Share

1. Before: Sinner - Let's Talk

"Kamu yang memulai, kamu juga yang mengakhirinya. Ternyata, perasaan memang sebercanda itu." 

-Sinner-

🍑🍑🍑

Crystal Winter Oberoi tidak pernah mengerti dan sulit memahami sikap kakaknya, Austin Mark Oberoi. 

Austin selalu bersikap kasar, dan terlihat begitu membedakan. Jika dengan para saudara-saudaranya yang lainnya Austin akan bersikap hangat penuh kasih sayang, berbeda jika dengan Crystal. Pria itu memperlihatkan sikap dinginnya, sangat terlihat tidak menyukai Crystal. 

Entah apa kesalahan yang telah dibuatnya tanpa sengaja, sehingga Austin selalu memperlakukannya seperti itu.

Hingga rasa yang tidak seharusnya ada, timbul begitu saja secara tiba-tiba, tanpa bisa dicegah. Crystal memiliki rasa pada Austin, kakaknya, begitu pula dengan Austin yang memiliki rasa pada Crystal yang notabenya adalah adiknya sendiri. 

Bersikap dingin pada Crystal hanya menjadi tameng Austin untuk mengontrol perasaannya agar tidak semakin meluas. 

🍑

Ini kisah tentang kedua pendosa yang merasakan sesuatu rasa yang begitu rumit. Memang tidak ada salahnya memiliki sebuah rasa pada seseorang. Tetapi, bagaimana jika kau memiliki rasa pada saudaramu sendiri?

Tidak hanya rumit, ini juga termasuk dosa dan kesalahan yang begitu besar. Ah, bukankah sebuah rasa timbul tiba-tiba tanpa bisa dicegah? 

“Patah hati terbesar adalah ketika memiliki rasa pada seseorang, tapi tidak akan pernah bisa memilikinya. Seperti sekarang, ketika aku mencintai kakakku sendiri.”  -Crystal Winter Oberoi-

“Penyesalan terbesarku adalah ketika sorot matanya menampilkan kekecewaan setiap kali melihatku.” -Austin Mark Oberoi-

“Semua orang adalah pendosa. Tergantung bagaimana kamu memilih kategori dosanya. Jika Crystal dan Austin memilih memiliki rasa dan hubungan terlarang. Apakah Tuhan akan mengijinkan? Aku rasa tidak. Karena akan selalu ada halangan di setiap hubungannya.” -Sinner-. 

🍑

"Let's talk, Crystal Winter Oberoi." Kali ini suaranya terdengar begitu tajam dan dalam. 

Crystal menghentikan langkah kakinya, memejamkan matanya berusaha untuk tidak terlihat lemah yang akan berakhir menjadi tangisan. Dengan lambat, ia membalikkan badannya, menatap seseorang yang telah memanggilnya, dia Austin. "Talk about what?"

"About you and me."

Ketika Austin selalu mendekat, mencari kesempatan untuk berbicara dengannya, maka saat itu Crystal buru-buru pergi menjauh, sebisa mungkin menghindar dari Austin. Ia hanya tidak mau semua pondasi yang telah ditata sedemikian rupa, hancur seketika hanya karena sikap manis Austin. 

Crystal menggeleng lemah. "Ku pikir tidak ada yang perlu dibicarakan, Kak," jawabnya menekankan kata terakhir. 

Austin bergerak maju, membuat Crystal berjalan mundur, ia menggelengkan kepalanya. "Stop, Kak!" 

Setelah mengatakan itu, Crystal berbalik dan akan melangkahkan kakinya pergi, tapi gerakan cepat ketika Austin meraih pergelangan tangannya membuat rasanya Crystal ingin menangis. Ia benci ketika berada di saat seperti ini. "Ku mohon lepaskan," katanya menatap Austin dengan pandangan memohon.

Austin menggeleng, "Sangat banyak yang perlu kita bicarakan, Crys."

"Mengertilah, kau sudah dewasa. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." Crystal mencoba untuk melepaskan pergelangan tangannya dari Austin, tapi gagal. Pria terlalu kuat untuk dilawan.

Tanpa banyak kata, Austin membawa Crystal menuju kamar gadis itu yang memang dekat dari tempat di mana mereka berada. Austin mengunci pintunya, lalu menatap Crystal dalam. "Aku merindukanmu," gumamnya mulai meraih tengkuk Crystal--berniat untuk mencium gadis itu.

Tapi dengan cepat Crystal menghindar, ia menggelengkan kepalanya. "Kau tidak bisa melakukan ini, Kak."

"Why not, baby?"

"Kau sudah memiliki tunangan. Setidaknya, hargai perasaannya."

"Kau cemburu?"

"Tidak, untuk apa?" balas Crystal berusaha menahan rasa nyeri di dadanya. "Please, leave me alone," lanjutnya dengan suara melemah.

