Share

Pindah Kamar

Author: As Jaz
last update Huling Na-update: 2021-07-15 20:01:16

Dari jauh, pagar rumah Nona Muda sudah tampak. Bayangan asap itu kembali teringat. Sedikit takut, tetapi Nona Muda akan sekamar denganku. 

 

"May ... pagarnya!" Suara Nona Muda membuyarkan lamunanku. Sahabatnya bernama Maya bergegas keluar mobil dan menggeser pagar.

 

Sejenak, aku mengerling halaman rumah yang tak banyak berubah. Dedaunan kering dan beberapa tanaman mati masih berserakan.

 

Maya gadis berjaket biru itu langsung memegangi lenganku. Terasa sangat dingin dan sedikit keringat. Aku merasa tak nyaman, tetapi ia tersenyum sembari menarikku mengikuti Nona Muda yang membuka pintu utama.

 

"Kakak, aku ingin mengambil ponsel di kamar," ucapku saat Nona Muda menaiki dua anak tangga.

 

"Aku sudah memasukkan semua barang ke dalam tasmu, Dik." Nona Muda memberi isyarat agar kami segera menyusulnya di ujung tangga.

 

"Kakak Maya, menginap di sini lebih lama, bukan?" Pertanyaan ini sekaligus mengajaknya.

 

Maya meringis, menampakkan deretan gigi dengan alis hampir menyatu. "Sehari saja, Dik. Tugas kuliahku masih banyak belum selesai."

 

Aku hanya mengangguk pelan. Nona Muda telah membuka pintu salah satu kamar lantai dua.

 

"Ini kamarku, Dik. Kamar kita," terang Nona Muda melangkah ke arah pembaringan.

 

"Itu tasku, Kak?" Mataku tertuju pada tas di dekat lemari.

 

"Iya. Sebelum menjemputmu, aku sudah menaruhnya di sini. Kamarmu yang kemarin itu, terkunci. Kau juga tak perlu masuk ke sana untuk membersihkannya," jawab Nona Muda duduk di tepi pembaringan.

 

Aku segera membuka tas dan mencari ponsel. Sudah berapa hari aku tak kunjung meluangkan waktu menghubungi Cici untuk bertanya kabar adik-adik.

 

"Ponselmu sudah ketemu?" Nona Muda mendekatiku.

 

"Ini, Kak." Aku mengangkat ponsel dan memperlihatkannya.

 

"Baiklah." Nona Muda menoleh ke arah Maya yang merebahkan tubuh sembari menatap layar gawai. "Kalian tunggu di sini! Aku ingin membeli makanan," imbuhnya memegangi gagang pintu dan menarik hingga tertutup rapat.

 

Aku berjalan ke ranjang. Ponselku mati, membuatku mencari colokan. 

 

"Kak Maya ..." panggilku.

 

Maya yang bangkit dari pembaringan menatapku. "Ada apa, Dik?" 

 

"Aku harus mengisi daya ponsel," ungkapku.

 

Ia mengusap dada dan menghela napas. Aku ingin bertanya, mengapa ia terkejut walau dengan satu panggilan seperti tadi? Namun aku belum berani. Ia meraih alat pengisian daya beserta gawaiku dan mencoloknya di dekat  meja rias.

 

"Kau butuh ponsel? Bisa gunakan milik Kakak dulu." Maya mengulurkan gawainya ke arahku saat ia kembali ke pembaringan.

 

"Tak perlu, Kak. Terima kasih! Aku bisa menunggu sampai dayanya penuh," tolakku berusaha lembut.

 

Ia berbaring di dekatku. Sementara aku hanya bersandar di bahu ranjang. Wajahnya tampak tak tegang saat ia tersenyum membaca sesuatu. Sesekali ia menutup bibir menahan ketawa.

 

Aku selalu tak sengaja melihatnya tiap ia bergerak sembari berbicara melalui ponsel.

 

Tak lama, Nona Muda membuka pintu dengan kantung plastik di tangan. Ia menaruhnya di atas meja depan sofa merah muda.

 

"Dik ... sini kita makan!" panggil Nona Muda tersenyum ke arahku. Sementara Maya masih berbicara pada orang di dalam ponsel.

 

"Kak Maya, tidak ikut makan?" tanyaku pada Maya, tetapi ia hanya menggerakkan tangan seolah berkata tidak. Aku pun beranjak ke arah Nona Muda yang sudah membuka dua kotak makanan.

 

"Maya kenyang makan cinta, Dik," ucap Nona Muda menggeser kotak makan di depanku. "Makanlah!" suruhnya sembari menjempit rambut di telinga.

 

"Kak Maya ...." Aku masih memandangi Maya yang masih tertawa kecil di pembaringan.

 

Nona Muda menggelengkan kepala sembari mencicipi suapan pertama. "May ... ayo makan!"

 

"I-iya, Ri, tunggu." Maya pun menutup telphone. Ia bergegas bergabung dengan kami. "Bagianku mana, Ri?" Maya memeriksa kotak yang masih tertutup.

 

"Kakak, hanya membeli 3 kotak?" tanyaku pada Nona Muda. Aku teringat pada Nyonya besar karena tak ada orang yang memasak.

 

"Kita memang bertiga, bukan?" tanya Nona Muda meraih botol air.

 

"Ibu Kakak, sudah makan?" Aku memandangi wajah Nona Muda yang diusap tissue.

 

"Kau tidak perlu pikirkan itu. Kebutuhan Ibuku selalu terpenuhi." Nona Muda melanjutkan makan, begitu pula aku yang membalas dengan anggukan kepala. Namun, raut wajah Maya kembali datar, ia menunduk dan menyuap pelan.​

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status