Setelah menghabiskan malam minggu berdua walaupun hanya sebentar, Arjuna semakin intens menghubungi Arum, terutama di malam hari setelah pulang bekerja.
Kontrak yang sudah dia tanda-tangani selama setahun untuk mengawal proses pembuatan tanggul, akan membosankan jika hanya diisi dengan bekerja. Arjuna membutuhkan hiburan lain, salah satunya dengan berkenalan dengan gadis-gadis di kampung.
Arum bukanlah gadis pertama yang ditemuinya, namun justru yang paling memikat hati. Mungkin karena dia secara terang-terangan menolak dan menghindar, sehingga Arjuna merasa tertantang untuk menaklukkannya.
Setelah malam itu juga, sikap Lastri benar-benar berubah kepada Arum. Dia menjadi lebih perhatian dan jarang menyuruh putri sambungnya itu membereskan pekerjaan rumah. Hal itu membuat Ayu menjadi geram dan semakin iri hati.
Seperti hari ini, Ayu TERBAKAR amarah saat melihat ibunya mencuci piring setelah mereka makan, juga menimba air di sumur. Sehingga, dia sengaja melempar gelas seng untuk mencari perhatian.
"Kamu kenapa, Yu?" tanya Lastri heran.
Arum menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Ayu.
"Ibu itu sudah tua. Kenapa malah menimba air? Biarkan saja Arum yang melakukannya," sungut Ayu.
Lastri tersenyum mendengar ucapan putrinya, lalu berkata, "Kamu lihat, kan, Arum mencuci baju sebanyak itu. Biar saja Ibu yang bantu angkat air."
"Tapi itu, kan, berat."
"Kalau berat kamu saja yang bantu angkat, Yu." Kali ini Arum yang berkata. Selama ini saudara perempuannya itu tak pernah membantu pekerjaan apa pun di rumah. Dia hanya bersantai dan belajar, kadang-kadang pergi bersama temannya entah ke mana.
"Emoh, nanti tanganku kapalan," ketusnya.
Arum mengabaikan ucapan itu dan kembali mencuci. Sementara itu, Lastri menyusul Ayu ke depan.
"Ibu itu kenapa jadi baik sama Arum?" katanya sambil melipat tangan di dada.
Lastri duduk di sebelah putrinya lalu mengusap pundak Ayu dengan lembut, sambil berusaha menenangkan.
"Dia kan punya pacar kaya. Lihat saja, kalau nanti Arum menikah dengan Arjuna, maka kita juga yang ikut senang," jelas Lastri.
"Tapi aku ndak suka."
"Jangan begitu, Nak. Kalau Arum jadi menikah, dia pasti bakalan pindah dari rumah ini. Jadi kita yang akan berkuasa," bisik Lastri sambil melirik ke belakang, berjaga-jaga jangan sampai pembicaraan mereka terdengar Arum.
Ayu berbinar senang. Benar juga kata ibunya. Kalau sampai Arum keluar dari rumah ini, maka semua harta peninggalan orang tuanya akan menjadi milik mereka.
"Jadi ... Ibu sudah berencana?"
Lastri mengangguk lalu melanjutkan cerita. "Ibu sempat khawatir jika tidak ada satu pun laki-laki yang menyukai Arum. Jika dia menuntut rumah ini dan mengusir kita, lalu kita mau tinggal di mana?"
"Tapi kita juga punya hak atas rumah ini. Bukannya Ibu yang sekarang membayar cicilannya?" Sedikit banyak Ayu tahu mengenai perjuangan ibunya untuk mencari nafkah dan menghidupi mereka.
"Benar, tapi sertifikat rumah ini atas nama Ibunya Arum. Jadi, dia lebih berhak. Cicilan itu kan, tinggal sedikit lagi lunas. Tidak seberapa yang Ibu bayar. Haknya lebih banyak," lanjut Lastri sambil memeluk putrinya.
Memberikan penjelasan kepada Ayu lebih sulit karena dia pintar dan banyak bertanya. Berbeda dengan Arum yang selalu mengiyakan perintahnya.
"Lalu aku harus bagaimana, Bu?"
"Mulai sekarang kamu baik-baik sama Arum. Bantu dia belajar biar pintar dan cepat lulus. Lalu biarkan Arjuna melamarnya." Lastri mengusap pipi putrinya dan menatap lekat kedua bola mata Ayu untuk meyakinkan.
"Lalu?" Ayu mendekatkan diri ke arah ibunya, ingin tahu lebih lanjut.
