Share

BAB 4

Author: Imelda Sahara
last update Last Updated: 2023-05-11 13:52:38

Di saat itu juga aku langsung berlari kencang menuju ruang tamu dimana ibu dan adikku tengah tertidur pulas. Aku belum sempat menolong kucing yang sudah terbaring di dapur karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. Langkah kakiku berhenti tepat di samping kasur dimana ibu sedang berbaring. Tanpa berpikir panjang, dengan segera ku tekukkan kakiku dan aku pun langsung duduk di dekat ibu. Ku tatap ibu masih tertidur pulas. Perlahan ku coba mengulik-ulik tubuh ibu, namun ibu tak jua terbangun. Rasa cemas makin bergentayangan di pikiranku. Ku raih tangan kanan ibu. Dan dengan segera aku mencoba untuk mengecek denyut nadi ibu dan merasakan hembusan napasnya melalui hidungnya.

"Alhamdulillah denyut nadi ibu masih berdetak dan ibu masih bernapas dengan baik." Tak hentinya kuucapkan syukur pada Tuhan. Detak jantungku yang semula tak beraturan, kini sudah kembali normal setelah mengetahui keadaan ibu baik-baik saja.

Tanpa kusadari ternyata Ibu terbangun dari tidurnya. "Kamu kenapa nak? Kok raut wajahmu terlihat cemas begitu?" tanya ibu seraya menoleh ke arahku yang masih mengkhawatirkan keadaan ibu.

Aku gak mungkin berterus terang pada ibu tentang kejadian barusan yang menduga ibu kenapa-kenapa karena telah memakan makanan pemberian Bibi.

"Emmm... Gak kok bu, aku gak kenapa-kenapa," ucapku berkilah dari ibu.

Aku berusaha menyembunyikan Aku tak ingin ibu tersinggung karena prasangka buruk ku pada adiknya itu.

"Oh iya, Bibimu mana?" Ibu membuang pandangannya ke seluruh sudut ruangan dan ia tetap tidak melihat sosok Bibi ada di sini lagi.

"Bibi sudah pulang Bu, kata Bibi tadi paman kecelakaan Bu. Makanya Bibi buru-buru pulang."

"Apa? Lalu bagaimana keadaan paman mu itu nak?"

"Nisa gak tau Bu." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku karena memang aku belum mendapat kabar tentang paman.

"Kamu tengok dulu gih! Nanti takutnya pamanmu kenapa-kenapa." Ibu nampak begitu mengkhawatirkan paman.

"Tapi siapa lagi yang menjaga ibu sama Geri kalau aku pergi menjenguk paman Bu?"

"Udah... Ibu gak kenapa-kenapa kok, kamu pergilah sebentar setidaknya untuk memastikan keadaan pamanmu saja. Ibu gak bisa tenang sebelum mengetahui kabarnya."

Ibu memang sangat menyayangi paman dan Bibi. Sejak kecil dia dan Bibi sudah di tinggal oleh orang tuanya.

Sebenarnya aku sangat khawatir akan keadaan ibu. Rasanya kejadian tadi malam masih terngiang dibenakku saat ibu akan menyakiti adikku.

Aku pun tertegun sejenak sembari memikirkan bagaimana solusinya agar ibu tidak memaksaku untuk pergi ke rumah Bibi.

"Nak... Kamu kok diam disitu? Kamu gak usah merisaukan ibu dan Geri," pinta ibu kembali dengan suara pelan.

Ibu sepertinya tidak sadar bahwa tadi malam dia hampir saja merenggut nyawa Geri. Aku khawatir ibu akan berbuat seperti itu disaat aku tak berada di rumah.

Aku masih tertegun dan terus menatap adikku yang sedang terbaring.

Setelah cukup lama berfikir akhirnya aku memutuskan untuk menyetujui permintaan ibu. Aku tak ingin melihat ibu bersedih.

