Isak tangis seorang gadis terdengar di sebuah kamar setelah kepergian Arum dan Arjuna. Ternyata, sejak tadi Ayu merasa kesal kepada saudara tirinya karena disukai laki-laki kaya.
Selama ini Ayu selalu mendapat semua yang terbaik melebihi Arum. Sehingga, jika ada sedikit saja kebahagiaan yang dirasakan saudara tirinya itu, dia tidak terima.
Hati manusia, kadang memang begitu kotor, hingga tak bisa melihat kebahagiaan orang lain, sekalipun dirinya bergelimang segala harta dunia.
"Sudah. Jangan menangis begitu," bujuk Lastri sambil mengusap rambut putrinya. Dia sendiri tak menyangka jika ada laki-laki yang menyukai Arum.
"Ini memang ndak adil, Bu. Masa Arum yang wajahnya begitu dapat pacar sugih. Ganteng lagi," sungutnya.
Dalam hati Ayu bertanya, apa mata Arjuna rabun sehingga gadis seperti Arum terlihat lebih menarik? Apa cantiknya dia, kurus seperti kurang makan. Wajahnya juga biasa dengan kulit kecokelatan. Berbeda dengan dia memiliki kulit putih dan mulus. Ditambah lagi dengan otak encer yang selalu menjadi juara kelas.
Tadi, sebelum Ayu diminta untuk memanggil Arum ke belakang, Lastri sengaja menyuruh putrinya untuk ikut berbincang di depan bersama Arjuna. Sayangnya, laki-laki itu sama sekali tidak tertarik dan menolak secara halus.
"Kamu, kan sudah diminta sama juragan Karyo buat anaknya yang masih kuliah di kota. Nanti kalau sekolahmu sudah selesai, dia mau ngelamar," jelas Lastri.
Ada banyak pemuda di kampung ini yang menyukai Ayu, dari yang berstatus sosial rendahan sampai putra para juragan. Hanya saja, mereka masih menunggu hingga gadis itu tamat sekolah.
Lastri menyeleksi ketat siapa saja yang pantas menjadi calon menantunya. Dia bahkan menetapkan jumlah yang cukup tinggi sebagai uang penghantar lamaran. Sehingga, hanya satu orang yang menyanggupi, yaitu putra bungsu juragan tembakau yang setiap tahun berangkat haji.
"Tapi aku maunya yang seperti Arjuna, Bu." Gadis itu duduk di bersandar di ranjang sambol mengusap air mata.
Lastri memeluk putrinya, dan berkata, "Arjuna itu sudah berumur, ndak cocok sama kamu. Kalau putra juragan Karyo itu masih muda dan gagah. Dia juga pintar."
Ayu menggeleng menanggapi ucapan ibunya. Satria, putra juragan tembakau itu memang kakak kelasnya sewaktu sekolah. Namun, dalam hatinya juga meragu. Bisa saja, kan, laki-laki itu membatalkan lamaran karena terpikat dengan teman kuliahnya di kota. Apalagi dia hanya bisa sekolah sampai SMA.
"Tapi aku suka yang seperti Arjuna!" desak Ayu. Sebenarnya, gadis itu tak benar-benar menyukai Arjuna. Hanya saja sejak dulu, dia memang selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Arum.
Lastri menarik napas dalam. Jika sudah begini, dia harus mencari cara agar Arjuna melirik putrinya. Jika saja apa yang diminta Ayu itu sebuah barang, maka dia akan membelikannya saat ini juga.
"Aku ndak mau tau. Arjuna harus suka padaku dan meninggalkan Arum." Ayu menutup wajah dengan bantal dan kembali terisak.
Pembicaraan mereka TERPUTUS sampai di situ. Lastri memilih untuk keluar dan membiarkan Ayu menenangkan diri. Wanita itu berpikir keras bagaimana cara untuk memenuhi permintaan putrinya. Satu-satunya jalan hanyalah bertanya langsung kepada Arum siapa laki-laki itu dan di mana mereka berkenalan.
