"Bagaimana rasanya bekerja, Ras?" Tejana berbinar kala bertemu Saras di jam istirahat. Apalagi kantor yang ditempati oleh Saras merupakan kantor sahabatnya juga.
Saras mengulas senyum tipis, beban di pikiran berkurang sedikit saat melihat wajah penuh binar dari Tejana.
"Rasanya?" Saras mengernyitkan dahi seakan-akan berpikir. Membuat Tejana mendengkus kesal saja. "Menyenangkan. Apa lagi aku sudah lama tidak membaca cerita dari orang lain dan mengeditnya. Membuat artikel, seakan-akan kembali ke masa putih abu dulu."
Percakapan mereka mendadak terjeda saat seorang waitress mengantarkan pesanan keduanya. Setelah mengucapkan terima kasih, keduanya mulai mencicipi pesanan masing-masing.
"Oh ya, foto yang aku kirim tentang suamimu itu benar apa bukan?" tanya Tejana sambil mengunyah seblak yang dipesan. Tatapannya tak lepas dari Saras.
Saras tersedak oleh kuah soto mi, menyeruput jus jeruk hingga setengah. Lalu membalas
Enggak tau, feel-nya dapet apa enggak. Kabir berengsek emang. Dikasih Saras malah mungut Fadhillah:(
Aneh! Satu kata itu menyelimuti benak Kabir selama satu minggu. Ia merasa aneh dengan sikap Saras, selalu menghindar, dan acuh tak acuh. Walaupun Saras masih melakukan tugasnya sebagai istri, seperti memasak, mencuci piring, atau bebersih rumah. Namun, sikap dingin dan acuh tak acuhnya membuat Kabir tak tahan. Bahkan selama satu minggu ini, ia mengawasi Saras. Mencari tahu apa yang dikerjakan perempuan itu. Tentu saja dirinya terkejut mengetahui bahwa Saras bekerja di kantor Marcello. Tidak hanya itu saja, kedekatan Saras dan Marcello entah mengapa membuat Kabir tak suka. Seperti ada gejolak aneh menyelimuti benak kala mendapat foto kebersamaan mereka dari anak buahnya. Semakin ia berusaha mengenyahkan rasa itu, maka rasa itu malah makin bersemayam di ulu hatinya. "Pak, bagaimana dengan keputusan Bapak mengenai proyek perumahan Karandince di kota Cikampek?" Pertanyaan Aldi membuyarkan lamunan Kabir. Ia mendongak menatap Aldi y
Langkah Saras terhenti di depan parkiran depan kantor. Terkejut dengan kedatangan Kabir, laki-laki itu tampak bersandar di mobilnya sambil bersedekap dada. Saras tidak salah lihat? Kalau Kabir datang menjemput? Bukannya menghampiri, justru Saras malah berjalan melewati. Membuat Kabir dengan cepat meraih tangan Saras. Laki-laki itu menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung, menatap lekat pada Saras. "Kamu kenapa sih menghindar terus?" tanya Kabir dengan nada sedikit membentak. Saras tak menjawab. Ia sibuk memperhatikan sekitar, yang kini menjadi atensi anak-anak kantor. Dengan cepat, Saras menarik tangan Kabir ke arah mobil yang terparkir. Kemudian, masuk tanpa diperintah oleh laki-laki itu. "Ah, diamnya seorang perempuan ternyata menakutkan," gumam Kabir, berjalan memutari mobil ke arah kemudi. Menyalakan mesin, mengijak pedal gas, dan melaju membelah jalanan kota. Dalam perjalanan, keduanya tampak salin
Atmosfer di dalam mobil mendadak senyap. Kabir memandang wajah Saras dengan lekat. Kalimat yang dilontarkan oleh Saras seakan terngiang kembali di telinga. Iya, ia mengaku salah. Akan tetapi, hatinya belum bisa mengakui bahwa Saras itu istri sah terlebih menerima pernikahan tersebut. Walaupun ia mampu menerima, itupun dengan cara terpaksa. "Enggak ada gunanya juga aku mengatakan semua itu," ucap Saras sembari menyeka air mata di pipi. Tawa sumbangnya terdengar begitu menyayat hati. Kabir mengeratkan kepalan tangan di setir mobil. Menahan gejolak amarah dalam diri. Ia juga tidak bisa melarang Saras untuk jatuh cinta pada dirinya. Namun, rasa kasihan dan iba menyelimuti kala mendengar penuturan Saras tentang penyesalan menerima pernikahan ini. "Saya minta maaf. Saya harus apa agar kamu mau memaafkan saya?" Suara Kabir memecahkan kejedaan yang sempat tercipta selama sepuluh detik. Ia menatap Saras dengan tatapan datar, seakan tidak memiliki ra
Saras mengerjapkan mata secara perlahan saat mendengar suara berisik dering ponsel. Ia mengucek mata dengan pelan, lalu bangun dari tidurnya. Rasa sakit ia rasakan di sekujur tubuh terutama di daerah kewanitaan. Pandangannya menatap ke sekitar kamar, menarik selimut sampai sebatas dada. Keadaan kamar sangat berantakan, pakaian berserakan di mana-mana. Saras melirik ke sampingnya, di mana Kabir tengah tertidur dengan pulas sesudah merenggut kehormatan Saras secara paksa. Jika saja laki-laki itu meminta dengan cara baik-baik, mungkin ia akan mengiakannya. Daripada harus memaksa, membuat Saras merasa seperti diperkosa. Ia menyeka buliran bening yang menetes di pipi. Dering ponsel mengusik fokus Saras, ia melirik ke arah nakas. Bunyi itu berasal dari ponsel Kabir, tertera nama sang ibu mertua di layar monitor tersebut. Saras mengambil ponsel tersebut, lalu menggeser tombol hijau guna mengangkat telepon dari ibu mertua a.k.a Lia. Dalam hati, ia b
Sudah dua hari Saras sakit demam. Dua hari juga Kabir izin tidak masuk kantor demi menjaga Saras sampai sembuh. Memilih mengandalkan bertanya melalui virtual pada sang dokter mengenai cara merawat orang yang demam. Untuk pertama kali Kabir rela direpotkan oleh seseorang. Merawat dengan telaten sampai rela mengacak-acak dapur membuatkan makanan untuk Saras. Maupun untuk dirinya sendiri. Walaupun masakan yang dibuat tidak seenak masakan ibu dan Saras. Seperti sekarang ini, laki-laki itu begitu khusyu di dapur dengan bahan-bahan sayuran. Memotong wortel dengan pelan sampai kol, walaupun potongan tersebut besar-besar. Sementara Saras, ia disuruh untuk duduk diam di kursi. Dipinta untuk menonton saja, takut kalau ia memasak malah akan menularkan virus ke dalam masakan yang dibuat. Saras mengembuskan napasa kasar melihat Kabir kesusahaan memotong ayam. Laki-laki itu berniat membuatkan sup ayam untuk dirinya agar cepat sembuh. Padahal Saras sudah sembuh, sangat
Setelah pembicaraan sensitif mengenai hubungan percintaan Kabir dengan Fadhillah. Saras lebih banyak diam, tidak ingin mengusik atau membahas kembali. Takut kalau sewaktu-waktu emosi laki-laki itu berkobar. Ia tahu kalau Kabir berat melepaskan Fadhillah, terbukti dari tatapan mata laki-laki itu. Selama perjalanan menuju rumah Lia, tidak ada yang mau membuka pembicaraan. Kabir sibuk dengan pikiran; antara lanjut dengan Fadhillah atau malah putus. Sementara Saras, ia sibuk dengan rasa sakit di hati. Ingin rasanya ia pulang, memeluk ummi dan abi. Sekaligus menceritakan apa yang selama ini didapat dalam rumah tangganya. Namun, ia takut, takut berbagi rasa sakit itu dengan orang lain. Bagi Saras, yang mampu mengerti itu hanya dirinya sendiri. Andaikan saja dulu ia mau menunggu Gemintang, mungkin sekarang ia sudah bahagia dengan laki-laki itu dibandingkan dengan Kabir. Lagi-lagi pikiran memandingkan kehidupan masa lalu dan masa kini selalu saja be
Lia merasa aneh dengan sikap Kabir semenjak laki-laki itu sampai di rumah. Ia merasa kalau anak dan menantunya tengah menyimpan sebuah masalah. Ingin bertanya pun rasanya sungkan. Takut dikira ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka. Sesekali senyum di wajah Saras membuat dirinya khawatir. Belum lagi tatapan Kabir yang sedang menyembunyikan sesuatu. Lia sangat kenal betul bagaimana sifat sang anak. Kabir begitu lihai menyembunyikan sesuatu, juga berbohong. Lia tahu itu, tetapi ia hanya bisa diam. Lia tidak ingin mengekang Kabir. Hanya nasihat yang selalu dilontarkan untuk Kabir. Takut sewaktu-waktu anak itu lepas kendali atau membuat keputusan yang salah. "Kak Saras, selama tiga hari ini Kakak ke mana saja? Acara syukuran dan yasinan sudah lewat, kalian baru datang. Padahal aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap Adira menatap pada Saras ingin tahu. Lia tersentak. Berbagai lamunan yang bersemayam di kepala mendadak hilang. Ia
Saras benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Kabir dua hari belakangan ini. Semenjak keduanya memulai dan menerima satu sama lain, sikap laki-laki itu berubah menjadi aneh. Selalu berubah-ubah dalam sekejap. Benar-benar membuat perasaan Saras menjadi resah. Tinggal kembali di rumah membuat rasa bosan melanda. Apalagi mengingat tentang peristiwa bagaimana Kabir bercinta dengan sang mantan kekasih. Tepat di ruang tamu yang tengah diduduki oleh Saras. Seulas senyum kecut terbingkai di wajah. Selalu saja kenangan buruk yang terlintas di kepala. Berusaha melupakan rasanya susah. File tersebut susah untuk dihalau. Saras tidak tahu bagaimana ke depannya nanti. Ia sudah pasrah dengan jalan takdirnya sendiri. Ketukan dari pintu membuyarkan berbagai keresahan dan lamunan Saras. Ia beranjak dari duduk menuju ke arah pintu. Membukakan pintu melihat siapa yang datang bertamu. Matanya mem