Share

Sang Penolong

Arum didorong ke tepi kali dan terbatuk beberapa kali.

"Kamu gak apa-apa?" tanya laki-laki bermata cokelat dengan nada khawatir.

"Ndak apa-apa, Om," jawabnya. 

Arum memandang sang penolong dengan lekat dan memperhatikan setiap inci wajahnya. Rasanya dia pernah bertemu, tapi lupa entah di mana. Laki-laki di hadapannya itu memiliki wajah blasteran dan sepertinya sudah berumur. Itu terlihat dari beberapa helai uban yang terselip di rambutnya. 

"Syukurlah. Lain kali hati-hati."

"Tapi baju saya hilang," sesal Arum.

"Biarkan aja daripada nyawa kamu yang hilang."

"Kalau begitu, saya permisi, Om," kata Arum sambil berdiri dan menormalkan detak jantung. Kejadian tadi membuatnya sedikit trauma. Baju Ayu entah di mana berada. Dia sendiri sudah pasrah jika dimarahi ibunya nanti. 

"Ya." 

Arjuna menatap gadis remaja itu hingga menghilang dari pandangan. Tiba-tiba saja ada debaran halus yang menyusup di dadanya saat melihat wajah lugu dan polos itu. Laki-laki itu mengulum senyum dan menggelengkan kepala karena merasa lucu dengan apa yang dipikirkannya barusan. 

"Pak! Pak Arjuna!" Sebuah teriakan memanggilnya.

"Ya, di sini."

"Ya, ampun, Bapak basah semua."

"Ambilkan baju ganti saya di mobil," titah Arjuna. 

"Baik, Pak. Tapi nanti dilanjut lagi surveinya. Bapak bikin khawatir aja pas lari tadi. Kami jadi ikutan panik."

"Ada yang hanyut, tapi sudah saya tolong," kata laki-laki itu tenang. 

"Siapa?"

"Ya, saya gak kenallah. Mana hafal wajah penduduk sini." 

Arjuna memeras ujung baju lalu mengibaskan rambut yang basah. Tubuhnya mulai menggigil, perut juga sudah berbunyi tanda minta diisi. 

"Kalau gitu Bapak tunggu di saung saja, nanti biar saya ambilkan baju ganti."

Arjuna mengangguk lalu berjalan menuju saung di dekat desa untuk berganti pakaian dan makan siang. 

Hari ini tim mereka melakukan survei di daerah sekitar sungai yang akan dibangun. Kampung itu sudah menjadi langganan banjir setiap tahunnya, sehingga pemerintah memutuskan untuk membuat tanggul. 

Dulu, tiga tahun yang lalu, dia pernah mengerjakan proyek perumahan di daerah tersebut dan perusahaannya ikut membantu warga korban banjir dengan memberikan bantuan. Kini, dia kembali dan akan mengerjakan proyek tanggul untuk beberapa waktu ke depan. 

"Siapa yang hanyut tadi, Pak?" tanya salah seorang tim saat mereka sudah duduk bersila di depan sajian. Ada ayam dan ikan mas goreng dengan lalapan juga sambal. 

"Cewek," jawab Arjuna sambil menyendok nasi ke piring. 

"Cantik, Pak?"

"Yah, lumayan."

"Wah, Bapak bisa dapat pacar selama di sini," canda yang lain. 

"Masih kecil," jawabnya asal. 

Mendengar itu, semua orang tergelak. Mereka makan sambil bercerita mengenai persiapan selama tinggal tempat itu. Proyek ini akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga para pekerja diputuskan harus menetap sampai kontrak selesai.

"Bapak sudah dapat tempat tinggal yang cocok?" 

"Ada beberapa PILIHAN. Informasi yang paling baru ada rumah kontrakan kecil di dekat sekolah. Habis ini saya mau ke sana. Kalau cocok, ya ambil." Arjuna meneguk segelas teh hangat setelah selesai melahap nasi sepiring penuh.

"Kami boleh ikut, Pak?"

"Ya, bisa aja. Kita lihat sama-sama."

Setelah selesai makan, mereka melanjutkan peninjauan lokasi. Arjuna berjalan mengelilingi beberapa bagian sungai, lalu matanya tertuju pada sebuah benda putih yang mengapung di air.

"Itu! Tolong ambil," tunjuknya pada benda tadi yang ternyata sebuah baju.

"Buat apa, Pak?" tanya salah satu timnya.

"Ambil aja sekarang. Cepat!" titahnya.

Salah seorang yang diminta tolong langsung mencari alat untuk mengambil kain itu sebelum hanyut lebih jauh. Akhirnya dengan susah payah, baju itu berhasil diambil.

"Masukkan ke dalam plastik, nanti mau saya bawa pulang," katanya. 

Seingat Arjuna, gadis itu berkata hendak mengambil kain yang hanyut. Namun, dia tak sempat meraihnya karena nyawa lebih berharga. Dia melanjutkan survei dan memastikan bahwa pembangunan akan segera dimulai.

