Lastri menatap Ibu Guru dengan malu sembari mengusap tangan untuk menghilangkan rasa gugup. Arum sudah mencoreng nama keluarga dengan hasil ujian yang rendah bahkan mendapat peringkat nomor tiga dari bawah. Siang ini, dia datang membawa surat yang tadi putrinya berikan sebelum berangkat sekolah.
Saat Ibu Guru memberikan penjelasan dengan menunjukkan rekap nilai per semester, Lastri mendengarkan semua penuturan itu tanpa menyela.
"Sebenarnya Arum ini anak yang pandai, Bu. Hanya sulit berkonsentrasi. Dia juga suka mengantuk di kelas. Apa di rumah tidurnya kemalaman? Sepertinya dia terlihat kelelahan," jelas Ibu Guru sembari menatap Lastri dengan lekat.
Sedikit banyak para guru harus tahu secara garis besar apa saja kegiatan para murid di rumah, jika memang itu mempengaruhi proses belajar di sekolah. Dengan demikian, maka bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya.
"Tidurnya seperti biasa, Bu. Jam sembilan malam semua sudah masuk kamar. Setelah itu, saya memang tidak mengecek lagi apa dia langsung tertidur atau tidak," jelas Lastri.
"Kalau pekerjaan rumah? Apa dia juga dibebankan? Kadang ada yang begitu, ada anak-anak yang membantu orang tua. Akibatnya akan kelelahan dan tidak sempat belajar. Beberapa murid di sini juga sama, ada yang berjualan sepulang sekolah," jelas Ibu Guru lagi.
Para guru sempat mendengar cerita dari beberapa orang, yang mengatakan bahwa Arum selalu disuruh ibunya melakukan banyak hal di rumah, sehingga waktu belajarnya berkurang.
"Kalau membantu di rumah, ya ... namanya anak itu wajib menolong orang tua," kelit Lastri.
Dalam situasi seperti ini, tak mungkin Lastri berkata jujur bahwa hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan Arum sementara dia berkeliling menagih setoran. Ayu putrinya sama sekali tidak mau membantu, karena dia sendiri yang memanjakan.
"Memang benar, Bu. Anak-anak wajib membantu orang tua. Mungkin porsinya bisa dibagi, jadi Arum bergantian membantu. Kalau tidak salah, ada putri ibu yang satu lagi bersekolah di sini."
"Benar, Bu. Kalau Ayu itu memang pintar sekali dia. Selalu juara kelas," puji Lastri.
"Nah mungkin Ayu bisa mengajari Arum. Sebagai saudara, harusnya saling membantu, kan?"
Lastri mengiyakan semua saran yang diberikan Ibu Guru. Sepertinya, tujuan awal bahwa Ayu yang akan mengajari Arum, harus segera dilaksanakan. Pas saja momennya dengan rencana mereka dan saran dari guru di sekolah.
Setelah semuanya beres dan menyanggupi untuk lebih memperhatikan Arum, Lastri pulang ke rumah. Sesampainya, dia langsung memanggil dua puterinya untuk duduk dan memberikan nasihat.
"Arum. Ayu. Tadi Ibu sudah ke sekolah dan bertemu dengan wali kelas," katanya membuka pembicaraan.
Arum tertunduk malu sementara Ayu tertawa geli, karena sudah tahu bahwa ibunya akan dipanggil untuk membicakan nilai ujian saudaranya yang rendah.
"Jadi Ibu tidak mau berpanjang lebar. Mulai sekarang, setiap hari minggu, Arum harus belajar dibantu Ayu, mana mata pelajaran yang sulit dan tidak bisa dimengerti."
Ayu menatap saudaranya dengan senyuman mengejek. Sementara itu, Arum terdiam dan menunduk.
"Mulai sekarang juga, pakaian kotor wajib dicuci sendiri," kata Lastri tegas.
Arum mengangkat wajah dan tersenyum mendengar itu. Kali ini, Ayu yang berbalik cemberut.
"Ibu yang akan menimbakan air. Kalian wajib bangun pagi dan mencuci. Setelah itu belajar." Lastri menatap satu per satu putrinya dengan tajam.
"Ba-ik, Bu," jawab Arum.
"Sekarang kalian boleh makan. Nanti malam kita coba. Ibu mau melihat bagaimana cara kalian belajar. Ibu mau kerja dulu." Lalu wanita itu keluar dan kembali berkeliling kampung menagih iuran yang sempat tertunda karena pertemuan di sekolah tadi.
"Siapkan bukumu dan belajar yang benar. Aku ndak mau mengulang pelajaran," kata Ayu ketus.
"Siapkan juga tangan mulusmu untuk mencuci baju. Mulai sekarang, itu bukan tugasku lagi!" jawab Arum tak kalah sengit.
Ayu hendak menampar Arum karena ucapannya barusan, tapi saudaranya itu sudah terlanjur pergi. Jadi, dia hanya bisa menyimpan kekesalannya sendiri.
Mereka memang sudah sepakat bahwa dia yang akan mengajari Arum, tapi tidak sepakat dengan perihal mencuci pakaian. Kalau begini, tangannya yang mulus bisa rusak dan pecah-pecah. Bisa jadi nanti dia kelelahan sehingga tidak bisa berjalan-jalan lagi dengan teman-teman.
***
Malam hari setelah mereka makan, semua berkumpul di ruang tamu. Rumah ini kecil, sehingga beberapa ruangan digunakan secara bersamaan.
Ayu mengambil pulpen dan mulai mencorat-coret di selembar kertas. Di bawah tatapan Lastri, dua anak itu belajar dengan serius. Arum memperhatikan dengan seksama semua penjelasan dan mencatat apa saja yang dia pahami.
Satu jam berlalu dan kegiatan itu lancar tanpa hambatan. Setiap kali Ayu terpancing emosi karena sikap Arum yang lambat menangkap materi, maka Lastri akan melototkan mata dan memberi kode agar putrinya bersabar demi tujuan mereka.
Jika begitu, dengan terpaksa Ayu akan menarik napas dalam dan melanjutkan penjelasannya.
"Bagian mana yang kamu masih ndak ngerti?" tanya Ayu.
Arum menunjuk beberapa hitungan yang masih sukar untuk dipahami dan Ayu kembali menjelaskan, hingga tak terasa jam sepuluh malam mereka baru selesai.
Lastri memastikan smua putrinya sudah tertidur sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
***
Hari minggu pagi, sesuai dengan permintaan Lastri, dua putrinya akan mencuci baju setelah sarapan kemudian dilanjutkan dengan belajar.
"Assalamualaikum."
Sebuah ketukan di pintu mengagetkan tiga orang penghuni rumah itu. Lastri yang sedang menimba air bergegas keluar dan menyambut tamu yang datang.
"Loh, ada Mas Arjuna. Silakan masuk," katanya membuka pintu lebar-lebar.
"Arum ada, Bu?" tanya Arjuna.
"Ada di belakang. Lagi cuci baju. Sebentar Ibu panggilkan." Lastri bergegas ke belakang dan melihat dua putrinya masih sibuk dengan ember dan baju kotor.
Dia menarik lengan Ayu dan membisikkan sesuatu. "Ayu. Ke sini sebentar."
"Apa, Bu?" Gadis itu meletakkan kain basah dan segera mengikuti ibunya ke dekat pintu.
"Di depan ada Arjuna."
Ayu menutup mulut dan tersenyum senang.
"Kamu ke depan sana, temani dia ngobrol sambil nunggu Arum selesai nyuci," pinta Ratih. Matanya melirik ke arah Arum yang masih asyik membilas pakaian.
Ayu mengangguk dan segera mencuci tangan. Sebelum menemui Arjuna, dia berjalan ke kamar untuk berganti pakaian juga menyisir rambut yang berantakan.
"Hai, Mas Arjuna," sapanya ketika duduk didekat laki-laki itu.
"Eh, Arum mana?" tanya Arjuna tanpa menjawab sapaan itu.
"Lagi nyuci baju. Katanya sebentar lagi. Aku yang akan temani Mas sambil menunggu," kata Ayu berbohong sembari melengkungkan bibir dengan manis. Biasanya, kaum Adam akan meleleh melihatnya tersenyum.
"Oh." Hanya itu yang dikatakan Arjuna. Laki-laki itu malah mengambil ponsel dari saku celana dan mulai mengutak-atiknya. Sejujurnya, dia malas kalau harus berbicara dengan Ayu.
"Mas Arjuna mau datang ke sini kok ndak ngasih kabar dulu?" tanya Ayu.
"Sudah bilang Arum kalau mau jalan hari ini," jawabnya tanpa memandang Ayu. Arjuna bahkan tertawa sendiri saat membaca sebuah pesan di ponsel.
"Oh, begitu."
Lalu suasana menjadi hening. Ayu menahan kesal karena diabaikan oleh laki-laki itu.
"Sebentar aku panggilkan Arum," kata Ayu dengan ketus. Lalu dia berjalan menuju dapur.
"Itu kangmasmu sudah menunggu!" katanya saat mendekati Arum.
"Siapa?" tanya Arum heran. Dia pikir tamu yang datang tadi adalah salah satu pelanggan ibunya. Biasanya memang ada tetangga yang datang membayar sendiri tanpa menunggu ditagih.
"Arjuna!" ucap Ayu dengan kesal lalu kembali ke kamar padahal cuciannya belum selesai.
Mendengar itu, Arum segera memeras kain dan meletakkannya di keranjang dan bergegas ke depan.
"Om. Kenapa datang?"
Arjuna tertegun saat melihat penampilan Arum yang acak-acakan, lalu mengulum senyum karena merasa lucu.
"Bukannya aku udah bilang mau ajak ke lokasi tanggul," jawabnya.
"Tapi saya belum mengiyakan."
Arjuna tergelak mendengar jawaban Arum, lalu berdiri dan berjalan mendekati gadis itu.
"Siap-siap sekarang. Kita pergi."
"Tapi baju--"
"Sudah nanti saja."
"Tapi, Om."
Arjuna menyentuh bibir gadis itu agar diam lalu berteriak. "Bu Lastri, saya izin bawa Arum pergi, ya!"
Lastri yang mendengar namanya dipanggil, segera keluar dari persembunyiannya di balik pintu. Sejak tadi dia mengintip, dari Arjuna yang mengabaikan Ayu dan terlihat senang dengan kedatangan Arum.
"Mau ke mana?" tanya Lastri berbasa-basi.
"Ke lokasi proyek. Lihat tanggul. Sekalian saya survey, ada yang mau dicek," jelas Arjuna.
"Oh, ya boleh. Tapi jangan lama. Paling lambat sore sudah pulang, ya. Arum belum belajar. Besok mau sekolah," katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
Lastri memberi kode supaya Arum berganti pakaian. Gadis itu menurut dan segera masuk ke kamar dan mengambil tas. Tanpa disadari, karena terburu-buru, dia lupa mengunci kamar dan langsung berpamitan pergi kepada ibunya.
Seperti biasa, mereka akan berjalan sendiri-sendiri dengan posisi Arjuna di depan. Bisik-bisik kembali terdengar dari mulut para tetangga. Jika sebelumnya Arum mengabaikan itu, kini dia membalas sapaan dengan senyuman.
Mobil melaju ke ujung kampung di mana sungai sudah ditutup untuk umum.
Arjuna dengan santainya mengenggam jemari Arum sekalipun gadis itu menolak. Dia membalas sapaan para pengawas sambil tersenyum senang dan hati berbunga-bunga.
"Ayo kita ke saung," ajaknya.
"Buat apa?"
"Makan. Tadi aku sudah kinta disiapkan makanan untuk kita berdua," katanya.
Arum mengikuti Arjuna dengan perasaan ragu hingga tiba di tempat itu. Ada banyak makanan tersaji dan mereka segera melahapnya.
Setelah selesai, Arjuna menceritakan sedikit bagaimana perkembangan pembangunan tanggul. Arum menyimak karena hanya mengerti sedikit.
"Pulang sekarang ya, Om," pinta Arum. Ketika dia hendak berdiri, tiba-tiba saja Arjuna BERLUTUT dan meraih tangannya.
"Rum, kamu mau gak jadi kekasihku?" pintanya dengan serius. Sungguh, sang pangeran cinta itu tak nyenyak tidur karena telah terpanah asmara.
Arum tersentak lalu menunduk sesaat kemudian kembali menatap laki-laki itu dengan gamang. Sikap seperti itu disalah artikan oleh Arjuna. Dia pikir, ungkapan cintanya telah diterima.
"Terima kasih, Rum," ucap Arjuna sembari memeluknya dengan erat. Sementara itu, Arum terdiam karena kebingungan.
Sejak pernyataan cintanya diterima oleh sang pujaan hati walaupun karena terpaksa, Arjuna semakin giat bekerja. Arum menjadi penyemangat hidupnya walaupun mereka hanya bisa bertemu di hari libur dan itu hanya sebentar.Arum sendiri semakin giat belajar semenjak dibantu oleh Ayu, sekalipun saudaranya itu kerap kali marah atau mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar karena pemahamannya yang lambat."Pergi dulu, Bu." Arum mencium tangan Lastri dan berpamitan. Dia memang berangkat lebih awal karena harus berjalan kaki. Sementara Ayu akan dijemput oleh salah satu temannya dengan motor."Hati-hati. Belajar yang rajin."Arum berjalan melewati gang dan membalas sapaan para tetangga. Setelah Arjuna rutin menjemputnya setiap minggu, warga gang menjadi lebih ramah jika bertemu. Mereka mulai membandingnya dan Ayu, dan mengatakan bahwa dia lebih beruntung.Sesampainya di sekolah, Arum terkejut saat Ratih menarik tangannya da
Lastri duduk di ruang tamu dengan gelisah. Ini sudah hampir sore dan Arum belum muncul. Tadi Arjuna meneleponnya dan meminta izin untuk mengajak putrinya pergi tapi entah ke mana. Laki-laki itu tak menjelaskan secara detail.Sekalipun tak sedarah, namun dia sudah diamanahkan untuk menjaga Arum. Lastri sudah berjanji kepada mendiang sang suami bahwa dia akan mengantar putrinya hingga lulus sekolah."Arum pergi ke mana sih, Bu?" tanya Ayu ketika melihat ibunya tak tenang sejak tadi."Tadi dijemput Arjuna. Katanya mau pergi sebentar. Ini belum pulang juga," jawab Lastri."Ya biarkan saja, Bu. Mungkin mereka lagi jalan-jalan. Aku juga kan sering," kata Ayu."Tapi kamu pergi sama teman perempuan. Ini kan beda, Yu. Ibu tetap khawatir. Apalagi Arjuna itu orang kota," jelasnya.Lastri tidak membenci siapa pun yang berasal dari kota. Namun, perbuatan suami pertamanya menimbulkan trauma. Apalagi, putri keduanya yang waktu
Arum menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan seorang ibu dan anak kepada Ratih, saat jam istirahat tiba."Ini. Bagus, ndak?" Matanya menatap dengan harap-harap cemas.Ratih meraih kertasnya dan melihat dengan teliti. Sahabatnya itu memang lemah di beberapa mata pelajaran umum, namun mendapat nilai yang cukup baik di pelajaran kesenian."Kataku kurang greget, Rum," ucap Ratih sembari memutar gambarnya dan melihat ulang."Apanya yang kurang?" tanya gadis itu kebingungan.Selama dua hari ini, diam-diam Arum membongkar semua album foto lama dan memilih beberapa kenangan saat bersama ibunya dan mulai menggambar. Hanya dasarnya saja, nanti dia akan menyempurnakannya lagi saat lomba dimulai. "Gambar ibu dan anak ini sudah bagus, Rum. Mungkin latarnya yang kamu tambah, misalnya di mana begitu," saran Ratih. Tangannya sibuk menyeruput es dawet dan menyuap sepotong kue bolu."Kalau begitu nanti aku perbaiki," kata Arum
Ratih menggenggam tangan Arum yang berkeringat karena gugup."Kamu pasti bisa," bisiknya memberikan semangat."Aku lolos tidak, ya?" tanya Arum khawatir."Semoga saja. Yang penting kamu sudah berusaha," katanya meyakinkan.Ketika suara MC terdengar, dua gadis itu segera duduk dan menunggu acara dimulai. Ada beberapa guru yang mendampingi siswa yang ikut perlombaan. Arum sendiri ditemani oleh Ratih, karena Ayu dan ibunya tidak datang. Gadis itu meminta kepada Ibu Guru Kesenian untuk merahasiakannya.Gilang yang tadinya mengatakan akan ikut menemani membatalkan janji setelah Arum menolaknya untuk ikut. Akhirnya, anak laki-laki itu mundur secara perlahan untuk mendekatinya, karena kecewa.Lalu, di mana Arjuna? Dia masih berada di lokasi tanggul karena lomba diadakan di hari kerja. Arum sudah mengabarinya lewat surat yang dititipkan ke penjaga sekolah."Baiklah. Acara kita mulai dengan sambutan dari Kep