Aku berencana akan pergi sebentar ke rumah Bibi hanya untuk memastikan keadaan paman saja setelah itu aku akan kembali karena aku tidak ingin meninggalkan ibu dan adikku lama-lama di rumah.

"Baiklah Bu... Aku akan pergi ke rumah Bibi tapi Ibu jaga Geri baik-baik ya," pintaku pada ibu.

"Iya nak... Tenang saja. Ibu pasti akan menjaga adikmu, sekarang pergilah!" ujar Ibu menyuruhku pergi.

Sebelum pergi aku pun tak lupa menyalami ibu terlebih dahulu seraya mengecup kening adikku.

Sebelum beranjak ke rumah Bibi, aku teringat pada kotak nasi milik Bibi yang masih tertinggal di dapur. Aku kembali belajan ke dapur untuk mengambilnya dan sesampainya di dapur aku sudah tidak melihat sosok kucing itu ada di sana lagi.

"Loh kok kucingnya hilang?" pikirku.

Kulayangkan pandanganku ke arah pintu dapur ternyata kucing itu sedang duduk dengan santainya disana.

"Aduh... Sepertinya aku di prank sama tu kucing." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihatnya. Gara-gara kucing itu aku hampir saja menfitnah Bibi yang bukan-bukan. Aku hanya bisa menggaruk-garukkan kepalaku.

Dengan bergegas aku pun mengambil kotak nasi yang berada diatas meja dan dengan segera ku langkahkan kaki menuju rumah Bibi.

Cuma butuh waktu lima belas menit di perjalanan akhirnya aku sampai di halaman rumah Bibi.

Rumah Bibi terlihat begitu sepi, tak terlihat orang yang datang atau berkunjung ke sana untuk sekedar menjenguk atau melihat paman yang baru kecelakaan.

"Loh kok gak ada orang sih?" gumamku sembari menatap ke sekelilingku.

Namun seketika langkah kakiku terhenti saat aku gak sengaja mendengar sekilas kejulitan dari mulut tetangga Bibi yang mengatakan paman itu adalah seorang dukun yang jahat.

"Iiiiih... Tengok tu si Adi... Kok bisa sih jatuh sendiri dari motornya? Dengar-dengarnya sih dia terluka parah," gumam salah satu ibuk yang sedang berkumpul di samping rumah Bibi.

"Mungkin itu karma dari Tuhan Jeng... Tau kan dia gimananya, dia rela menumbalkan orang yang gak bersalah demi mempertahan ilmunya," cetus ibu yang lainnya.

"Bisa jadi tu jeng... Kalian udah pada menjenguk belum?" tanya salah satu ibu-ibu julid tersebut.

"Belum..." jawab ibu-ibu yang lain secara serentak.

Aku sempat mendengar banyak gunjingan dan desas-desus yang buruk tentang paman dan Bibi. Ternyata tetangga-tetangga Bibi banyak yang tidak suka kepada paman karena kepandain yang dimiliki paman yang sudah disalah gunakan.

Namun aku tidak terlalu memperdulikan omongan ibu-ibu tersebut. Karena aku teringat sama ibu dan adikku yang tinggal di rumah tanpa teman. Ku langkahkan kakiku menuju pintu rumah Bibi.

Tok... Tok... Tok...

Ku ketuk pintu rumah Bibi sembari mengucapkan salam, "Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..." Jawab Bibi dan Arini serentak seraya menolehkan wajah ke arahku.

Tampak paman tengah berbaring di ruang tamu.

"Nisa...? Kamu kenapa ke sini?" tanya Bibi dengan wajah yang terlihat gugup.

"Aku cuma mau menjenguk paman Bi, apa paman gak kenapa-kenapa Bi?" tanyaku pada Bibi dengan terus berjalan perlahan menghampiri paman yang sedang terbaring di ruang tamu.

"Kamu bisa lihat sendiri kan kalau pamanmu itu sudah terluka parah... Dan kami gak bisa membawa pamanmu ini ke rumah sakit karena ayahmu tak pernah berniat buat membayar hutangnya pada kami," ujar Bibi geram.

"Bukankah ayah sudah melunasi semua hutangnya pada Bibi? Kemarin ayah bilang dia sudah menerima upah dari pemilik kebunnya?" gumamku.

"Sepersen pun tak ada yang ia bayar," ujar Heri lagi.

Aku hanya bisa tertegun dan terdiam mendengar Bibi. Aku juga heran kepada ayah, tidak biasanya ayah begitu. Biasanya ayah akan melunasi hutangnya jika sudah mendapat gaji dari pemilik kebun. "Lalu uang sebesar satu juta semalam dikemanakan sama ayah? gak mungkin sama ibu?" pikir Nisa menggerutu sendiri dalam bathinnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 23

    "Ayah?" lirihku pada ayah dengan suara gemetaran. "Siapa disana? Sebaiknya kalian keluar sekarang! Jangan sampai aku yang ke sana menghampiri kalian!" Ucap kakek tua itu dengan suara lantang. Sepertinya kakek itu tahu bahwa aku dan ayah yang sedang mengintip mereka. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakek tersebut membuat kedua bola mataku dan juga ayah membulat sempurna. Kedua kakiku serta bibirku ikut gemetaran. "Ayah?" lirihku dengan rasa yang semakin cemas. "Yah, bagaimana ini? Aku gak mau kalau kita ditahan lagi olehnya," imbuhku meminta pendapat ayah. "Lebih baik kita pergi dari sini!" Ayah menarik tangan kananku dan hendak membawaku lari menjauh dari tempat itu. Namun saat ayah membalikkan badan tiba-tiba saja tubuh ayah kembali lemah hingga ayah tersungkur ke atas dedaunan yang berserakan. "Ayah?" pekikku. "Ayah bangun!" ucapku kembali sembari mengulik-ulik tubuh ayah yang lemas. Ayah tak kunjung jua terbangun. Suara langkah kaki semakin terdengar mendeka

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 22

    Seminggu sudah berlalu, namun ayah tak kunjung jua sadarkan diri. "Ayah bangun! Ayok pulang yah! Kasihan ibu sama Geri di rumah gak ada yang menemani," gumamku sembari memeluk tubuh ayah yang terbaring lemah di atas sebuah tikar yang lusuh milik kakek tua yang sudah membuat ayahku seperti ini. Setiap hari, aku selalu menunggu kabar ayah berharap agar ayah cepat sadarkan diri. Setiap menit aku raba denyut nadi ayah. Aku khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Sebenarnya aku ingin sekali pulang untuk menemui ibu dan adik tapi aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian di tengah hutan ini. "Bagaimana caranya aku bisa membawa ayah keluar dari hutan ini?" Aku berencana akan membawa ayah keluar dari hutan itu dengan cara apa pun karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. kedua bola mataku merayap ke segala sudut ruangan. Dan aku melihat ada sebuah benda yang dihinggapi sarang laba-laba, ternyata sebuah gerobak bekas yang sudah tersandar di sudut gubuk tua itu. "Itu sepertinya sebu

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 21

    "Lepaskan anakku!" Lengkingan suara seorang laki-laki menggelegar meneriaki kakek tua genit itu. Di kala suasana makin mencekam dan perasaanku bercampur aduk tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang membuat kakek tua itu menghentikan aksinya. Suara itu tidak asing di telingaku. Suara seorang laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ayah. "Ayah?" Dengan tatapan penuh harap aku melihat cahaya dari sebuah senter sebagai penerangan oleh ayah. Cahaya itu bersinar dari balik pohon yang begitu rimbun. Sekali lagi ayah meneriaki kakek tua yang masih melingkarkan jari tangannya di pergelangan tanganku."Aku bilang lepaskan anakku!" Ayah benar-benar sudah geram pada kakek tua itu. "Kurang ajar! Siapa kau?" tanya kakek itu tanpa melepaskan pegangannya dari pergelangan tanganku. "Aku ayahnya Nisa. Sebaiknya kamu lepaskan anakku sekarang sebelum parang ini melayang ke arahmu," ancam ayah dengan mata merah sepertinya ayah benar-benar sedang marah pada kakek genit itu bahkan sepe

