Share

Napas

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 20:00:18

Dentum kaki terdengar dari sela bawah pintu. Aku mencoba membuka mata, tetapi sangat perih. Pintu terbuka, mengenai kepalaku karena posisiku berbaring di belakang.

 

Nona Muda terbatuk, ia langsung menarikku keluar dari kamar. Aku hanya bisa menutup mata dengan napas sesak.

 

Tangan Nona Muda menarik lenganku melingkar ke lehernya. "Aku akan bawa kau ke Rumah Sakit," katanya menggiringku ke arah pintu utama. Samar-samar aku melihat Nona Muda dengan mata memerah.

 

Ingin kubertanya, siapa yang melakukan semua ini. Lalu, suara wanita yang menyuruhku pergi, itu siapa. Namun, aku hanya bisa memegangi dada nyeri akibat asap tadi.

 

Nona Muda membuka pintu mobil, ia menaruhku di kursi depan. Aku berusaha bersandar nyaman. Sesekali menoleh ke wajah Nona Muda, ia tampak mengusap air mata di pipi. Apakah ia menangisiku? Atau karena asap itu yang membuatnya perih? Tetapi ia hanya sebentar di sana.

 

"Tetaplah bernapas, Dik." Jemari Nona Muda terasa sangat dingin mengepal tanganku yang  lemah di paha.

 

Ucapan Nona Muda begitu tulus dan aku bisa merasakan kekhawatirannya. Seolah-olah aku akan mati.

 

"Kakak ... aku baik-baik saja," ungkapku menenangkannya. Tak tega melihat ia panik. Sesekali ia menggigit jarinya. Nona Muda yang anggun dan lembut itu menjadi sangat pucat berhamburkan peluh dan air mata.

 

Nona Muda mengangguk, ia menyapu rambutku tanpa penutup. "Kau pasti akan baik-baik saja. Aku tak sanggup mengulanginya," sahutnya tanpa melenyapkan raut kecemasan.

 

Aku semakin bingung dengan keadaan Nona Muda. Jari-jarinya sampai berdarah ia gigit. Hingga kami tiba di depan Rumah Sakit.

 

Buru-buru ia keluar dan membuka pintu mobil untukku. Ia memelukku erat, perasaanku menjadi aneh karena tak pernah ia bersikap seperti itu sebelumnya.

 

Aku terus mengikuti. Tiba di salah satu ruangan, dokter memeriksaku. Alat pernapasan dikenakan ke wajahku. Menutup hidung dan juga mulut. Dadaku sedari tadi tak teratur napas, menahan sakit.

 

***

 

"Kau siapa?" Kubuka mata lebar-lebar saat melihat seorang wanita tampak seumuran dengan Nona Muda. 

 

"Aku sahabat Nona Muda," jawabnya tersenyum. Aku memerhatikan rambut lurus yang terurai. Dengan titik lesung pipi di sebelah kanan.

 

"Dimana Nona Muda?" Aku mengamati pintu di sisi kiri. 

 

"Dia pulang di rumahnya. Kau tak perlu takut. Aku diminta menjagamu." Ia meraih segelas air di meja dekat pembaringan. "Minumlah!" 

 

Aku berusaha bangkit untuk sekedar bersandar, tetapi tubuhku masih lemah. Gadis itu membantuku minum.

 

"Kakak, sering ke rumah Nona?" Aku terpaksa memberanikan diri untuk bertanya karena rasa penasaranku tak mampu kubendung.

 

Ia menatapku lebih dalam beberapa saat. "Dulu ... aku sering berkunjung."

 

"Sekarang bagaimana? Kakak, tidak pernah lagi?" Berusaha aku meneliti netranya, apakah ia sedang menyembunyikan sesuatu.

 

"Kita sering main di luar rumah, apalagi banyak tugas kuliah. Jadi, kita sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya di saat kita luang atau ada hal sangat penting. Kau paham?"

 

Aku mengangguk pelan. "Nona sudah menceritakan kejadian semalam?"

 

Gadis itu menarik napas dalam. "Sudah."

 

"Mengapa ada wanita yang menyuruhku pergi, Kak?" Tak sengaja aku bertanya tanpa memikirkan siapa yang berada di hadapanku.

 

"Wanita?" Matanya membulat sesaat.

 

"Iya ... waktu asap itu menebal, ada wanita yang menyuruhku pergi. Aku akan mati katanya," ujarku tanpa sungkang lagi. Yakin, suara-suara yang menganggu atau mengusir adalah wanita.

 

"Aku .... " 

 

Nona Muda membuka pintu hingga ucapan sahabatnya terpotong. 

 

"Bagaimana perasaanmu sekarang, Dik?" tanya Nona Muda mengusap kepalaku. Jemarinya yang berdarah semalam telah diperban.

 

"Aku baik, Kak," jawabku singkat. "Kapan aku bisa pulang? Aku tak bisa berlama-lama di sini," keluhku karena tak sanggup melihat orang sakit berdarah yang bisa saja berpapasan dengan kami. Rumah sakit tempat menyeramkan.

 

"Kita bisa pulang hari ini, atau lusa." Nona Muda membuka tas dan mengeluarkan kain penutup kepalaku berwarna hitam. "Ini kerudungmu," imbuhnya membantuku mengenakannya.

 

"Terima kasih, Kak!" Sekilas aku memerhatikan wajah Nona Muda yang masih sembab.

 

"Kau tak perlu lagi tidur sendirian. Kau bisa tidur di kamar Kakak," ucapnya tersenyum. Sementara gadis berambut terurai tadi tampak menelan saliva dan menunduk. "Maya juga akan menginap di rumah, bukan?" tanya Nona Muda pada sahabatnya itu.

 

"Te-tentu," jawabnya gugup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status