Share

BAB 5

Penulis: Imelda Sahara
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-11 13:52:42

"Kamu kenapa cuma mematung di situ? Kamu gak mau mendekati pamanmu ini?" ujar Arini dengan tatapan sinis ke arahku yang sedang berdiri disamping Bibi.

"Oooh... Iya Rin..." tukasku seraya menghampiri paman.

"Paman maafin aku karena aku gak bisa membantu untuk pengobatan paman," ucapku pada paman karena merasa kasihan pada paman yang sedang terbaring lemah diatas kasur lusuh itu.

"Gak kenapa-kenapa... " paman berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya.

Selang beberapa menit ku lihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Aku pun segera pamit kepada Bibi, Paman dan Arini yang masih menoleh ke arahku.

"Bi... Sepertinya aku tidak bisa lama-lama disini karena hari sudah hampir senja. Aku mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri yang berada di rumah," ungkapku pada Bibi.

"Baiklah... Kamu pergilah sekarang! Kasihan mereka gak ada yang menemani," ucap Bibi.

Dengan cepat ku langkahkan kakiku melewati batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Entah mengapa rasanya jalan pulang itu terasa begitu lama dan jauh sekali padahal saat ingin ke rumah Bibi terasa begitu cepat.

"Allahuakbar Allahu Akbar..."

Terdengar suara azan telah berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.

Perjalananku masih lumayan jauh dan rasa cemas semakin kurasakan.

"Bagaimana ini? Penyakit ibu pasti mulai kambuh," gumamku dengan terus berlari.

Setelah cukup jauh berlari akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal karena kecapekan. Tak sengaja aku menatap ke arah pintu utama dan jendela yang ternyata sudah tertutup semua.

"Loh... Siapa yang menutup semua pintu itu? Apa ayah sudah pulang?" Dengan cepat ku dorong pintu utama.

Dari kejauhan nampak ayah tengah menggendong adikku.

"Ayah?" ucapku pada ayah yang kaget melihat aku yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu.

"Kamu dari mana saja Nis? Kenapa kamu meninggalkan ibu dan adikmu di rumah?" tanya ayah.

"Kamu lihat kan Ibumu!" timpal ayah seraya menunjuk ke arah ibu yang kembali marah-marah gak jelas seperti biasanya terjadi di setiap senja.

"Maafkan aku yah... Tadi aku disuruh ibu untuk menjenguk paman yang baru kecelakaan yah," ujarku.

"Kenapa lama? Kalau saja ayah lama pulang tadi, ayah gak bisa membayangkan gimana keadaan adikmu."

"Iya yah... Aku gak akan meninggalkan ibu dan Geri lagi," ungkapku pada ayah yang nampak kecewa kepadaku.

Tak berselang lama akhirnya ibu kembali sadar.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku menemui ayah yang sedang duduk di dekat ibu dan Geri.

"Yah... Apa ayah gak merasa ada sesuatu yang janggal dengan ibu? Kenapa penyakit ibu cuma datang disaat senja tiba saja? Apa gak sebaiknya kita bawa saja ibu ke tabib Yah?" usulku pada ayah yang sibuk menggendong Geri.

Ayah nampak diam sejenak. Sepertinya ayah sedang mencerna omongan aku yang masih dianggap kecil oleh ayahku padahal aku sudah duduk di bangku SMA. Dan aku sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

"Gak usah ke tabib! Kita gak punya banyak uang untuk membayarnya. Lebih baik sama pamanmu saja! Kalau sama pamanmu sudah pasti gratis!" usul ibu dari tempat duduknya.

"Jangaaaaan Bu! Eh... Maksudnya jangan sama paman bu soalnya pamankan masih sakit jadi mana mungkin dia bisa menyembuhkan ibu sedangkan buat menyembuhkan diri dia sendiri aja gak bisa," ucapku yang berusaha mengalihkan pembicaraan agar ibu gak marah kepadaku.

"Benar juga kata Nisa, Her. Sebaiknya kita pergi ke tabib saja! Sudah sekian lama dan sekian banyak obat yang di minum tapi tak ada satupun yang membuatmu kembali sembuh," ungkap ayah yang ternyata menyetujui pendapatku.

Ibu pun nampak mencerna omongan ayah.

"Baiklah... Aku setuju! Lagian aku sudah tak sanggup menanggung sakit ini," gumam Ibu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Syukurlah kalau ibu setuju. Aku yakin ibu akan segera sembuh," ucapku dengan begitu sumringahnya.

"Tapi ayah mesti mengumpulkan uang dulu," sambung ayah tiba-tiba.

Aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan Bibi tadi kalau ayah belum membayar hutang kepada Bibi. Lalu ayah kemanakan uang itu?

"Maaf Yah, bukannya aku lancang tapi bukannya kemarin ayah sudah gajian?" tanyaku.

"Iya... Tapi sebagian sudah ayah gunakan untuk membayar hutang pada Bibimu," cetus ayah.

