Seperti kilat, cahaya itu menyambar dari sisi kiri Isabel. Tubuh Rin melayang, kemudian turun dengan perlahan. Ada seseorang yang menyembutnya, “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Pertanyaan yang terdengar tak berguna, karena sebenarnya Diran bisa melihat sendiri bagaimana Rin dalam genggamannya.
Isabel berpaling, feeling-nya terasah untuk setiap kehadiran makhluk setengah iblis di belakang. Berjalan dengan lambat, tapi aroma kemarahan jelas terlihat dari api-api kecil berwarna hitam yang berkobar di seluruh tubuhnya. Jemari William terselip di saku celananya sendiri, mungkin untuk menyembunyikan betapa mengerikan dan berbahayanya jari itu.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Isabel terbata.
William memakunya, dalam diam dan sorot mata yang membuat tangan Isabel bergetar. Isabel tersudut. Tidak ada celah untuknya berlari saat itu. Ia sempat melangkah mundur untuk menjauhi William, tapi kini, ada lemari buku besar di belakangnya.
“Menurutmu, k
“William tidak akan menyakitimu, apa pun yang terjadi.”Diran mengucapkan kalimat itu tanpa sedikit pun keraguan. Isabel percaya. Tapi, tetap saja ia menyimpan rasa bersalah yang membuatnya ingin membatasi diri terhadap William.“Aku tidak tahu bagaimana memperbaiki ini. Sekarang aku merasa lebih buruk lagi karena telah melarikan diri,” ucap Isabel pada Rin sambil memperhatikan leaflet yang ada di tangannya. Leaflet berisi informasi tentang sekolah seni yang akan mereka datangi. Lady Vanvier mengirim semua murid Slavidion ke beberapa sekolah seni yang ada di kota itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebuah kebijakan agar siswa-siswi Slavidion tetap bisa melanjutkan pendidikan mereka setelah sekolah itu ditutup.Sudah terlihat gerbangnya, Clair Art School, sekolah seni setingkat SMA yang berjarak sekitar 10 menit dengan kereta cepat. Turun dari stasiun kereta, Rin dan Isabel masih harus berjalan lagi
Sudah hampir dua jam William berdiri di dekat gerbang Slavidion. Tarikan napas agar bisa lebih rileks, ia terapkan setiap tiga puluh detik dan berakhir dengan beban untuk memulai ritual dari awal lagi.“Apa Anda tidak malu dengan mereka?” tanya Diran yang lebih dulu berada di luar gerbang Slavidion. Di sekitar mereka, makhluk Slavidon lain bersliweran seperti sedang berada di pintu pasar malam. Makhluk dengan gradasi warna samar dan pucat itu memperhatikan William heran. Sejak tadi, pangeran itu hanya mengacungkan tangannya tanpa berani menyentuh batas antara Slavidion dan dunia luar. Jika dulu Diran melihat dinding pembatas itu sebagai sesuatu yang hitam dan tidak konsisten, sekarang semua itu telah hilang. Jernih. Bening. Pandangannya jadi semakin luas.“Apa tidak jadi saja? Anda bilang sendiri ‘kan makhluk malam Slavidion, kecuali Black Finger, tidak ada yang punya kekuatan.”“Tidak. Kita tetap harus mencari Isabel. Makhluk Slavidion tidak akan mampu membu
Isabel sibuk mengepak pakaiannya sambil sesekali memandang ke luar jendela, ke langit hitam yang bergemuruh.“Aku kecewa kamu tidak di sini lebih lama,” Rin menjatuhkan diri ke samping Isabel. Ke tempat tidurnya sendiri yang memang cukup untuk dua orang.Bagi Isabel, kamar Rin terlihat bagus, bahkan mungkin terlalu bagus. Bergaya victorian, kamar itu diliputi warna putih dengan aksen keemasan. Puluhan kali lebih bagus daripada kamar asrama, bahkan lebih luas dari ruang keluarga di rumah Isabel sendiri. Satu hal yang menarik perhatian Isabel sejak memasuki kamar tersebut, lukisan Queen of Rose yang terpajang di sisi samping tempat tidur.“Maaf, aku tidak memberitahumu. Aku sengaja membelinya di galeri,” terang Rin soal lukisan yang dibuat oleh Isabel.“Aku tidak yakin kalau ini terlihat bagus. Aku hanya meletakkan di galeri seni, tanpa ekspektasi akan ada yang membelinya.”Sekarang. Lukisan itu lebih seperti zat adiktif untuk mereka ter
“Aku mau ke toko depan. Ada yang harus kubeli,” Isabel turun dari tempat tidur. Kurang enam menit dari pukul 00.00.“Mau kutemani?” pungggung Rin menegak. Di tangannya ada satu buku di antara puluhan buku tua yang ia bawa dari Slavidion.“Tidak perlu. Kamu juga tidak perlu membaca semua buku itu malam ini. Tidurlah!”Rin kembali menyandarkan punggungnya ke bantal yang sengaja disusun lebih tinggi. Fantasinya berlanjut, bersama barisan kalimat yang masuk lewat matanya.Pintu kamar tertutup, suara hentakan kaki menggema pelan dan Isabel keluar dari pintu belakang. Ada toserba di seberang jalan, Isabel hanya akan membeli beberapa perlengkapan mandi dan cadangan makanan untuk dibawa ke asrama barunya.Namun, ia terganggu sejak angin malam menyapanya. Seolah ada yang mengawasi, Isabel mendekap dirinya lebih rapat. Kadang-kadang ia merasa perlu untuk menunduk agar makhluk-makhluk dari dimensi lain tak begitu saja tertangkap
“Seharusnya dia menemaniku! Apa begini sikapnya untuk orang yang jelas-jelas tersesat? Padahal ini pertama kalinya aku datang ke rumahnya. Dia seharusnya lebih baik dalam menjamu tamu yang datang dari jauh,” kesal Diran meratapi rumah mewah yang berdiri di atas lahan yang tak terlihat batasnya. “Sepertinya dia hidup dengan nyaman,” batinnya kemudian. Ia tiba-tiba merasa buruk. Slavidion, apalagi gubuk tuanya, membuat Diran menggutuk dirinya sendiri.Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya Diran menemukannya. Sang pangeran yang menjadi pusat perhatian.Supir bus turun sambil memegangi kepalanya yang lebam. “Kupikir kalian sudah mati,” katanya mendesis kesakitan. “Tapi, aku lega melihat kalian baik-baik saja. Setidaknya aku tidak akan dipenjara.”“Tidak mungkin Anda baik-baik saja,” penjaga toko masih tak percaya. “Aku melihat bus itu menabrak kalian.”William menatap setiap mata yang memandang padanya. Ada lebih banyak suara yang sebe
“Orang bodoh mana yang mau membangun rumah di tempat seperti ini?” pikir William dari jarak dua meter dari jendela besar yang tirainya terbuka. Matahari mulai menampakkan dirinya saat itu. William bergeming, bahkan ketika kulitnya berasap karena terkena cahaya matahari.“Sampai jumpa!” cahaya Maria mulai meredup, dan menghilang ketika matahari semakin tinggi.Maria, terlihat seperti perempuan usia dua puluh tahunan. Setengah wajahnya adalah borok yang terus menerus mengeluarkan nanah. Jalannya pincang, walau tak terlihat ada yang salah dengan kaki-kakinya. Katanya, sudah lama ia tinggal di mansion Aegel Gustave Saveri. Lalu, siapa pun yang datang ke mansion itu, akan berurusan dengannya. Sayangnya, Maria mengancam orang yang salah. Sebuah cekikan dari seorang Black Finger sempat singgah di lehernya. Jika saja William tidak bermurah hati, maka Maria akan segera menjadi cahaya hitam yang tidak berarti apa-apa.“Maafkan saya, Tuan!” kata Maria
Setelah Sandra pergi, Rin dan Isabel terlempar ke kelas yang berbeda. Isabel terpaku di hadapan kanvas putih yang terlihat begitu cerah di antara nuansa kecoklatan kelasnya sekarang. Kelas berlantai papan dengan banyak paku yang menonjol. Bagi Isabel, tempat itu seperti mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia pernah merasakan takut teramat sangat. Senyap, tidak ada seorang pun saat itu. Lalu, ia menemukan sebuah rumah kayu. Isabel masuk dan mengurung dirinya di sana. Pintu ditutup rapat. Namun, itu tidak membuat rasa takutnya berkurang. Hingga tengah malam, nuansa horor semakin menjadi. Dari celah dinding papan, Isabel melihat ada empat makam di halaman belakang. Sesuatu kemudian bangkit dari sana. “Cobalah sekarang!” Isabel tersentak. “Tidak,” sebutnya.
“Kamu akan pergi?” Maria muncul lagi di batas senja. Tepat di samping William yang duduk di sofa yang telah koyak. Perlahan, ia mendekat pada William dan bersandar di bahu William.“Apa seperti ini sifat aslimu?” William menghalau Maria.Seperti siput, hantu perempuan itu menggeliat. “Menjijikkan,” William berdiri.“Kamu boleh tinggal di sini sampai kapan pun,” katanya terkesan tiba-tiba.“Kemarin kamu ingin mencelakaiku!”“Itu kemarin. Kupikir aku berubah pikiran. Punya teman bicara sepertinya tidak buruk.”“White! Ayo, kita pergi!”Diran terhenyak. “Kenapa tiba-tiba?” pikirnya masih tak yakin. Ia memperhatikan perempuan yang sebenarnya belum pernah mengajaknya bicara. Tentang seberapa urgent Maria harus dihindari, padahal matahari belum benar-benar bersembunyi.William menarik sebuah kain hitam yang menutupi sebuah meja hias. Ia kemudian melilitkan kain itu dari kepala hingga tiga per empat tubuhny