Senyum melengkung di bibir Lastri ketika sebuah sesuatu terlintas di benaknya. Lalu dengan santai, dia duduk di ruang tamu menunggu Arum pulang. Biarkan saja Ayu menangis saat ini. Suatu hari nanti putrinya itu yang akan tertawa paling bahagia.
Tak lama kemudiam, pintu diketuk pelan. Lastri segera menyambut kedatangan Arum dengan senyuman manis.
"Baru pulang, Rum?" tanya Lastri ramah. Dia bahkan memasukkan sandal putrinya ke dalam untuk mengambil hati.
"Iya, Bu," jawab Arum sambil menyerahkan sebuah bungkusan.
"Apa ini?" Mata Lastri berbinar saat mencium aroma bungkusan itu.
"Gorengan buat Ibu sama Ayu. Om Arjuna yang belikan tadi sebelum pulang," jelas Arum sambi menatap ibunya dengan lekat. Entah mengapa dia merasa sikap Lastri begitu berbeda.
"Wah, terima kasih banyak. Pacarmu itu memang baik, ya," puji Lastri. Tangannya bergerak membuka bungkusan. Lalu, matanya berbinar kembali saat melihat isinya yang cukup banyak.
"Dia bukan pacarku, Bu." Setelah menjawab itu, Arum berjalan masuk ke kamar.
Lastri segera menyusul putrinya dan mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka.
"Kenapa kamu ndak mau jadi pacarnya?" tanya Lastri penasaran. Jika Arum tidak mau berhubungan dengan Arjuna, itu berarti suatu berita baik untuk Ayu.
Arum menatap ke arah Lastri dengan heran, karena merasa ada yang janggal dengan ucapannya tadi. Tumben sekali ibunya bertanya ini dan itu. Biasanya juga tak mau tahu apa pun tentangnya, terutama urusan sekolah.
"Aku masih sekolah, Bu. Nanti saja," jawab Arum singkat.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu mau makan gorengan dulu."
Lastri membawa bungkusan itu ke dapur dan membaginya ke dalam dua piring, lalu di kembali ke kamar Arum.
"Untukmu."
Lagi-lagi Arum terkejut dengan pelakuan ibunya. Tak biasanya Lastri bersikap manis seperti ini. Ada yang aneh sejak kepulangannya tadi. Pikirnya, pastilah ini efek makanan yang dibelikan Arjuna.
"Yang ini buat Ibu sama Ayu, ya," kata Lastri.
"Terserah saja, Bu. Itu memang buat kalian. Aku sudah makan tadi dibayari Om Arjuna." Arum yang sedang menyusun pakaian di lemari, segera menghentikan aktifitasnya karena kedatangan ibunya.
"Wah, dia memang kaya." Tanpa malu Lastri langsung masuk dan duduk di ranjang sambil memperhatikan putrinya.
"Memang. Aku saja dibelikan pon--" Arum menutup mulut. Hampir saja dia keceplosan mengatakan hal itu.
"Apa?" tanya Lastri penuh selidik. Dari ucapan Arum tadi, sepertinya Arjuna sudah membelikan sesuatu untuk putrinya, tapi entah apa.
"Ah, ndak, Bu. Aku mau tidur sekarang. Capek."
Arum menutup pintu setelah Lastri keluar dari kamarnya. Untungnya, mereka tidak pernah masuk sembarangan, sehingga isi di kamar ini aman. Dia juga selalu mengunci pintu setiap kali keluar.
Arum berganti pakaian dan merebahkan diri di kasur. Ucapan Arjuna tadi masih terngiang di telinga. Kata-kata cinta yang laki-laki itu ucapkan sedikit banyak memengaruhi hati.
Tangannya meraih bantal untuk menutupi wajah. Lalu tak lama, dengkur halusnya terdengar.
Saat Arum tertidur lelap, Lastri masih berusaha menghibur Ayu dengan membawakan gorengan tadi dan segelas teh hangat. Hingga akhirnya, mereka pun ikut terlelap karena hari sudah larut.
***
Keesokan harinya.
"Makan, Rum."