Tak terasa waktu berlalu. Hari demi hari Arum lewati dengan penuh perjuangan, hingga ujian kelulusan sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin semuanya selesai dan pergi dari kampung ini untuk mengadu nasib."Gimana, apa kamu sudah mengerti?" Ratih melirik sahabatnya yang sejak tadi serius menyimak penjelasannya."Sedikit. Masih bingung di bagian ini." Arum menunjuk beberapa rumus matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling.Ratih menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mungkin, Arum memang sulit memahami pelajaran ini sehingga tidak bisa dipaksakan."Ya sudah. Nanti kita sambung lagi. Aku pulang dulu." Ratih membereskan bukunya dan berpamitan.Saat Arum bercerita bahwa Ayu merebut hadiahnya, Ratih memutuskan bahwa setiap hari Minggu, mereka akan belajar bersama.Dengan meminjam motor bapaknya, Ratih menyusuri gang dan harus menerima sindiran Bu Lastri juga Ayu. Namun tekadnya untu
Dengan langkah tertatih, Arum berjalan menyusuri gang sembari membawa rantang yang isinya sudah dingin. Matanya menatap jalanan dengan hampa, hingga mengabaikan sapaan dari para tetangga. Sejak tadi, dia sudah ingin luruh dan menumpahkan tangis, tetapi masih berusaha sekuat tenaga untuk menahannya."Assalamualaikum," ucap Arum sembari mengetuk pintu. Hari sudah siang dan masih punya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan."Baru pulang?" tanya Lastri saat Arum masuk ke dapur dan menyerahkan rantang berisi titipan ibunya Ratih."Nggih, Bu.""Banyak yang dimasak?""Lumayan, Bu," jawabnya singkat.Arum berjalan ke kamar mandi dan mengambil handuk, membasuh wajah, juga tubuhnya hingga bersih. Bekas sentuhan Arjuna masih terasa, sehingga dia membilasnya berkali-kali. Gadis itu merasa begitu kotor dan sudah tak berharga lagi."Kamu sudah dapat bagian, kan? Jadi yang ini buat Ibu sama Ayu saja, ya," kata Lastri
Bunyi ALARM yang memekakkan telinga membangunkan Arjuna dari tidur lelapnya. Laki-laki itu duduk bersandar di heard board ranjang sembari memegang kepala yang terasa berat dan mematikan benda itu. Dengan malas dia berjalan menuju kamar mandi.Arjuna membuka tutup sabun dan menuang isinya ke sponge dan mulai membersihkan diri. Dalam sekejap, aroma lavender menguar di ruangan itu.Setelah membasuh tubuh dengan air yang ke luar deras dari lubang-lubang shower, dia mengambil handuk, melilitkannya di pinggang dan melangkah keluar.Sebenarnya jika dilihat dari dekat, Arjuna tidaklah terlalu tampan. Hanya saja, laki-laki itu memiliki rahang yang kokoh dengan bulu mata lentik. Wajah balsteran dengan mata cokelat itu didapatnya dari sang papa, yang menikahi seorang gadis biasa dari tanah Jawa."Halo?" ucapnya saat menjawab panggilan. Kali ini dering ponsel yang berbunyi."Kamu bisa pulang sekarang?" tanya suara di seberang sana dengan pani
Arum berlari ke kamar mandi saat mencium bau tumisan bawang, yang sedang dimasak oleh ibunya untuk sarapan mereka. Seketika perutnya menjadi mual dengan kepala yang terasa berputar.Sudah satu bulan sejak kepergiaan Arjuna, Arum lebih banyak berdiam diri di rumah. Gadis itu lebih tekun belajar karena ujian kelulusan sudah di depan mata.Bunyi muntahan yang terdengar nyaring membuat Lastri kaget dan mematikan kompor, lalu mengetuk pintu kamar mandi. "Kamu kenapa lagi, Rum?"Bukannya menjawab, Arum justru mengeluarkan semua isi perutnya hingga lambung terasa begitu perih."Rum, Rum!" panggil Lastri lagi.Teriakan itu membuat Ayu yang sedang berada di kamar langsung berjalan menuju ke dapur."Ada apa sih, Bu? Berisik sekali pagi-pagi," katanya dengan wajah kesal. Entah mengapa semua yang berhubungan dengan Arum selalu membuatnya malas."Itu Arum muntah-muntah," tunjuk Lastri ke pintu yang dikun