Share

BAB 3

Tapi rasa penasaranku masih mencuat dan belum terjawab.

Aku pun mencoba menahan tangan ayah sejenak, mulutku sudah tak sabar ingin memberitahu ayah tentang yang kulihat tadi.

"Ada apa Nis?" Seketika langkah kaki ayah pun berhenti, ia menoleh ke arahku dengan tatapan seperti orang yang sedang kebingungan.

"Begini yah... Ta-tadi itu aku ngelihat ada or..." Tiba-tiba kami mendengar ibu berteriak histeris dari ruang tamu sehingga omonganku pun seketika terpotong. Belum sempat aku memberi tahu ayah tentang apa yang dilakukan seorang laki-laki berbaju hitam serta topi hitam yang ku lihat di dekat pohon pisang tadi.

"Aaaahhhh... Sakiiiiit..." Teriakan ibu semakin menggema hingga mampu menembus sekat ruangan.

Seperti biasa, setiap azan magrib dikumandangkan maka di saat itu pula ibu seperti orang yang sedang kerasukan.

"Astaga ibu..."

Aku dan ayah segera bergegas menghampiri ibu dan Geri.

Sesampainya di ruang tamu, aku dan ayah dikejutkan dengan penampakan dimana kedua tangan ibu sudah melilit di leher Geri. Ibu seperti sedang mencekek Geri dengan sekuat tenaganya hingga urat-urat berwarna biru di punggung tangan ibu nampak jelas keluar.

"Ya Allah Ibu... Lepasin adik. Jangan cekek dia!" Dengan cepat kutarik adikku dari cengkaraman ibu. Namun ibu berusaha menahannya.

Tangisku pun pecah melihat adikku dianiaya oleh ibuku sendiri. Walaupun aku tau, yang mengcekek Geri saat ini sebenarnya bukanlah ibu melainkan mahkluk halus yang sedang bersemayam di tubuh ibu.

"Ibu... To-tolong lepaskan," rintihku memohon pada ibu.

"No!" Ibu menolak sembari menatapku dengan sinis dan penuh amarah.

Geri tak henti-hentinya menangis karena tak kuasa menahan sakitnya lilitan tangan ibu. Suaranya semakin kencang terdengar saat ibu mencoba mengangkat Geri dengan kedua tangan yang terlilit di leher Geri.

"I-ibu jangaaaaan! " Teriakku ketika melihat ibu ingin menghempaskan Geri ke dinding.

Tanpa sadar ayah tiba-tiba saja sudah mendaratkan tangannya pada pipi kanan ibu. Kini di pipi ibu tampak bekas gamparan tangan ayah. Dengan sigap ayah mengambil Geri dari tangan ibu dan memberikannya kepadaku. Segera kudekap adikku dalam pelukanku. Air mataku jatuh berderaian membasahi hampir semua wajahku.

Batinku berkata, "Semoga ibuku cepat sembuh, aku gak mau nanti ibu sampai menyakiti adikku lebih dari ini."

Ayah seketika terduduk di tepi kasur. Dari raut wajah ayah tampak jelas ada rasa penyesalan. Ibu semakin memberontak setelah mendapat tamparan dari ayah. Ayah merangkul tubuh ibu. Walaupun memberontak tapi ayah tetap berupaya menenangkan ibu seraya membaca ayat suci Alquran di dekat telinga Ibu.

Untungnya tak lama kemudian ayah berhasil meredakan gejolak amarah ibu dan kini tubuh ibu kembali lemah terkulai di pelukan ayah.

Perlahan ayah kembali membaringkan ibu ke atas kasur.

"Maafkan Mas, sayang!" ucap Ayah sembari mengecup kening ibu.

Mata ayah nampak nanar melihat ibu yang terbaring lemah di atas kasur lusuh itu. Ibu tak hanya diam, diapun mengelus pipi ayah dengan wajah tersenyum kepada ayah. Ibu benar-benar malaikatku yang sangat baik dan cantik namun semua berubah semenjak dia sakit.

Disaat bersamaan aku melihat napas Geri sedang tersengal-sengal.

"Ayah... Leher adik membiru, sepertinya dia susah buat bernapas."

"Apa? Bawa ke sini biar dikasih napas buatan!"

Aku pun mendekati ayah. Perlahan tubuh Geri, kurebahkan di atas kasur. Ayah dengan cepat memberikan satu tiupan napas pada Geri. Kini Geri nampak semakin membaik dan bisa bernapas lega kembali.