Lastri meletakkan sepiring nasi dan ikan goreng ke hadapan putrinya. Ayu yang melihat itu menjadi kesal. Apa cuma karena sepiring gorengan, sikap ibunya kepada Arum bisa berubah seratus delapan puluh derajat.
"Iya, Bu."
"Kalau kamu masih lapar, boleh nambah." Lastri kini menyodorkan semangkuk sayur santan untuk Arum.
Melihat itu, Ayu menjadi eneg dan meletakkan sendok dengan kasar, lalu berjalan keluar.
"Jangan perdulikan sikap Ayu yang begitu ya, Rum. Dia memang manja," kata Lastri.
Arum menghentikan makan dan menatap Lastri dengan kebingungan. Sejak kemarin malam hingga pagi ini, ibunya benar-benar aneh. Ada apa sebenarnya?
"Iya."
"Kamu hari ini mau nyuci, kan? Tadi Ibu sudah nimba air dari sumur, jadi kamu ndak usah ke sungai. Nanti baju kita hanyut lagi." Wanita itu mengambil piring lalu menyendok nasi.
"Iya, Bu. Katanya proyek tanggul juga sudah dimulai. Jadi kita dilarang ke sana," kata Arum. Dia sibuk memisahkan ikan dan tulangnya, juga menyendok kuah sayur.
Melihat ini kesempatan baik, Lastri mulai bertanya dengan hati-hati, "Eh, Rum. Arjuna itu siapa sebenarnya?"
Arum mengambil air dan meneguknya pelan. Rasanya malas mau membahas ini. Namun, jika dilihat dari tatapan mata ibunya yang menuntut jawaban, mau tak mau dia harus bercerita.
"Om Arjuna itu yang menolong aku waktu jatuh di sungai, Bu," jelas Arum.
"Kapan?"
"Waktu baju Ayu hanyut. Aku mencarinya di dekat lokasi proyek," lanjutnya.
"Lalu?"
"Dia tinggal di dekat sekolah. Katanya mengontrak sementara waktu di situ."
"Dia ... sudah punya istri?" Lastri melirik Arum sekilas lalu kembali menyuap makanan.
"Belum katanya, Bu," jawab Arum jujur.
"Hati-hati. Laki-laki kalau ada maunya suka berbohong," nasihatnya.
"Aku ndak tau. Dia yang mendekatiku," kata Arum sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Yah, memang begitu kalau ada maunya."
Arum melanjutkan makan, mumpung ibunya lagi baik, dia akan melahap semua. Tangannya kembali mengambil nasi dan ikan, juga menuang kuah sayur yang banyak.
"Memangnya Arjuna itu kerja apa?"
"Katanya di proyek tanggul itu."
"Wah, pantas dia kaya. Eh, tapi dia cerita apa saja sama kamu?"
"Ndak ada, Bu. Cuma itu."
Arum hanya menyampaikan sedikit informasi yang dia ketahui mengenai laki-laki itu. Padahal Arjuna sudah cukup banyak bercerita saat meneleponnya. Entah mengapa, dia menjadi curiga dengan sikap ibunya hari ini. Setelah selesai makan, dia langsung mencuci piring dan memisahkan baju kotor.
Lastri melirik Arum yang sedang sibuk membersihkan pakaian mereka. Sebuah senyuman kembali melengkung di bibirnya.