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 20

    Sudah lebih dari lima menit aku berlari-lari mengitari hutan yang dipenuhi semak belukar ini. Rasanya aku sudah berlari cukup jauh dari posisi kakek tua yang baru saja aku dorong itu. "Sepertinya kakek tua itu sudah tidak akan menemukan aku lagi," gumamku dengan wajah sedikit sumringah. "Tapi kenapa aku tidak menemukan jalan keluar?" batinku berkata dengan perasaan sedikit cemas. Aku belum melihat celah-celah cahaya yang akan mengantarkan aku keluar dari sunyinya hutan ini. Suara siulan burung hingga sahutan burung kadang masih terdengar di telinga. Bahkan sesekali suara rauangan binatang buaspun terdengar jelas olehku. Tentu saja hal itu membuat jantungku berdebar semakin kencang dan badanku pun seketika menggigil ketakukan. "Ya Tuhan... Suara apa itu?" Kedua bola mataku tertuju pada bayangan pohon yang nampak bergoyang di tengah hutan belantara itu.Dalam kesunyian dan ketakukan aku memutuskan untuk menghentikan langkah kakiku sejenak. Sesaat kemudian aku merasa ada hal yang jangg

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 19

    Di sepanjang jalan bulu roma ku merinding. Meskipun hari masih siang dan cahaya matahari masih menyingsing tapi rasa seram jalan yang ku lewati saat ini terasa. Sesekali kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Untungnya aku hanya melihat pepohonan yang sedang melambai-lambaikan dedaunannya. Semakin jauh ke dalam hutan Bibi pun semakin mempercepat langkah kakinya. "Kenapa Bibi tergesa-gesa begitu?" gumamku sembari berlari agar tidak ketinggalan oleh Bibi. Dan setelah jauh berjalan menyusuri semak belukar tersebut, tiba-tiba Bibi mampir di sebuah gubuk yang terlihat reot di tengah hutan itu. "Kok Bibi singgah di gubuk itu sih?"Aku pun memperhatikan sekeliling dan tidak terlihat orang lain ataupun gubuk lainnya di sana. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Bibi dari balik pohon yang memiliki batang cukup besar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gubuk reot itu. Kini Bibi berdiri di ambang pintu. Sebelum melangkah masuk, kedua bola mata Bibi nampak celangak-celinguk meliha

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 18

    Semakin lama aku mendengar cerita ibuk-ibuk itu semakin menakutkan saja dan suasana pun semakin menegangkan. Dan yang lebih mengejutkan dari cerita mereka itu aku mendengar kejadian seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali tapi kejadian yang ke sembilan puluh sembilan kalinya nya. Sontak saja bulu romaku merinding dan teringat dengan kejadian yang terjadi ditengah malam tadi. "Buk-Ibuk kalian benar-benar harus menjaga anak kalian dengan ketat karena bisa jadi anak kalian akan jadi korban selanjutnya. Aku bukan ingin menakut-nakuti kalian tapi aku pernah mendengar cerita dari orang-orang bahwa anak-anak yang meninggal itu berhubungan dengan tumbal yang dilakukan oleh seseorang demi menyempurnakan ilmu hitam yang sedang ia tuntut. Dan para pencari tumbal ini akan terus mencari anak kecil yang sehat dan bugar hingga mencapai seratus orang sesuai dengan target tumbal yang mereka inginkan," jelas seorang ibuk paruh baya yang cukup berperan di kampung tersebut. Seketika semua pasan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status