Banyak adegan 21+. Dan novel ini membahas perselingkuhan rumah tangga. Tolong bijak dalam berkomentar, ya ....***"Tubuhmu sangat indah, Nara. Aku ingin kau mengerang di bawahku," ucap Pak Arsen, laki-laki yang menjadi bosku. "Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang?" Kupaksa suara itu keluar dari tenggorokan yang tercekat sejak tadi. Tubuhku mundur menghindari laki-laki yang belakangan ini membuatku ingin gila. Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Pak Arsen meletakkan kedua tangan di atas meja untuk mengunciku. Tubuhku membeku membalas tatapannya. "Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya merongrong telingaku dan membekukan kedua kaki, kala Pak Arsen menyatukan bibir kami.***Follow author di ig @butiran_debugn dan fb ame mey, untuk mengikuti novel lainnya. Terima kasih.
Lihat lebih banyakKala aku tiba di rumah sore itu, kulihat pintu rumahku terbuka lebar dengan sepasang sepatu wanita terletak di luarnya. Dua suara pria dan wanita terdengar telingaku ketika akan memasuki teras itu.
"Sampe kapan, Fer? Kamu pikir kami nggak bosan nunggu begini? Lihat papa kamu, Nak. Papa udah tua. Kamu nggak pengen kami menimang cucu sebelum ajal kami, apa?"
Itu suara mama mertuaku. Bisa kupastikan mama bagaimana reaksi mukanya saat membahas cucu.
"Aku pulang," ujarku. Kulihat mama membuang wajahnya ke samping tak senang melihat kedatanganku. Tak perlu kupasang muka jutek sepertinya, sebab ini sudah hal biasa bagiku.
"Eh, ada mama," lanjutku lagi.
Setelah melepas sepatu sport di depan pintu, kuambil tempat duduk di sebelah Ferdy yang berhadapan dengan mama mertua. Berniat menyapa dulu pikirku, tapi mama mertua segera menegurku.
"Mertua datang bukannya dibikinin minum, malah duduk," sindirnya.
Sejak tadi mereka mengobrol kenapa tidak meminta diambilkan oleh anaknya? Apa tangan Ferdy akan patah jika dia suruh?
"Oh iya. Maaf, Ma, aku ke dapur dulu." Kutinggalkan mereka di sana.
Lagi, kudengar mereka melanjutkan pembicaraan lagi. Tidak terlalu jelas, mama mertua menurunkan nadanya dari sebelum aku masuk tadi.
Ini lah salah satu masalah besar yang sangat mengganggu pikiranku. Lima tahun kami menikah hingga sekarang belum juga bisa memberi cucu untuk mertua. Aku sendiri sangat malu setiap kali mama membahas anak padaku.
Bukan aku tak mau. Tapi ... mungkin memang belum saatnya kami dikasih keturunan.
Mertuaku tidak bisa meminum kopi. Penyakit lambungnya sudah terbilang buruk. Jadi, aku meletakkan cangkir teh di depannya dan kopi untuk suamiku.
"Silakan tehnya, Ma," ucapku mempersilakan.
"Nara, gimana dengan jamu yang mama belikan? Kamu nggak buang, kan?"
Bukannya mengucap terima kasih atau sekedar basa-basi atas teh yang baru kuletakkan, mama langsung menembakku pada inti.
"Minum kok, Ma," sahutku pelan.
Sudah tiga bulan ini mama mertu memberikan jamu untuk kukonsumsi. Di kemasannya menjelaskan bahwa itu jamu penyubur kandungan, katanya biar aku cepat hamil. Aku selalu meminumnya meski aku sendiri merasa mual setiap kali selesai menenggaknya. Tak apa. Memiliki anak juga salah satu keinginanku.
Bukankah untuk mendapatkan sesuatu kita harus berkorban lebih dulu? Anggaplah meminum jamu itu sebagian dari pengorbananku.
"Tapi kenapa kamu belum hamil juga? Anaknya teman mama cuma minum itu satu bulan, loh. Dia langsung hamil di bulan berikutnya!" serunya, yang di telingaku terasa seperti sindiran halus.
"Mungkin memang belum saatnya, Ma. Udah lah, jangan bahas cucu terus."
Ferdy membelaku, seperti yang biasa dia lakukan. Melihat wajah mama tak senang akan pembelaan yang kudapat, kucubit kecil pinggang suami agar tidak menjawab lagi ucapan mamanya.
"Jadi maksudnya kami harus diam aja, gitu? Ferdy, kamu ini anak mama satu-satunya dan hanya sama kamu mama berharap."
Ferdy sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi segera dia urungkan ketika melihatku meliriknya. Kugeleng pelan kepala, menyuruhnya berhenti berdebat dengan mama. Aku tak mau mereka terus bertengkar dan berakhir aku lagi yang disalahkan.
"Kami akan berusaha terus, Ma. Doakan aja secepatnya," ucapku, menggantikan Ferdy.
"Kamu pikir kami nggak berdoa selama ini? Sebenarnya kamu paham nggak sih perasaan kami, Nara? Kami ini orang tua, loh. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Ferdy selain kamu. Apa bahagia kami bukan tanggung jawabnya? Hanya kamu yang berhak mendapat bahagia dari anak kami? Lebih baik kalian berhenti berusaha kalau hasilnya selalu nihil!" sentak mama.
Tuhan ....
Ingin kuangkat tangan meremas dada yang terasa sangat sakit di dalam sana, tapi kutahan demi tidak terlihat menyinggung. Lagi-lagi aku menahannya agar mama tidak semakin kesal melihat wajahku.