Setelah menghabiskan malam minggu berdua walaupun hanya sebentar, Arjuna semakin intens menghubungi Arum, terutama di malam hari setelah pulang bekerja.Kontrak yang sudah dia tanda-tangani selama setahun untuk mengawal proses pembuatan tanggul, akan membosankan jika hanya diisi dengan bekerja. Arjuna membutuhkan hiburan lain, salah satunya dengan berkenalan dengan gadis-gadis di kampung.Arum bukanlah gadis pertama yang ditemuinya, namun justru yang paling memikat hati. Mungkin karena dia secara terang-terangan menolak dan menghindar, sehingga Arjuna merasa tertantang untuk menaklukkannya.Setelah malam itu juga, sikap Lastri benar-benar berubah kepada Arum. Dia menjadi lebih perhatian dan jarang menyuruh putri sambungnya itu membereskan pekerjaan rumah. Hal itu membuat Ayu menjadi geram dan semakin iri hati.Seperti hari ini, Ayu TERBAKAR amarah saat melihat ibunya mencuci piring setelah mereka makan, juga menimba air di sumur. S
Lastri menatap Ibu Guru dengan malu sembari mengusap tangan untuk menghilangkan rasa gugup. Arum sudah mencoreng nama keluarga dengan hasil ujian yang rendah bahkan mendapat peringkat nomor tiga dari bawah. Siang ini, dia datang membawa surat yang tadi putrinya berikan sebelum berangkat sekolah.Saat Ibu Guru memberikan penjelasan dengan menunjukkan rekap nilai per semester, Lastri mendengarkan semua penuturan itu tanpa menyela."Sebenarnya Arum ini anak yang pandai, Bu. Hanya sulit berkonsentrasi. Dia juga suka mengantuk di kelas. Apa di rumah tidurnya kemalaman? Sepertinya dia terlihat kelelahan," jelas Ibu Guru sembari menatap Lastri dengan lekat.Sedikit banyak para guru harus tahu secara garis besar apa saja kegiatan para murid di rumah, jika memang itu mempengaruhi proses belajar di sekolah. Dengan demikian, maka bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya."Tidurnya seperti biasa, Bu. Jam sembilan malam semua sudah masuk
Sejak pernyataan cintanya diterima oleh sang pujaan hati walaupun karena terpaksa, Arjuna semakin giat bekerja. Arum menjadi penyemangat hidupnya walaupun mereka hanya bisa bertemu di hari libur dan itu hanya sebentar.Arum sendiri semakin giat belajar semenjak dibantu oleh Ayu, sekalipun saudaranya itu kerap kali marah atau mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar karena pemahamannya yang lambat."Pergi dulu, Bu." Arum mencium tangan Lastri dan berpamitan. Dia memang berangkat lebih awal karena harus berjalan kaki. Sementara Ayu akan dijemput oleh salah satu temannya dengan motor."Hati-hati. Belajar yang rajin."Arum berjalan melewati gang dan membalas sapaan para tetangga. Setelah Arjuna rutin menjemputnya setiap minggu, warga gang menjadi lebih ramah jika bertemu. Mereka mulai membandingnya dan Ayu, dan mengatakan bahwa dia lebih beruntung.Sesampainya di sekolah, Arum terkejut saat Ratih menarik tangannya da
Lastri duduk di ruang tamu dengan gelisah. Ini sudah hampir sore dan Arum belum muncul. Tadi Arjuna meneleponnya dan meminta izin untuk mengajak putrinya pergi tapi entah ke mana. Laki-laki itu tak menjelaskan secara detail.Sekalipun tak sedarah, namun dia sudah diamanahkan untuk menjaga Arum. Lastri sudah berjanji kepada mendiang sang suami bahwa dia akan mengantar putrinya hingga lulus sekolah."Arum pergi ke mana sih, Bu?" tanya Ayu ketika melihat ibunya tak tenang sejak tadi."Tadi dijemput Arjuna. Katanya mau pergi sebentar. Ini belum pulang juga," jawab Lastri."Ya biarkan saja, Bu. Mungkin mereka lagi jalan-jalan. Aku juga kan sering," kata Ayu."Tapi kamu pergi sama teman perempuan. Ini kan beda, Yu. Ibu tetap khawatir. Apalagi Arjuna itu orang kota," jelasnya.Lastri tidak membenci siapa pun yang berasal dari kota. Namun, perbuatan suami pertamanya menimbulkan trauma. Apalagi, putri keduanya yang waktu