***

Arum berhenti di tengah jalan karena kakinya pegal. Sejak tadi menunggu tapi belum ada yang bisa ditumpangi. Baju yang tadinya basah, kini kering di badan. Untunglah, cucian sekeranjang sudah dibawakan oleh bapaknya Ratih tadi. 

Dia terduduk di pinggir jalan sambil memijat kaki. Mungkin dengan menunggu, sebentar lagi akan ada kendaraan yang lewat.

Suara klakson motor mengagetkan Arum. Tampaklah seorang laki-laki-laki paruh baya seumuran mendiang bapaknya berhenti di depan.

"Ayo, Pakde antar pulang."

"Yang bener?" tanya Arum ragu.

"Iya, ayo! Kasihan kamu kayak gitu. Tadi habis nyuci?"

"Iya."

"Mana cucianmu?"

"Dibawakan Bapaknya Ratih, Pakde."

"Ya, sudah, ayo!"

Sepanjang perjalanan Arum hanya terdiam, merasa kedinginan kerena embusan angin yang cukup kencang. 

"Kamu kelas berapa sekarang?"

"Tiga, Pakde."

"Selesai sekolah mau ke mana?"

"Pengen ke kota. Kerja," jawabnya.

"Jangan, Rum. Di kota itu kehidupan keras, lebih baik tinggal di kampung."

"Aku ndak tau mau kerja apa di sini."

"Kamu sudah punya pacar?"

"Belum, Pakde."

"Jadi istriku mau?"

Astagfirullah. Arum mengucap istigfar dalam hati. Dia memang ingin menikah dan memiliki keluarga, tapi mau juga menjadi istri Pakde itu. 

"Sama ibuku mau?" tawarnya. 

"Ibumu janda dua kali, Rum. Aku maunya perawan," katanya sambil membawa motor dengan pelan. Sengaja, biar waktu berduaan bisa lebih lama. 

"Itu ada Ayu."

"Pakde ndak berani kalau sama saudaramu itu. Cantik soalnya."

Arum mengumpat dalam hati. Jadi maksudnya ... dia jelek, begitu?

"Di sini aja, Pakde," katanya meminta berhenti. 

Seharian ini Arum benar-benar kesal dengan banyak hal. Perlakuan ibu sambungnya, Ayu, cucian hilang hingga terjatuh di sungai. Ditambah dengan ucapan Pakde barusan, rasanya dia ingin pergi sejauh-jauhnya dari kampung ini. Akan tetapi, kemana?

"Pertimbangkan saja, Rum. Aku ini duda ditinggal mati istri. Sawah sama ternakku banyak. Kalau kamu mau, nanti sekolah aku belikan motor biar ndak jalan kaki."

Arum membalikkan badan dan mengabaikan ucapan itu. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih, malah langsung masuk ke pekarangan rumah. 

"Dari mana saja kamu?" Lastri menatap putrinya dengan galak saat memasuki rumah.

"Nyari baju hanyut," jawab Arum jujur. 

"Tadi Bapaknya Ratih ngantar baju basah sekeranjang. Kamu ini memalukan saja. Nitip barang ke orang lain, sendirinya malah main," omel Lastri.

"Aku ndak main, Bu. Aku nyari baju hanyut. Itu baju Ayu hilang satu," katanya membela diri. 

"Apa? Bajuku hilang?" Tiba-tiba Ayu muncul dari dalam karena mendengar omongan itu.

"Iya. Maaf, Yu. Aku ndak sengaja," kata Arum menyesal.

"Makanya kerja yang bener. Nyuci baju aja sembarangan." Gadis itu berjalan ke belakang dan memeriksa keranjang. Lalu, terdengarlah teriakan dan isak tangis darinya. 

Lastri yang mendengar itu, menyusul putrinya ke belakang. 

"Ada apa, Nak?"

"Baju baruku, Bu. Warna putih."

"Sudah jangan sedih. Nanti kita beli yang baru ya. Ibu nagih setoran sama warga kampung dulu, ya" bujuk Lastri.

"Potong saja uang jajan Arum, Bu. Kalau perlu, ndak usah dikasih sama sekali, buat ganti bajuku," desaknya.

"Jangan begitu, Nak. Biar bagaimanapun, keluarga Arum banyak berjasa dengan kita," kata Lastri menghibur.

"Tapi, Bu."

"Sudah sana kamu istirahat. Besok masuk sekolah, kan? PR sudah dikerjakan?"

"Sudah."

Arum yang mendengar itu langsung masuk ke kamar dan menumpahkan tangis. Dia bahkan lupa mengganti baju karena sudah tak tahan. 

"Bapak. Ibu," katanya sambil mengusap air mata dan memandang foto kedua orang tuanya di album. Jika rindu, dia akan membuka semua kenangan keluarga mereka. 

Lalu, sebuah foto terjatuh di lantai. Arum mengambilnya dan melihat dengan teliti. Itu gambarnya tiga tahun lalu saat banjir dan mereka mendapatkan bantuan dari pengembang perumahan. 

Wajah itu, kenapa mirip dengan orang yang tadi menolongnya saat jatuh ke sungai? Arum ingat, namanya kalau tidak salah Ar ... juna. Iya, benar Om Arjuna. Apa mungkin dia orang yang sama?


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status