"Maaf, Ma," sahutku lemah.
Kau tahu seberapa sakitnya aku selalu meminta maaf seperti ini? Semuanya seakan hanya jadi salahku. Padahal, aku sendiri sudah mengikuti semua perkataan mama mertu.
"Mama nggak bisa dengar permintaan maaf kamu terus, Nara. Mama bosan dengarnya."
Lantas apa yang harus aku lakukan? Semua inginnya sudah kuturuti, termasuk bekerja jadi Cleaning Servic di perusahaan itu. Kau tahu kenapa aku terdampar ke sana? Mari kujelaskan.
Mama mertuku yang terhormat ini pernah berkata Ferdy terlalu lelah bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi di malam hari. Beliau menyuruh Ferdy resign sejak dua tahun lalu, dan hingga sekarang dia kesulitan mencari pekerjaan. Asal kau tau, Ferdy sudah menganggur selama dua tahun penuh, dan aku harus menggantikannya untuk mencukupi biaya kami.
Aku hanya anak dari panti asuhan. Aku tak punya tingkat sekolah tinggi apalagi yang disebut sebagai gelar. Untuk lulus dari SMA saja aku harus bekerja paruh waktu sebab panti tempatku dibesarkan mengalami kesulitan saat itu.
Sedangkan Ferdy yang tadinya sudah mendapat posisi bagus di kantor dipaksa mengundurkan diri oleh mamanya. Tak ada pilihan lagi saat itu, Ferdy menuruti perkataan mamanya agar tidak terus menyalahkanku yang tak kunjung hamil.
Semua uang yang kami miliki kubayarkan pada angsuran rumah. Seharusnya memang masih tiga tahun lagi, tapi kupikir, jika Ferdy tidak bekerja dari mana kami akan mendapat uang bulanan membayarnya? Jadi, kuputuskan melunasi rumah ini agar tidak menjadi beban bagi kami. Lalu aku melamar kerja menjadi tukang bersih-bersih, sebab hanya sampai di situ lah ijazahku berlaku.
"Maaf, Ma," jawabku lagi. Kutelan ke dalam air mataku untuk tetap terlihat tegar. Aku tak suka dipandang rendah olehnya.
"Maaf terus. Udah kamu ke dalam aja sana. Nyuci piring kek, baju, masak, atau bersih-bersih. Mama mau ngomong berdua sama Ferdy."
'Baik, Mama Ratu.'
"Kalau gitu aku ke dalam dulu, Ma."
Ini lebih bagus. Aku sendiri sudah tak tahan duduk lebih lama lagi di sana. Aku lelah, hanya aku yang selalu disalahkan olehnya. Biarlah kali ini Ferdy yang menangani mamanya. Mau mereka ribut, berantem sekalian juga aku akan menutup telingaku.
Spons di tangan kugosok kuat pada piring yang sedang kucuci. Begini lah selalu. Bahkan jika aku pulang malam dari tempat bekerja, aku masih harus mengurus segala pekerjaan rumah yang kadang sampai larut malam selesai. Ferdy yang sejatinya hanya diam di rumah ini pun tak pernah berniat meringankan sedikit saja bebanku. Bukan. Bukan aku meminta suamiku menjadi Inem, hanya sesekali aku ingin dia ikut membantu. Bukankah hal wajar suami istri melakukannya bersama? Nyatanya, Ferdy tak pernah menyentuh apa pun di rumah ini.
Duduk di depan TV, pergi bertemu temannya, atau alasan melihat pekerjaan yang tak kunjung dia dapatkan. Aku sabar. Aku tak pernah melarangnya bahkan ketika aku sangat membutuhkan belaiannya.
"Jadi gimana? Mama atau kamu yang ngomong sama Nara?" tanya mama kudengar di depan sana.
"Jangan, Ma. Biar aku aja yang ngomong."
"Kamu bilang gitu juga minggu lalu, kan? Tapi nyatanya, kamu malah diem terus. Kamu ini sebenarnya laki-laki bukan, sih? Masa ngomong ke istri saja nggak bisa. Seperti suami takut istri!" sindir mama.
"Apa jangan-jangan Nara yang ngatur kamu? Bilang sama mama, dia nggak rendahin kamu karena nggak kerja, kan? Gantian dong, dulu kamu yang kerja sampe nggak punya waktu ngasih mama cucu. Sekarang giliran dia harusnya nggak jadi besar kepala. Lagian gaji tukang sapu mah berapa? Nggak akan bisa nyaingi gaji kamu dulu."
Tuhan ... jika aku memperlakukan Ferdy seperti itu, seharusnya mama melihat rumah ini rapi ketika datang tadi. Bukannya seperti ini. Piring bertumpuk di tempat cuciannya, pakaian di luar belum diangkat, dan lihat saja ruang tengah yang bahkan tidak disapu sejak pagi. Ya, aku tak menyapunya sebab buru-buru berangkat ke kantor.
"Udah lah, Ma. Jangan menduga-duga terus. Biar aku yang ngomong ke Nara. Tapi kalo dia nggak setuju mama jangan langsung marah. Nggak ada perempuan yang mau dimadu."
Serrr ....
Darahku mendidih mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut suamiku.
Madu? Madu seperti apa yang Ferdy bicarakan? Madu manis yang diiklankan Agnes Monica itu 'kah? Aku tak mau mengakui isi pikiranku sekarang.
*****
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen