“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
"Mas, aku hamil!" ucap Rania dengan wajah berbinar sambil menyodorkan benda pipih panjang bergaris dua."Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah," sahutku seraya mengelus perut datarnya kemudian menciuminya sambil tidak henti-hentinya mengucap hamdalah.Namaku Azis Syafi'i. Aku dan Rania sudah menikah sekitar enam mingguan yang lalu.Kabar kehamilan Rania istriku, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Sebab, kami memang sengaja tidak menunda-nunda memiliki momongan. Aku ingin cepat memilik anak sebagai penguat ikatan suci pernikahan kami.***"Rania Hamil?" Ibu mengerutkan dahi ketika kami mengabarinya."Iya, Bu. Sebentar lagi mimpi Ibu untuk menimang cucu akan segera terkabul!" Aku mengulas senyum sambil menggenggam jemari Rania."Kok cepet banget, Zis? Mbakmu saja yang sudah menikah selama satu tahun belum ada tanda-tanda kalau dia sudah
POV Rania.Membuka lemari pakaian, mengeluarkan beberapa lembar baju yang aku punya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku akan pergi dari rumah ini, sebab Mas Azis sudah menjatuhkan talak untukku. Meskipun aku tahu, jika seorang lelaki telah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, sang istri belum diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya, sebab masih ada kesempatan untuk rujuk kembali.Tapi, untuk apa aku harus bertahan dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku, bahkan telah menuduhku telah berzina. Sungguh keji fitnah yang telah dia tuduhkan kepadaku."Aku pulang sekarang, Mas. Terima kasih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama enam pekan!" pamitku seraya menahan air mata, agar tidak luruh di depan Mas Azis.Hening. Mas Azis menatap lurus ke tembok tanpa mau menoleh.Ya Allah. Sakit sekali melihat sikapnya saat ini. Terlalu hinakah aku di mata pria
"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" pekikku melihat wanita yang telah melahirkanku jatuh pingsan.Mas Azis segera membopong tubuh Bunda, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengangtarku pulang ke rumah."Loh, ada apa ini. Kenapa Bunda kamu pingsan?" tanya Ayah ketika kami sampai di rumah.Aku hanya bisa menelan ludah, tidak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku sungguh takut karena pasti Ayah juga akan syok mendengar kabar kehamilanku yang sudah menginjak minggu ke sepuluh, disaat pernikahanku baru mulai memasuki minggu ke enam."Begini ya, Mas Zubair, tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ambar dan Rania di jalan. Saya langsung menghampiri mereka dan meminta mahar anak saya dikembalikan. Eh, Ambar malah pingsan!" ucap Ibu tanpa basa-basi."Loh, kenapa Mbak Sulis meminta kami mengembalikan mahar yang sudah Nak Azis berikan. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang lelaki saat mempers
Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun.Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari.Bismillah...Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan."Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri.Aku mengangguk yakin.Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dala
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis.Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya."Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya."Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal."Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku."Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini.