Usia kandungan Shesa memasuki usia delapan bulan. Mendekati hari kelahiran sang buah hati, rasa tidak sabar ingin bertemu buah hatinya, rasa was was karena akan merasakan rasa sakit melahirkan dan juga rasa bahagia karena secepatnya keluarga kecil Shesa akan lengkap karena kehadiran bayi mungil itu.
Jadwal rutin pemeriksaan kandungan sudah mulai memasuki waktu satu minggu sekali.
"Bersiap untuk dua minggu ke depan ya Ibu Shesa," ujar dokter kandungan.
"Sudah masuk ya, Dok?" tanya Shesa.
"Iya, sudah semakin turun, posisinya pun sudah tepat, banyak jalan, banyak gerak ya."
"Em ... Dok, katanya kalo sering melakukan hubungan suami istri memperlancar proses kelahiran? Benar Dok?"
"Iya, seperti membuka jalan lahir untuk si calon bayi, tapi saya sarankan jangan terlalu sering juga. Kasian baby nya," ujar dokter lalu tersenyum. "Ok, semua sehat semua lengkap bertemu satu minggu ke depan." Dokter mengulurkan tangannya, di sambut oleh Shesa dan
Siang itu Shesa membawa makan siang untuk Alvin di kantornya, sudah lama sekali Shesa tidak menginjakkan kaki ke kantor yang menjadi saksi pertemuan mereka berdua dulu. Semua mata memandangnya, ada yang tersenyum ada juga yang menundukkan kepala tanda hormat bahkan ada yang tidak segan-segan berbisik sambil menatapnya. Shesa keluar dari lift yang membawanya menuju ruangan Alvin. Ruangan itu sedikit terbuka, tiga bulan terakhir Alvin mendapatkan assisten baru yang membantunya mengerjakan pekerjaan kantor. Hanya saja, Shesa belum pernah bertemu dengan assistennya itu. Perlahan Shesa membuka pintu ruangan kerja suaminya, Alvin menatap laptop tanpa menyadari kehadiran istrinya di ambang pintu. Sedangkan tidak jauh dari Alvin duduk, berdiri seorang lelaki dengan penampilan yang sangat maskulin. "Selamat siang," ujar Shesa dan tersenyum. "Sayang, nggak bilang mau kesini." Alvin beranjak dari tempat duduknya menghampiri wanita berbadan dua itu.
Bayi mungil berhidung mancung, dengan kulit yang masih belum terlalu bersih itu sudah berada di atas dada Shesa. Mulut kecilnya mencari-cari puting susu ibunya. "Sayang, dia ngapain?" tanya Alvin mengusap pipi anaknya dengan jari telunjuknya. "Mau makan, Papi," kekeh Shesa. "Ya ampun dia kok lebih lahap dari aku," ujar Alvin yang terpukau akan pemandangan di depannya. "Lucu ya." Shesa menghapus air matanya. "Anak aku ini," ujar Shesa mencium kepala bayi mungil itu. Alvin tersenyum mendengar kata-kata yang Shesa ucapkan. Dia merasakan apa yang Shesa rasakan, perasaan bahagia serta syukur luar biasa di dalam hidupnya. Setelah masa pemulihan, Shesa serta bayinya di pindahkan ke kamar rawat inap mereka. Di sana sudah menunggu keluarga Atmaja, serta Wulan dan yang lebih mengejutkan ada Soraya juga Windu. "Selamat Shesa," ujar Soraya menautkan kedua pipinya. "Lucu banget ... ini belum boleh di gendong ya?" Soraya begitu gemas melihat
"Ya ampun, lucu banget," ujar Anggi gemas. "Mas, aku mau yang kayak gitu," katanya lagi melalu video call yang dilakukan Pandu pagi itu saat Pandu menjenguk Shesa. "Makanya buruan pulang," ujar Shesa. "Aunty kelamaan di negara orang, nggak pulang-pulang, gimana mau jadi," kekeh Shesa. "Aku pulang bulan depan, Kak. Sudah selesai aku di sini, kasian suami aku," kekeh Anggi. "Wisuda dong, bulan depan?" tanya Alvin yang menyuapkan bubur untuk Shesa. "Iya dong, kalian ngga usah dateng ya." Anggi tertawa. "Lagian siapa yang mau dateng, pede banget," kekeh Shesa. "Mas Pandu sama mama yang bakal dampingin aku," ujar Anggi. "Selamat ya, Dek. Akhirnya selesai juga, bentar lagi jadi ibu dosen dan istri pengusaha sukses," ujar Shesa melirik Pandu. "Makasih Kakak aku yang cantik." Ekspresi wajah bahagia terpancar dari raut wajah Anggi. "Sayang, udah ya ...." Pandu memainkan jarinya di pipi gembul Naima. "Ih, kok udah
Anggi menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, setelah membersihkan dirinya dan hanya mengenakan kaos kebesaran milik suaminya, Anggi menarik selimut menutup tubuhnya hingga batas leher. Acara ulangtahun pernikahan sang kakak cukup membuatnya lelah. Jika saja dia tidak mengingatkan Shesa dua minggu lalu adalah hari bersejarah sang kakak, mungkin Anggi tidak akan repot-repot membantu Shesa menyiapkan segala sesuatunya. "Capek?" Pandu merebahkan tubuhnya di sisi Anggi, menelusup masuk ke dalam selimut lalu menarik tubuh Anggi untuk mendekat padanya dan memberikan lengannya sebagai bantalan untuk sang istri. "Iya, tapi aku seneng. Apalagi kalo udah liat Naima, ya ampun Sayang ... Naima itu lucu banget," ujar Anggi membelai dada suaminya. Pandu mengusak kepala Anggi, lelaki itu tahu betul sebenernya Anggi ingin sekali mempunyai anak, namun karena Anggi masih ingin fokus mengejar karirnya, Pandu pun bisa memaklumi. "Kamu mau yang kayak Naima? Berarti
Umur Naima hampir genap dua bulan, pipi bayi itu terlihat gembul, bibirnya yang mungil tidak berhenti mengeluarkan suara-suara yang menggemaskan. Shesa begitu menikmati kehidupannya menjadi seorang ibu. Meski masih di bantu oleh Wulan dan Paula, mertuanya, namun Shesa belajar dengan sangat cepat. "Anak Mami udah wangi, sebentar Mami ambilin baju dulu ya," ujar Shesa melangkah ke arah lemari baju yang tidak jauh dari tempat tidurnya. Sementara Shesa mencari baju untuk bayi mungil itu, Naima memainkan handuk yang menutupi setengah tubuhnya. "Ya ampun, anak Papi main apa ini? Mainin handuk, tutup-tutup muka nya ... iya, Nak." Alvin masuk ke dalam kamar melihat kelakuan lucu Naima. "Mau main ciluk ba? Iya? kamu lucu banget, Nak." "Sayang, udah pulang?" "Iya, oma-oma pada kemana?" "Pada nge Mall, biarin aja refreshing," ujar Shesa memakaikan baju pada Naima. "Udah harum, udah cantik ... sekarang Nay—" "Nay bobok," celetuk Alvi
"Dua kali lagi ya," ujar fotografer yang mengarahkan gaya pada Shesa dan Alvin. Setelan melakukan pemotretan pada Naima, sekarang adalah giliran Alvin dan Shesa yang berpoto. Beberapa setel pakaian mereka kenakan urnuk hasil pemotretan yang lebih maksimal. Begitupun gaun- gaun lucu yang di kenakan oleh Naima semua hasil rancangan Shesa. "Oke, sekarang foto bertiga ya ... Papi nya jangan kaku lagi, ya. Nanti gantengnya ilang," ujar lelaki lemah gemulai itu. Kilatan lampu kamera berganti menyilaukan mata. Naima masih tertidur, bayi kecil itu lebih memilih tidur di bandingkan mendengarkan banyak suara di ruangan itu. "Mau kemana sekarang?" tanya Alvin ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Shesa buru-buru menyusui Naima, karena memang sudah waktunya Naima menyusu. "Makan aja, Sayang ... aku lapar." Shesa sedikit meringis kala Naima menyesap puting susunya cukup kuat. "Naima, anak Papi cantik. Pelan-pelan dong, kasihan Mami Say
"Anak pinter, nungguin Mami lama, ya?" Shesa meletakkan tasnya di atas nakas. Saat masuk ke kamar tadi, dia melihat Alvin fokus dengan laptop di pangkuan sedangkan Naima bermain selimut sendiri seperti biasa. "Lama banget," kata Alvin. "Macet, kamu udah makan?" "Belum, ntar aku makan, Naima sama siapa?" "Ih, lebay deh ... kan bisa bibik jaga sebentar." Shesa berjalan ke arah kamar mandi mencuci tangan, kaki serta puting ASI nya. "Naima lapar?" tanya Shesa pada bayi mungil itu. "Sejam yang lalu baru aku kasih susu dan habis," kata Alvin. "Pinter suami aku," ujar Shesa lalu merebahkan dirinya di samping Naima lalu memberikan ASI nya pada Naima. "Pelan-pelan, Sayang," katanya pada bayi kecil itu. "Lapar banget," kata Alvin ikut merebahkan diri dan memperhatikan Naima menyesap ASI Shesa. "Sayang," ucap Alvin. "Iya." "Mau jujur sama aku?" tanya Alvin. "Jujur apa?" Shesa membalas
"Selamat, Mas ... bakal jadi Bapak, lo," ujar Alvin memberikan selamat pada Pandu yang meneleponnya siang ini. "Makasih, Vin. Tapi, gue mau nanya sama lo. Waktu Shesa hamil gitu, lo sakit nggak?" "Nggak, emang kenapa? Jangan bilang lo yang ngidam." Alvin tertawa. "Badan gue nggak enak terus, Vin. Tapi mulut gue nggak berhenti makan." Alvin kembali tertawa. "Bisa jadi lo yang ngidam, Mas. Nikmatin aja Mas, daripada di suruh beli makanan sampe ke Zimbabwe, lo pilih yang mana?" "Ya nggak sampe Zimbabwe juga kayaknya, Vin." "Gue mau pulang, Mas. Udah dulu ya, kangen bini nih." "Dih, " kekeh Pandu lalu menutup sambungan telepon mereka. "Ren, kamu bisa ke ruangan saya," ujar Alvin pada assistennya itu melalui sambungan telepon. Tak berapa lama, Reno memasuki ruangan itu. Lelaki lemah gemulai itu membawa satu buku agenda yang siap menjadi tempat dia mencatat segala pesan dari Alvin. "Ren, kamu bisa rekomendasik