Lastri menutup mulut dan kembali berbisik, "Kalau misalnya Arum ndak berjodoh dengan laki-laki itu, nanti Ibu suruh dia ke kota. Rumah ini tetap jadi milik kita."
Ayu menutup mulut karena tak menyangka bahwa ibunya sudah berpikir sampai sejauh itu.
"Kalau kamu baik sama Arum, bisa saja nanti Arjuna melirik kamu. Jadi kita untung dua kali. Dapat rumah, dapat Arjuna juga," kata Lastri senang.
Ayu semakin berbinar. Ternyata ibunya mempunyai rencana yang sangat bagus. Kalau sudah begitu, dia pasti akan mendukung.
"Apa Ibu yakin ini pasti berhasil?"
"Turuti saja kata-kata Ibu. Mulai sekarang kamu ajari Arum semua PR dan tugas sekolah. Nanti kalau sudah lulus, biarkan dia pergi."
Dua wanita itu tertawa geli membayangkan rencana mereka yang sangat matang. Ayu kini bisa bernapas lega dan tidur nyenyak. Selama ini dia tak enak segala karena merasa iri hati kepada saudara tirinya.
***
Arum menutup pintu pelan dan meguncinya. Lalu dia mengambil ponsel yang disembunyikan di bawah tempat tidur. Sama seperti biasanya, begitu benda itu dinyalakan, maka ada banyak pesan yang masuk.
Arjuna selalu menanyakan kabar setiap hari, atau yang lain. Misalnya apakah dia sudah makan, bagaimana PR dan kegiatannya selama di sekolah.
"Om jangan hubungi aku terus," pinta Arum ketika Arjuna meneleponnya.
"Tapi aku kangen kamu, Rum. Kangen banget," kata Arjuna menggombal.
"Kalau begitu, besok ponselnya saya kembalikan," kata Arum tegas.
Sejak berhubungan dengan Arjuna hatinya merasa tak tenang karena harus mencuri-curi waktu untuk membalas pesan dan bersembunyi dari ibunya, juga Ayu.
"Jangan, Rum! Kamu tega kalau begitu. Sekarang aku udah gak bisa ngeliatin kamu pergi sekolah. Saya harus ke proyek pagi-pagi," jelasnya.
Sebagai pimpinan proyek dan pemenang tender, Arjuna diberikan amanah untuk mengawasi jalannya pembangunan tanggul dari peletakan batu pertama hingga peresmiannya nanti. Sehingga waktunya banyak tersita dan hanya bisa sesekali menghubungi Arum.
"Kalau itu bukan urusan saya, Om."
"Rum. Kasih aku kesempatan. Aku cuma pingin dekat sama kamu," bujuk Arjuna lagi. Selama ini dia sedikit frustrasi memikirkan cara bagaimana agar Arum bersedia menerimanya. Gadis yang satu ini sungguh sulit untuk ditaklukkan.
"Lebih baik Om cari yang lain. Saya ndak berminat," tolak Arum tegas.
Susana menjadi hening seketika padahal telepon masih tersambung. Arjuna berpikir sesaat kemudian sebuah ide terlintas di benaknya.
"Rum, gimana kalau hari Minggu nanti kamu ikut aku ke lokasi proyek. Ngeliat tanggul yang mulai dibangun," ajaknya.
Arjuna berdoa dalam hati semoga gadis itu mau sehingga mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Para tukang libur di hari itu. Hanya ada pengawas dan petugas keamanan yang berjaga di sekitaran lokasi.
"Tapi, Om. Saya ada kerjaan rumah kalau libur," jawab Arum.
"Pergi sebentar saja, nanti aku minta izin sama Ibumu," bujuknya lagi.
Arum terdiam lama. Laki-laki yang satu ini memang tidak punya malu, sudah ditolak berkali-kali tapi masih saja memaksa.
"Gimana?"
"Lihat nantilah."
"Kalau begitu aku jem--"
Belum sempat Arjuna meneruskan ucapan, sambungan telepon diputus Arum begitu saja. Laki-laki itu mengusap wajah lalu meletakkan ponsel di nakas. Dia mengambil segelas air dan menghabiskannya dalam beberapa teguk. Sepertinya, hari Minggu nanti dia akan nekat menjemput gadis itu dan mengajaknya jalan-jalan.
Arum sendiri langsung menon-aktifkan ponsel dan kembali menyimpannya di bawah tempat tidur. Lalu dia meraih tas dan mengambil sebuah amplop berwarna cokelat yang tadi dititipkan oleh salah satu guru di sekolah.
Surat itu harusnya diberikan kepada Lastri karena besok dia harus datang ke sekolah untuk menghadap wali kelas putrinya. Nilai Arum yang semakin hari semakin anjlok membuat para guru sangat prihatin dan sepakat untuk memanggil orang tua murid.
Arum melipat kembali amplopnya. Semoga besok dia punya nyali untuk menyerahkan itu kepada ibunya.
Lastri menatap Ibu Guru dengan malu sembari mengusap tangan untuk menghilangkan rasa gugup. Arum sudah mencoreng nama keluarga dengan hasil ujian yang rendah bahkan mendapat peringkat nomor tiga dari bawah. Siang ini, dia datang membawa surat yang tadi putrinya berikan sebelum berangkat sekolah.Saat Ibu Guru memberikan penjelasan dengan menunjukkan rekap nilai per semester, Lastri mendengarkan semua penuturan itu tanpa menyela."Sebenarnya Arum ini anak yang pandai, Bu. Hanya sulit berkonsentrasi. Dia juga suka mengantuk di kelas. Apa di rumah tidurnya kemalaman? Sepertinya dia terlihat kelelahan," jelas Ibu Guru sembari menatap Lastri dengan lekat.Sedikit banyak para guru harus tahu secara garis besar apa saja kegiatan para murid di rumah, jika memang itu mempengaruhi proses belajar di sekolah. Dengan demikian, maka bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya."Tidurnya seperti biasa, Bu. Jam sembilan malam semua sudah masuk
Sejak pernyataan cintanya diterima oleh sang pujaan hati walaupun karena terpaksa, Arjuna semakin giat bekerja. Arum menjadi penyemangat hidupnya walaupun mereka hanya bisa bertemu di hari libur dan itu hanya sebentar.Arum sendiri semakin giat belajar semenjak dibantu oleh Ayu, sekalipun saudaranya itu kerap kali marah atau mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar karena pemahamannya yang lambat."Pergi dulu, Bu." Arum mencium tangan Lastri dan berpamitan. Dia memang berangkat lebih awal karena harus berjalan kaki. Sementara Ayu akan dijemput oleh salah satu temannya dengan motor."Hati-hati. Belajar yang rajin."Arum berjalan melewati gang dan membalas sapaan para tetangga. Setelah Arjuna rutin menjemputnya setiap minggu, warga gang menjadi lebih ramah jika bertemu. Mereka mulai membandingnya dan Ayu, dan mengatakan bahwa dia lebih beruntung.Sesampainya di sekolah, Arum terkejut saat Ratih menarik tangannya da
Lastri duduk di ruang tamu dengan gelisah. Ini sudah hampir sore dan Arum belum muncul. Tadi Arjuna meneleponnya dan meminta izin untuk mengajak putrinya pergi tapi entah ke mana. Laki-laki itu tak menjelaskan secara detail.Sekalipun tak sedarah, namun dia sudah diamanahkan untuk menjaga Arum. Lastri sudah berjanji kepada mendiang sang suami bahwa dia akan mengantar putrinya hingga lulus sekolah."Arum pergi ke mana sih, Bu?" tanya Ayu ketika melihat ibunya tak tenang sejak tadi."Tadi dijemput Arjuna. Katanya mau pergi sebentar. Ini belum pulang juga," jawab Lastri."Ya biarkan saja, Bu. Mungkin mereka lagi jalan-jalan. Aku juga kan sering," kata Ayu."Tapi kamu pergi sama teman perempuan. Ini kan beda, Yu. Ibu tetap khawatir. Apalagi Arjuna itu orang kota," jelasnya.Lastri tidak membenci siapa pun yang berasal dari kota. Namun, perbuatan suami pertamanya menimbulkan trauma. Apalagi, putri keduanya yang waktu
Arum menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan seorang ibu dan anak kepada Ratih, saat jam istirahat tiba."Ini. Bagus, ndak?" Matanya menatap dengan harap-harap cemas.Ratih meraih kertasnya dan melihat dengan teliti. Sahabatnya itu memang lemah di beberapa mata pelajaran umum, namun mendapat nilai yang cukup baik di pelajaran kesenian."Kataku kurang greget, Rum," ucap Ratih sembari memutar gambarnya dan melihat ulang."Apanya yang kurang?" tanya gadis itu kebingungan.Selama dua hari ini, diam-diam Arum membongkar semua album foto lama dan memilih beberapa kenangan saat bersama ibunya dan mulai menggambar. Hanya dasarnya saja, nanti dia akan menyempurnakannya lagi saat lomba dimulai. "Gambar ibu dan anak ini sudah bagus, Rum. Mungkin latarnya yang kamu tambah, misalnya di mana begitu," saran Ratih. Tangannya sibuk menyeruput es dawet dan menyuap sepotong kue bolu."Kalau begitu nanti aku perbaiki," kata Arum
Ratih menggenggam tangan Arum yang berkeringat karena gugup."Kamu pasti bisa," bisiknya memberikan semangat."Aku lolos tidak, ya?" tanya Arum khawatir."Semoga saja. Yang penting kamu sudah berusaha," katanya meyakinkan.Ketika suara MC terdengar, dua gadis itu segera duduk dan menunggu acara dimulai. Ada beberapa guru yang mendampingi siswa yang ikut perlombaan. Arum sendiri ditemani oleh Ratih, karena Ayu dan ibunya tidak datang. Gadis itu meminta kepada Ibu Guru Kesenian untuk merahasiakannya.Gilang yang tadinya mengatakan akan ikut menemani membatalkan janji setelah Arum menolaknya untuk ikut. Akhirnya, anak laki-laki itu mundur secara perlahan untuk mendekatinya, karena kecewa.Lalu, di mana Arjuna? Dia masih berada di lokasi tanggul karena lomba diadakan di hari kerja. Arum sudah mengabarinya lewat surat yang dititipkan ke penjaga sekolah."Baiklah. Acara kita mulai dengan sambutan dari Kep
Tak terasa waktu berlalu. Hari demi hari Arum lewati dengan penuh perjuangan, hingga ujian kelulusan sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin semuanya selesai dan pergi dari kampung ini untuk mengadu nasib."Gimana, apa kamu sudah mengerti?" Ratih melirik sahabatnya yang sejak tadi serius menyimak penjelasannya."Sedikit. Masih bingung di bagian ini." Arum menunjuk beberapa rumus matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling.Ratih menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mungkin, Arum memang sulit memahami pelajaran ini sehingga tidak bisa dipaksakan."Ya sudah. Nanti kita sambung lagi. Aku pulang dulu." Ratih membereskan bukunya dan berpamitan.Saat Arum bercerita bahwa Ayu merebut hadiahnya, Ratih memutuskan bahwa setiap hari Minggu, mereka akan belajar bersama.Dengan meminjam motor bapaknya, Ratih menyusuri gang dan harus menerima sindiran Bu Lastri juga Ayu. Namun tekadnya untu
Dengan langkah tertatih, Arum berjalan menyusuri gang sembari membawa rantang yang isinya sudah dingin. Matanya menatap jalanan dengan hampa, hingga mengabaikan sapaan dari para tetangga. Sejak tadi, dia sudah ingin luruh dan menumpahkan tangis, tetapi masih berusaha sekuat tenaga untuk menahannya."Assalamualaikum," ucap Arum sembari mengetuk pintu. Hari sudah siang dan masih punya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan."Baru pulang?" tanya Lastri saat Arum masuk ke dapur dan menyerahkan rantang berisi titipan ibunya Ratih."Nggih, Bu.""Banyak yang dimasak?""Lumayan, Bu," jawabnya singkat.Arum berjalan ke kamar mandi dan mengambil handuk, membasuh wajah, juga tubuhnya hingga bersih. Bekas sentuhan Arjuna masih terasa, sehingga dia membilasnya berkali-kali. Gadis itu merasa begitu kotor dan sudah tak berharga lagi."Kamu sudah dapat bagian, kan? Jadi yang ini buat Ibu sama Ayu saja, ya," kata Lastri
Bunyi ALARM yang memekakkan telinga membangunkan Arjuna dari tidur lelapnya. Laki-laki itu duduk bersandar di heard board ranjang sembari memegang kepala yang terasa berat dan mematikan benda itu. Dengan malas dia berjalan menuju kamar mandi.Arjuna membuka tutup sabun dan menuang isinya ke sponge dan mulai membersihkan diri. Dalam sekejap, aroma lavender menguar di ruangan itu.Setelah membasuh tubuh dengan air yang ke luar deras dari lubang-lubang shower, dia mengambil handuk, melilitkannya di pinggang dan melangkah keluar.Sebenarnya jika dilihat dari dekat, Arjuna tidaklah terlalu tampan. Hanya saja, laki-laki itu memiliki rahang yang kokoh dengan bulu mata lentik. Wajah balsteran dengan mata cokelat itu didapatnya dari sang papa, yang menikahi seorang gadis biasa dari tanah Jawa."Halo?" ucapnya saat menjawab panggilan. Kali ini dering ponsel yang berbunyi."Kamu bisa pulang sekarang?" tanya suara di seberang sana dengan pani