Share

Pindah Kamar

Dari jauh, pagar rumah Nona Muda sudah tampak. Bayangan asap itu kembali teringat. Sedikit takut, tetapi Nona Muda akan sekamar denganku. 

 

"May ... pagarnya!" Suara Nona Muda membuyarkan lamunanku. Sahabatnya bernama Maya bergegas keluar mobil dan menggeser pagar.

 

Sejenak, aku mengerling halaman rumah yang tak banyak berubah. Dedaunan kering dan beberapa tanaman mati masih berserakan.

 

Maya gadis berjaket biru itu langsung memegangi lenganku. Terasa sangat dingin dan sedikit keringat. Aku merasa tak nyaman, tetapi ia tersenyum sembari menarikku mengikuti Nona Muda yang membuka pintu utama.

 

"Kakak, aku ingin mengambil ponsel di kamar," ucapku saat Nona Muda menaiki dua anak tangga.

 

"Aku sudah memasukkan semua barang ke dalam tasmu, Dik." Nona Muda memberi isyarat agar kami segera menyusulnya di ujung tangga.

 

"Kakak Maya, menginap di sini lebih lama, bukan?" Pertanyaan ini sekaligus mengajaknya.

 

Maya meringis, menampakkan deretan gigi dengan alis hampir menyatu. "Sehari saja, Dik. Tugas kuliahku masih banyak belum selesai."

 

Aku hanya mengangguk pelan. Nona Muda telah membuka pintu salah satu kamar lantai dua.

 

"Ini kamarku, Dik. Kamar kita," terang Nona Muda melangkah ke arah pembaringan.

 

"Itu tasku, Kak?" Mataku tertuju pada tas di dekat lemari.

 

"Iya. Sebelum menjemputmu, aku sudah menaruhnya di sini. Kamarmu yang kemarin itu, terkunci. Kau juga tak perlu masuk ke sana untuk membersihkannya," jawab Nona Muda duduk di tepi pembaringan.

 

Aku segera membuka tas dan mencari ponsel. Sudah berapa hari aku tak kunjung meluangkan waktu menghubungi Cici untuk bertanya kabar adik-adik.

 

"Ponselmu sudah ketemu?" Nona Muda mendekatiku.

 

"Ini, Kak." Aku mengangkat ponsel dan memperlihatkannya.

 

"Baiklah." Nona Muda menoleh ke arah Maya yang merebahkan tubuh sembari menatap layar gawai. "Kalian tunggu di sini! Aku ingin membeli makanan," imbuhnya memegangi gagang pintu dan menarik hingga tertutup rapat.

 

Aku berjalan ke ranjang. Ponselku mati, membuatku mencari colokan. 

 

"Kak Maya ..." panggilku.

 

Maya yang bangkit dari pembaringan menatapku. "Ada apa, Dik?" 

 

"Aku harus mengisi daya ponsel," ungkapku.

 

Ia mengusap dada dan menghela napas. Aku ingin bertanya, mengapa ia terkejut walau dengan satu panggilan seperti tadi? Namun aku belum berani. Ia meraih alat pengisian daya beserta gawaiku dan mencoloknya di dekat  meja rias.

 

"Kau butuh ponsel? Bisa gunakan milik Kakak dulu." Maya mengulurkan gawainya ke arahku saat ia kembali ke pembaringan.

 

"Tak perlu, Kak. Terima kasih! Aku bisa menunggu sampai dayanya penuh," tolakku berusaha lembut.

 

Ia berbaring di dekatku. Sementara aku hanya bersandar di bahu ranjang. Wajahnya tampak tak tegang saat ia tersenyum membaca sesuatu. Sesekali ia menutup bibir menahan ketawa.

 

Aku selalu tak sengaja melihatnya tiap ia bergerak sembari berbicara melalui ponsel.

 

Tak lama, Nona Muda membuka pintu dengan kantung plastik di tangan. Ia menaruhnya di atas meja depan sofa merah muda.

 

"Dik ... sini kita makan!" panggil Nona Muda tersenyum ke arahku. Sementara Maya masih berbicara pada orang di dalam ponsel.

 

"Kak Maya, tidak ikut makan?" tanyaku pada Maya, tetapi ia hanya menggerakkan tangan seolah berkata tidak. Aku pun beranjak ke arah Nona Muda yang sudah membuka dua kotak makanan.

 

"Maya kenyang makan cinta, Dik," ucap Nona Muda menggeser kotak makan di depanku. "Makanlah!" suruhnya sembari menjempit rambut di telinga.

 

"Kak Maya ...." Aku masih memandangi Maya yang masih tertawa kecil di pembaringan.

 

Nona Muda menggelengkan kepala sembari mencicipi suapan pertama. "May ... ayo makan!"

 

"I-iya, Ri, tunggu." Maya pun menutup telphone. Ia bergegas bergabung dengan kami. "Bagianku mana, Ri?" Maya memeriksa kotak yang masih tertutup.

 

"Kakak, hanya membeli 3 kotak?" tanyaku pada Nona Muda. Aku teringat pada Nyonya besar karena tak ada orang yang memasak.

 

"Kita memang bertiga, bukan?" tanya Nona Muda meraih botol air.

 

"Ibu Kakak, sudah makan?" Aku memandangi wajah Nona Muda yang diusap tissue.

 

"Kau tidak perlu pikirkan itu. Kebutuhan Ibuku selalu terpenuhi." Nona Muda melanjutkan makan, begitu pula aku yang membalas dengan anggukan kepala. Namun, raut wajah Maya kembali datar, ia menunduk dan menyuap pelan.​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status