah," khayal Ratih.

Arum tergelak mendengar itu. Bagaimana mungkin di dusun yang sepi ini ada pengeran tampan. 

"Ngimpi kamu, Tih."

"Semuanya berawal dari mimpi. Ya, ndak? Berdoa saja semoga terwujud," katanya dengan percaya diri.

"Lagian, mana ada pangeran mau sama gadis desa yang mandinya kesiangan kayak kamu. Ada juga langsung kabur pas ketemu. Bau!" ejek Arum. 

Ratih mencoba memukul, tapi sahabatnya itu mengelak. Gadis itu mencoba mengejar dan akhirnya mereka berlarian seperti anak-anak. Tentu saja Arum kalah, karena dia membawa beban di tangan. 

Mereka berhenti sebentar karena kelelahan sambil BERCERITA kemudian melanjutkan perjalanan, hingga tak terasa akhirnya sampai juga. Air sungai yang jernih membuat Arum ingin mandi juga.  

"Kamu mau mandi ndak bawa baju ganti?" tanya Arum heran.

"Bentar lagi bapak lewat pakai motor. Dia bawakan," jawab Ratih santai.

Mendengar itu hati Arum sedih saat teringat akan mendiang bapaknya. Seandainya beliau masih ada, tentulah nasibnya tidak akan seperti ini. 

Dulu ibu sambungnya begitu baik dan penyayang, namun sikapnya berubah setelah kepergian bapak. Arum hanya bisa berpasrah diri. Nanti setelah lulus sekolah, dia berencana akan pergi jauh dari kampung ini agar tidak usah bertemu dengan mereka lagi. 

"Sini, turun. Airnya seger," ajak Ratih.

"Bentar, dikit lagi." Arum masih mengucek kain dengan sabun. Rasa panas mulai menjalar di tangan, tapi kalau tidak bersih, dia pasti dimarahi lagi. 

Arum meletakkan keranjang di dekat batu besar. Lalu berdiri dan hendak mendatangi Ratih saat tiba-tiba saja kakinya tergelincir. Keranjang baju tersenggol dan sebagian isinya hanyut terbawa arus. 

"Bajuku! Bajuku!" 

Ratih berusaha membantu. Akhirnya dengan penuh perjuangan mereka berhasil mengembalikan satu per satu ke dalam keranjang. Sementara itu, Arum memeriksa setiap helainya. Mengapa kurang satu? 

"Rum! Rum! Itu masih ada satu yang hanyut!" teriak Ratih sambil mencari sebilah kayu dan berusaha mengaitnya. Sayang, usaha itu gagal. 

"Yah, hilang," sesal Arum. 

"Sudahlah, ikhlaskan. Nanti dapat ganti yang lebih baik," hibur Ratih.

Arum menangis sesegukan. Dia pasti akan mendapat hukuman dari ibu karena menghilangkan baju Ayu. Rasanya dia sudah lelah menjalani hari-hari seperti pembantu di rumah sendiri. Jika ditambah dengan hukuman, rasanya gadis itu ingin mati saja. 

"Itu bukan bajuku, tapi punya Ayu."

"Ya ampun. Bisa kena kamu, Rum. Ayo kita cari lagi. Ikuti saja sungai ini sampai ujung. Semoga masih rezeki bisa ketemu." 

Ratih menarik tangan Arum dan berjalan bersisian. Bajunya sendiri masih basah karena bapaknya belum datang. 

"Tih!" Sebuah suara mengagetkan mereka.  

"Bapak!" balasnya.

Arum manjadi iri kepada Ratih saat bapaknya memberikan sebuah bungkusan. 

"Ayo pulang," ajak laki-laki paruh baya itu kepada anaknya.

"Belum, Pak. Mau nyari baju dulu. Cucian Arum ada yang hanyut," jawabnya.

"Loh, kok bisa?"

"Tadi saya kepleset, Pakde. Jadinya keranjang jatuh. Ada satu yang hilang. Baju Ayu."

"Kalau gitu ayo naik motor. Pakde antar keliling," ajaknya. 

Arum berpandangan dengan Ratih. Ketika sahabatnya itu mengangguk, akhirnya dia ikut naik motor dan meletakkan keranjang di tengah. Ratih sendiri memilih berganti pakaian di sebuah bilik yang dibangun di dekat kali. 

"Berhenti," ucap seorang saat mereka akan memasuki gerbang. 

Sungai ini akan dibangun oleh pemerintah daerah. Sementara masih dalam proses, penduduk diizinkan mencuci dan mandi. Namun, sudah ada larangan tegas untuk tidak membuang sampah sembarangan. 

"Ada baju saya hanyut. Alirannya ke arah sini," kata Arum dengan nada memelas. 

"Sedang ada kunjungan dari pimpinan proyek, jadi siapa pun dilarang masuk," tolak si penjaga.

"Tapi ...."

"Tolonglah, Mas. Kasihan keponakan saya," bujuk ayah Ratih.

Si penjaga menjadi luluh karena merasa iba. 

"Baiklah. Tapi cuma sebentar. Cari di sekitaran sini. Jangan mendekat ke arah proyek," katanya membuka gerbang. 

"Pakde. Tolong bawakan keranjangku pulang. Nanti aku berjalan kaki saja ke ke rumah."

Bapaknya Ratih mengangguk dan melesatkan motor untuk menjemput kembali anaknya. 

Arum memasuki kawasan itu dan mulai mencari. Matanya terbelalak saat melihat sebuah kain putih tersangkut di ranting pohon yang patah di sungai. Tangannya berusaha menggapai tapi kesulitan. 

Hingga akhirnya, Arum tercebur ke kali karena memaksakan diri. Dia bisa berenang namun entah mengapa tiba-tiba saja kakinya keram. 

"Tolong ...!" 

Arum berteriak sebelum akhirnya luruh ke bawah. Dia berusaha bertahan, tapi tak mampu. Tubuh mungil itu akhirnya menyerah dan luruh ke dalam air ketika sebuah tangan meraih pinggangnya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status