Arum menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan seorang ibu dan anak kepada Ratih, saat jam istirahat tiba."Ini. Bagus, ndak?" Matanya menatap dengan harap-harap cemas.Ratih meraih kertasnya dan melihat dengan teliti. Sahabatnya itu memang lemah di beberapa mata pelajaran umum, namun mendapat nilai yang cukup baik di pelajaran kesenian."Kataku kurang greget, Rum," ucap Ratih sembari memutar gambarnya dan melihat ulang."Apanya yang kurang?" tanya gadis itu kebingungan.Selama dua hari ini, diam-diam Arum membongkar semua album foto lama dan memilih beberapa kenangan saat bersama ibunya dan mulai menggambar. Hanya dasarnya saja, nanti dia akan menyempurnakannya lagi saat lomba dimulai. "Gambar ibu dan anak ini sudah bagus, Rum. Mungkin latarnya yang kamu tambah, misalnya di mana begitu," saran Ratih. Tangannya sibuk menyeruput es dawet dan menyuap sepotong kue bolu."Kalau begitu nanti aku perbaiki," kata Arum
Ratih menggenggam tangan Arum yang berkeringat karena gugup."Kamu pasti bisa," bisiknya memberikan semangat."Aku lolos tidak, ya?" tanya Arum khawatir."Semoga saja. Yang penting kamu sudah berusaha," katanya meyakinkan.Ketika suara MC terdengar, dua gadis itu segera duduk dan menunggu acara dimulai. Ada beberapa guru yang mendampingi siswa yang ikut perlombaan. Arum sendiri ditemani oleh Ratih, karena Ayu dan ibunya tidak datang. Gadis itu meminta kepada Ibu Guru Kesenian untuk merahasiakannya.Gilang yang tadinya mengatakan akan ikut menemani membatalkan janji setelah Arum menolaknya untuk ikut. Akhirnya, anak laki-laki itu mundur secara perlahan untuk mendekatinya, karena kecewa.Lalu, di mana Arjuna? Dia masih berada di lokasi tanggul karena lomba diadakan di hari kerja. Arum sudah mengabarinya lewat surat yang dititipkan ke penjaga sekolah."Baiklah. Acara kita mulai dengan sambutan dari Kep
Tak terasa waktu berlalu. Hari demi hari Arum lewati dengan penuh perjuangan, hingga ujian kelulusan sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin semuanya selesai dan pergi dari kampung ini untuk mengadu nasib."Gimana, apa kamu sudah mengerti?" Ratih melirik sahabatnya yang sejak tadi serius menyimak penjelasannya."Sedikit. Masih bingung di bagian ini." Arum menunjuk beberapa rumus matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling.Ratih menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mungkin, Arum memang sulit memahami pelajaran ini sehingga tidak bisa dipaksakan."Ya sudah. Nanti kita sambung lagi. Aku pulang dulu." Ratih membereskan bukunya dan berpamitan.Saat Arum bercerita bahwa Ayu merebut hadiahnya, Ratih memutuskan bahwa setiap hari Minggu, mereka akan belajar bersama.Dengan meminjam motor bapaknya, Ratih menyusuri gang dan harus menerima sindiran Bu Lastri juga Ayu. Namun tekadnya untu
Dengan langkah tertatih, Arum berjalan menyusuri gang sembari membawa rantang yang isinya sudah dingin. Matanya menatap jalanan dengan hampa, hingga mengabaikan sapaan dari para tetangga. Sejak tadi, dia sudah ingin luruh dan menumpahkan tangis, tetapi masih berusaha sekuat tenaga untuk menahannya."Assalamualaikum," ucap Arum sembari mengetuk pintu. Hari sudah siang dan masih punya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan."Baru pulang?" tanya Lastri saat Arum masuk ke dapur dan menyerahkan rantang berisi titipan ibunya Ratih."Nggih, Bu.""Banyak yang dimasak?""Lumayan, Bu," jawabnya singkat.Arum berjalan ke kamar mandi dan mengambil handuk, membasuh wajah, juga tubuhnya hingga bersih. Bekas sentuhan Arjuna masih terasa, sehingga dia membilasnya berkali-kali. Gadis itu merasa begitu kotor dan sudah tak berharga lagi."Kamu sudah dapat bagian, kan? Jadi yang ini buat Ibu sama Ayu saja, ya," kata Lastri