Crystal membalikkan badannya dengan cepat, dan detik itu pula air matanya terjatuh. Ia menggigit bibir dalamnya agar tidak bersuara. Ingin sekali, Crystal mengatakan dengan lantang jika ia cemburu, sangat cemburu setiap kali melihat Austin dengn tunangannya, atau pun bahkan pria itu hanya mengatakannya saja. Tapi semua itu tidak bisa dilakukannya, apa yang akan dikatakannya tertahan di kerongkongan. 

Dengan pelan, Austin membalikkan tubuh Crystal. Ia sedikit terkejut ketika melihat mata gadis itu yang memerah dengan pipinya yang sudah basah. 

Crystal memejamkan matanya. "Go away!" serunya dengan bergetar. 

Austin menggeleng, ia memilih melangkahkan kakinya maju untuk mengikis jarak. "Don't cry, baby."

Baru saja Crystal akan menjatuhkan tubunya, tapi dengan sigap Austin menahan. Lalu memeluknya, mengusap surai gadis itu dengan lembut. Crystal memilih diam, tidak memberontak. "Ssst, tenanglah, baby."

"Kak...."

"Hmmm?"

"Bisakah mulai saat ini sudahi semuanya? Tentang apapun itu. Aku lelah, sungguh."

Kau sama saja membunuhku secara perlahan. Lanjut Crystal dalam hati. 

🍑

Rasanya saat ini, Austin ingin memukul apa saja yang berada di dekatnya. Kalimat Crystal benar-benar membuatnya marah. Ia marah pada dirinya sendiri karena memainkan perasaan gadis itu. Austin sadar, keputusan yang ia ambil dua tahun yang lalu adalah kesalahan besar. Dengan membawa Lauren ke mansion, dan mengenalkannya pada keluarga. Lalu beberapa bulan kemudian, ia memutuskan untuk melamarnya. 

Dan jika Crystal memintanya untuk menyudahi semuanya, Austin tidak bisa. Katakan ia egois tapi di sisi lain ia juga sangat mencintai adik kecilnya itu. Mencintainya sebagai seorang gadis. Dan Lauren, komitmen itu tidak bisa Austin hancurkan begitu saja dengan mengakhirinya. Ia yang memulai semuanya, tidak mungkin jika ia pun yang mengakhiri. 

Rumit. 

Austin berada di posisi yang sangat rumit dan membingungkan. Di satu sisi ada rasa cinta yang begitu besar, di sisi lain ada komitmen sebuah hubungan yang harus ia jaga. 

Awalnya memang tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Austin tentang komitmen pada seseorang. Tapi entah kenapa semua itu berubah ketika bertemu Lauren karena rasa kecewanya terhadap Crystal yang menolak untuk memulai sebuah hubungan dengannya. Austin pikir, memang tidak ada salahnya mencoba, dan mulai berkomitmen apalagi sepertinya daddy dan mommynya semakin tua dan enggan melihat Austin yang terus melajang.

Austin menghembsukan napas kasarnya, ia memejamkan mata untuk menetralkan napasnya yang tidak beraturan. Sepertinya ia butuh ketenangan saat ini.

Lauren's Apartment.

"Tumben kemari." Laura berjalan melangkahkan kakinya dengan membawa dua kaleng soda, lalu melemparkannya pada Austin yang langsung diterima dengan sigap oleh pria itu. 

"Apakah tidak boleh?" tanya Austin menaikkan sebelah alisnya, tangan kanannya menarik penutup soda dan meminumnya.

Lauren ikut bergabung di sofa, duduk di samping Austin lalu mengedikkan bahunya ringan. "Hanya heran saja, biasanya kau paling malas jika ku suruh kemari," balasnya.

Austin terkekeh, menarik tubuh Lauren untuk mendekat dan meletakkan kepala wanita itu pada dada bidangnya untuk bersandar. "Aku hanya merasa jenuh di mansion."

"Kau tidak ada pekerjaan?" tanya Lauren mendongakkan kepala.

"Jika kau lupa, ini akhir pekan."

"Ah iya. Aku melupakannya," kekeh Lauren ringan dengan wajah polosnya. 

"Mmm Austin, ada yang ingin ku katakan," gumam Lauren.

"Apa, babe?"

Lauren terlihat menghembuskan napasnya pelan, "Orang tuaku sudah menanyakan kapan kita akan meresmikan hubungan."

"Bukankah sudah resmi? Kita bertunangan."

Lauren bangun dari posisinya, lalu menatap Austin--menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu maksudku," katanya pelan.

"Lalu?" tanya Austin menaikkan sebelah alisnya.

"Pernikahan," jawab Lauren tanpa menatap manik mata Austin. "Orang tuaku menginginkan pernikahan kita segera dilaksanakan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status