"Apa?" Seketika aku pun mendongak mendengar pernyataan yang diucapkan ayah.

Aku kaget mendengar pernyataan itu. Berarti Bibi berniat menjelek-menjelekkan ayah kepadaku. Entah apa alasannya? Yang jelas aku tidak akan pernah percaya lagi dengan omongan Bibi.

"Iya nak... Ayah pasti berusaha untuk mencari uang lagi agar kita bisa membawa Ibumu ke tabib secepatnya," ujar Ayah.

"Iya Yah... " Aku memanggutkan kepala ku seraya memeluk ayah dan adikku yang masih dalam pangkuan ibu.

"Iya udah. Hari ini kamu jagain ibu dan adikmu di rumah ya! Jangan sesekali kamu tinggalkan mereka lagi," ucap Ayah dengan tegas.

"Baik Yah..."

Kebetulan hari ini aku libur sekolah jadi akulah yang bertugas sepenuhnya menjaga ibu dan Geri.

Ayah pun segera berangkat ke sawah.

Aku tak tinggal diam. Aku mulai mengerjakan perkerjaan rumah dan semua pekerjaan rumah ku selesaikan satu persatu mulai dari mencuci piring hingga membersihkan rumah.

Setelah seharian cukup lelah bekerja akhirnya akupun bersantai diatas kursi yang ada di ruang tamu sembari memainkan gawai ku. Kebetulan juga ibu dan Geri sudah tertidur pulas jadi aku bisa beristirahat dengan tenang.

Dan tak lama berselang, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku bergegas berjalan menuju jendela yang di dekat pohon pisang dan berencana akan menutupnya namun tak sengaja aku kembali melihat sosok laki-laki yang memakai hodie hitam tengah menggali-gali di bawah pohon pisang itu lagi.

"Kali ini aku harus tahu siapa sosok dibalik hodie itu sebenarnya?" Aku pun berlari menuju halaman dan sesampainya di halaman aku kembali berjalan dengan mengendap-endap menuju sosok tersebut.

Saat ini aku berdiri tepat di belakang sosok tersebut.

"Heh... Kamu siapa?" tanyaku sembari memegang bahunya.

Namun sosok tersebut tak sedikitpun menoleh ke arahku. Ia malah kabur. Namun Hodienya terdengar ada sobekan karena aku berusaha menahannya namun kekuatannya tak sebanding denganku.

Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa meter namun aku tak berhasil mengejarnya karena sosok tersebut berlari dengan begitu kencang.

"Sebenarnya siapa sosok itu? Dan apa yang dia lakukan di bawah pohon pisang itu" gumamku.

Aku berencana ingin kembali ke dekat pohon itu tapi langkah kaki ku terhenti saat suara azan mulai bergema dari masjid.

"Astaga... Ibu dan Geri?" Dengan terpaksa aku membatalkan untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan sosok tersebut karena aku harus menemani ibu dan Geri di ruang tamu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 23

    "Ayah?" lirihku pada ayah dengan suara gemetaran. "Siapa disana? Sebaiknya kalian keluar sekarang! Jangan sampai aku yang ke sana menghampiri kalian!" Ucap kakek tua itu dengan suara lantang. Sepertinya kakek itu tahu bahwa aku dan ayah yang sedang mengintip mereka. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakek tersebut membuat kedua bola mataku dan juga ayah membulat sempurna. Kedua kakiku serta bibirku ikut gemetaran. "Ayah?" lirihku dengan rasa yang semakin cemas. "Yah, bagaimana ini? Aku gak mau kalau kita ditahan lagi olehnya," imbuhku meminta pendapat ayah. "Lebih baik kita pergi dari sini!" Ayah menarik tangan kananku dan hendak membawaku lari menjauh dari tempat itu. Namun saat ayah membalikkan badan tiba-tiba saja tubuh ayah kembali lemah hingga ayah tersungkur ke atas dedaunan yang berserakan. "Ayah?" pekikku. "Ayah bangun!" ucapku kembali sembari mengulik-ulik tubuh ayah yang lemas. Ayah tak kunjung jua terbangun. Suara langkah kaki semakin terdengar mendeka

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 22

    Seminggu sudah berlalu, namun ayah tak kunjung jua sadarkan diri. "Ayah bangun! Ayok pulang yah! Kasihan ibu sama Geri di rumah gak ada yang menemani," gumamku sembari memeluk tubuh ayah yang terbaring lemah di atas sebuah tikar yang lusuh milik kakek tua yang sudah membuat ayahku seperti ini. Setiap hari, aku selalu menunggu kabar ayah berharap agar ayah cepat sadarkan diri. Setiap menit aku raba denyut nadi ayah. Aku khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Sebenarnya aku ingin sekali pulang untuk menemui ibu dan adik tapi aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian di tengah hutan ini. "Bagaimana caranya aku bisa membawa ayah keluar dari hutan ini?" Aku berencana akan membawa ayah keluar dari hutan itu dengan cara apa pun karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. kedua bola mataku merayap ke segala sudut ruangan. Dan aku melihat ada sebuah benda yang dihinggapi sarang laba-laba, ternyata sebuah gerobak bekas yang sudah tersandar di sudut gubuk tua itu. "Itu sepertinya sebu

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 21

    "Lepaskan anakku!" Lengkingan suara seorang laki-laki menggelegar meneriaki kakek tua genit itu. Di kala suasana makin mencekam dan perasaanku bercampur aduk tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang membuat kakek tua itu menghentikan aksinya. Suara itu tidak asing di telingaku. Suara seorang laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ayah. "Ayah?" Dengan tatapan penuh harap aku melihat cahaya dari sebuah senter sebagai penerangan oleh ayah. Cahaya itu bersinar dari balik pohon yang begitu rimbun. Sekali lagi ayah meneriaki kakek tua yang masih melingkarkan jari tangannya di pergelangan tanganku."Aku bilang lepaskan anakku!" Ayah benar-benar sudah geram pada kakek tua itu. "Kurang ajar! Siapa kau?" tanya kakek itu tanpa melepaskan pegangannya dari pergelangan tanganku. "Aku ayahnya Nisa. Sebaiknya kamu lepaskan anakku sekarang sebelum parang ini melayang ke arahmu," ancam ayah dengan mata merah sepertinya ayah benar-benar sedang marah pada kakek genit itu bahkan sepe

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 20

    Sudah lebih dari lima menit aku berlari-lari mengitari hutan yang dipenuhi semak belukar ini. Rasanya aku sudah berlari cukup jauh dari posisi kakek tua yang baru saja aku dorong itu. "Sepertinya kakek tua itu sudah tidak akan menemukan aku lagi," gumamku dengan wajah sedikit sumringah. "Tapi kenapa aku tidak menemukan jalan keluar?" batinku berkata dengan perasaan sedikit cemas. Aku belum melihat celah-celah cahaya yang akan mengantarkan aku keluar dari sunyinya hutan ini. Suara siulan burung hingga sahutan burung kadang masih terdengar di telinga. Bahkan sesekali suara rauangan binatang buaspun terdengar jelas olehku. Tentu saja hal itu membuat jantungku berdebar semakin kencang dan badanku pun seketika menggigil ketakukan. "Ya Tuhan... Suara apa itu?" Kedua bola mataku tertuju pada bayangan pohon yang nampak bergoyang di tengah hutan belantara itu.Dalam kesunyian dan ketakukan aku memutuskan untuk menghentikan langkah kakiku sejenak. Sesaat kemudian aku merasa ada hal yang jangg

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 19

    Di sepanjang jalan bulu roma ku merinding. Meskipun hari masih siang dan cahaya matahari masih menyingsing tapi rasa seram jalan yang ku lewati saat ini terasa. Sesekali kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Untungnya aku hanya melihat pepohonan yang sedang melambai-lambaikan dedaunannya. Semakin jauh ke dalam hutan Bibi pun semakin mempercepat langkah kakinya. "Kenapa Bibi tergesa-gesa begitu?" gumamku sembari berlari agar tidak ketinggalan oleh Bibi. Dan setelah jauh berjalan menyusuri semak belukar tersebut, tiba-tiba Bibi mampir di sebuah gubuk yang terlihat reot di tengah hutan itu. "Kok Bibi singgah di gubuk itu sih?"Aku pun memperhatikan sekeliling dan tidak terlihat orang lain ataupun gubuk lainnya di sana. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Bibi dari balik pohon yang memiliki batang cukup besar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gubuk reot itu. Kini Bibi berdiri di ambang pintu. Sebelum melangkah masuk, kedua bola mata Bibi nampak celangak-celinguk meliha

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 18

    Semakin lama aku mendengar cerita ibuk-ibuk itu semakin menakutkan saja dan suasana pun semakin menegangkan. Dan yang lebih mengejutkan dari cerita mereka itu aku mendengar kejadian seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali tapi kejadian yang ke sembilan puluh sembilan kalinya nya. Sontak saja bulu romaku merinding dan teringat dengan kejadian yang terjadi ditengah malam tadi. "Buk-Ibuk kalian benar-benar harus menjaga anak kalian dengan ketat karena bisa jadi anak kalian akan jadi korban selanjutnya. Aku bukan ingin menakut-nakuti kalian tapi aku pernah mendengar cerita dari orang-orang bahwa anak-anak yang meninggal itu berhubungan dengan tumbal yang dilakukan oleh seseorang demi menyempurnakan ilmu hitam yang sedang ia tuntut. Dan para pencari tumbal ini akan terus mencari anak kecil yang sehat dan bugar hingga mencapai seratus orang sesuai dengan target tumbal yang mereka inginkan," jelas seorang ibuk paruh baya yang cukup berperan di kampung tersebut. Seketika semua pasan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status