Di pagi hari. Ayah nampak sedang sibuk menyiapkan bekal di dapur untuk dibawanya ke ladang. Aku berjalan menujunya. "Yah... Aku masih mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri, gimana kalau aku libur saja hari ini Yah? Aku ingin menemani mereka di rumah saja." Ayah nampak kaget mendengar pernyataan yang keluar dari mulutku.

"Gak usah nak. Biar Bibi saja yang menjaga ibu dan adikmu. Kamu harus sekolah yang rajin supaya pintar dan kelak bisa jadi orang yang hebat," ujar ayah kepadaku seraya mengusap-usap kepalaku.

Aku pun menganggukkan kepalaku. Aku tak ingin membuat ayah bersedih ataupun kecewa.

Ayah segera berangkat ke ladang.

Dengan segera kulangkahkan pula kakiku menuju kamar untuk berkemas. Tak lama berselang terdengar suara Bibi memanggil.

"Nisa... Buka pintunya!" ucap Bibi sembari mengetuk-ngetuk pintu.

"Iya Bi, tunggu sebentar!" Dengan cepat aku berlari menuju pintu.

Trakkkk...

Kubuka pintu dengan cepat.

"Hello," sapa Arini yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu seraya melambaikan tangannya ke arahku.

"Eh... Arini? Tumben kamu ke sini?" Aku heran, biasanya Arini gak pernah mau menginjak gubukku ini.

"Iya, kita ke sekolah bareng yuk!" ajak Arini.

"Sok asyik banget ini anak, pasti ada mau atau rencananya nih," pikirku.

Sejenak aku pun mulai berpikir buruk terhadap Arini. Namun aku mencoba untuk menepis pikiran jelek ku sesaat.

"Oh, ayuk atuh Rin! Kebetulan Iren juga sudah pergi duluan diantar ayahnya." Akupun memanfaatkan kesempatan itu.

"Bi... Aku nitip ibu sama Geri ya Bi," ujarku seraya menyalami tangan Bibi.

Bibi hanya menganggukkan kepalanya. Bibi pun berlalu pergi masuk ke dalam.

Sore harinya aku kembali pulang bersama Arini dengan berjalan kaki. Hari ini Arini tidak membuat ulah lagi kepadaku. Entah angin apa yang membuatnya tiba-tiba berubah drastis.

Kamipun sampai di rumahku.

"Untunglah kalian cepat pulang, kebetulan Bibi mau pulang cepat karena pamanmu barusan jatuh dari motor." Raut wajah Bibi nampak begitu cemas.

"Iya udah Bibi pulang aja dulu, kasihan paman sendirian!"

"Ayuk Rin!" Bibi menggandeng tangan Arini berlalu pergi menjauh.

Aku berjalan menghampiri ibu dan Geri yang tengah tertidur pulas. Segera ku ganti pakaianku di kamar. Setelah itu aku pun kembali ke ruang tamu.

Sesampainya di ruang tamu, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak merah yang terletak di sudut ruangan. "Sepertinya itu kotak untuk tempat nasi Bibi deh. Bibi kayaknya lupa untuk membawanya pulang," gumamku dalam batin.

"Tapi jujur saja aku masih sangat penasaran dengan apa yang ada dalam kotak tersebut," dengan cepat ku ambil kotak tersebut.

"Benar gak sih isinya makanan?" pikirku lagi.

Tanpa menunggu lama, secara perlahan ku buka tutup kotak yang saat ini sudah dalam genggamanku.

Krakkk...

Tutupnya pun berhasil terbuka. Aku hanya melihat sepotong ikan gabus masih tersisa didalamnya. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan di dalamnya. Jadi apa yang dikatakan Ibu benar adanya bahwa kotak yang selalu dibawa Bibi ke rumah hanya berisi makanan.

"Maafkan aku yang sudah berprasangka buruk ya Bi," gumamku.

Aku berinisiatif untuk segera mencuci kotak tersebut. Kebetulan juga Geri belum terbangun begitupun dengan ibu.

Saat akan melangkah ke dapur, aku tidak sengaja melihat seekor kucing yang tengah kelaparan. Aku pun kembali teringat dengan ikan yang masih tersisa. Dengan segera ku layangkan ikan tersebut ke arah kucing tersebut. Kucing itu tampak lahap memakannya.

Namun tak lama setelah ikannya habis di makan kucing berwarna brown itu, tiba-tiba saja tubuhnya langsung terjatuh ke lantai.

"Astaga... Kenapa kucingnya begitu? Jangan-jangan ibu... " Aku langsung teringat pada ibu yang sedang tidur di ruang tamu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status