“Welcome to my humble home. Masuk saja. Tak usah malu-malu seperti itu.” Ujar James dengan ramah mempersilahkan Alex masuk ke dalam apartemennya.
Alex masuk ke dalam apartemen yang untuk ukuran laki-laki single sangat sangat rapi sekali. Tata ruangannya memberikan kesegaran yang modern dan maskulin. Luasnya tiga kali lipat lebih besar dari flat miliknya. Di sudut utara, ada sofa panjang berbentuk L bewarna abu-abu tua, temboknya di pasang empat persegi lukisan abstrak hitam putih singa, zebra, gajah, dan serigala. Beyond majestic and looking expensive in her eyes.
Di depan sofa, terdapat furniture meja bulat oval dengan kaca bening dengan tumpukan buku dan majalah yang sedikit berantakan. Bersebrangan dengan sofa terdapat flat screen TV super besar di atas credenza. Dekat dengan jendela kaca yang memanjang yang memperlihatkan indahnya sungai Thames di malam hari. What a breathtaking view.&n
Ada hal-hal remeh yang akan membuat hidup menjadi kalang kabut. Pertama, saat ia sangat takut bahwa tangannya tidak akan sampai untuk menangkap Alex yang akan segera jatuh ke jalan. Kedua, adalah hal yang sekarang James alami. Tanpa pikir panjang, melihat Alex yang basah total membuat James ingin membawanya kemanapun untuk segera mengganti baju basahnya. Ia segera inisiatif untuk kembali ke flat-nya karena memang jarak rumahnya lebih dekat dibanding dengan rumah Alexandra. Awal mulanya, ia tidak ada berpikiran apa-apa. Ia murni membawa Alex ke rumahnya agar wanita itu bisa segera berganti baju agar tidak sakit. Sampai melihat Alexandra dengan baju miliknya yang kedodoran dan berjalan-jalan malu kecil di atas lantai kayu ek flatnya. Sepertinya memakai baju (biarpun itu hanya sweater dan sweat pants yang sudah lama tak terpakai) miliknya oleh Alexandra memiliki efek yang luar biasa terhadap lelaki itu. Keingina
Alex sedang mengetik lincah untuk editorial essay.[1] Bukan main job-nya, melainkan tugas Bob. Alex hanya bertugas untuk mengawasi apa yang akan ditulis di editoral essay, tetapi Alex memang suka menulis. Jadi, tiap bulannya ia akan memeriksa tugas Bob dan menambahkan apa yang kurang untuk ditambahkan. Bunyi ketikannya di keyboard sangat cepat, hingga jika Macbook Air-nya bisa berbicara Jangan siksa aku, mbak. Ampun ohok... ampun... Sambil terbatuk-batuk keras dan memohon Alex untuk tidak terlalu mengeksplotasi dirinya sampai berdarah-darahnya seperi ini.“Kau serius sekali.” Ucap Mira sambil membawa hot chocolate dan diletakkan di meja Alex.“Hmm.” Balas Alex sambil mengumamkan, tidak memelankan kecepatan mengetiknya.“Kau lagi ngerjain apa sih?”“Biasa, editorial essay.”“Lex, bulan ini target sales kita sudah melewati target. Dan
Hamparan angin malam menerpa wajah James. Ia sedang berdiri dengan satu tangannya menyangga dagunya di senderan balkon, memandang Sungai Thames yang terletak di depan persis apartemennya. Terakhir, ia melihat pemandangan ini bersama dengan wanita cantik berambut panjang dengan beberapa helai rambutnya di terpa angin, memakai baju kedodoran milik James, dengan mata berbinar kagum melihat panorama menakjubkan ini.Sudah hampir dua minggu ini, ia terakhir bertemu dengan Alexandra. Dengan jadwal latihan yang semakin padat, Roland Garros hanya berjarak seminggu lagi. James sama sekali tidak bisa mencuri waktu untuk menemui wanita itu. Ia ingin mengabari lewat whatsapp, tapi ia tidak tahu apa yang akan ia katakan. Karena bingung, akhirnya ia memutuskan untuk stalking Alex di media sosial. Ia mencari namanya di google. Artikelnya tidak terlalu banyak hanya kilasan interview Bijou dan berbagai media berita fashion lainnya. James melihat vi
Perasaan hangat menjalar ke seluruh tubuh James saat ia melihat senyuman kecil Alexandra terhadap dirinya. Hari ini Alex mengenangkan atasan cap sleeves bewarna hitam dipadukan dengan jaket leather black dan rok merah crimson panjang ¾ di atas kaki dengan potongan rumbai sederhana seperti selada membuatnya terlihat feminim. Astaga, dia makhluk tercantik yang pernah James lihat. Atau karena semakin melihatnya, matanya semakin bias. Seakan memakai filter Instagram yang ada bentuk hatinya.“Heh. Aku tak menyangka kau suka nonton film animasi Disney.” ledek Alex.“Loh kenapa memang? Moral message-nya bagus loh. Dan itu tidak mengurangi kemachoanku.” Balasnya dengan bangga.Alex pun tersenyum dan tertawa kecil.“You look more beautiful when you smile like that.” Ucap James dengan tulus.“Haha. Gombal saja terus.” Balas Alex sedikit gelagapan.
Pagi itu, kepala Alex seperti di hantam oleh palu Thor. Kepalanya sangat berat, mulutnya pahit, badannya sudah seperti makan es campur lalu langsung makan sup panas. Ia memberisut dan membuat bungkusan rapat dengan selimutnya. Alex sudah mengabarkan Mira kalau hari ini ia tidak masuk kerja. Mira terlihat khawatir saat di teleponnya,“Kau tidak apa-apa? Aku akan langsung ke tempatmu, sekarang.” ujar Mira dengan nada khawatir lagi.“Tidak usah. Kau di kantor saja. Hari ini aku tidak ada urusan yang urgent kan?” tanya Alex dengan suara serak.“Tidak ada. Kau sudah minum obat?”“Sudah. Tenang aja kenapa sih.”“Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan bawakan bubur kerumahmu setelah pulang kantor. Istirahat Lex, jangan main laptop.” Mira memperingatkan.“Kaay. Kutunggu. Mir, juga tolong titip makanan Mochi ya. Sudah habis, hanya sampai stok nanti siang.” Ujar Alex sambil
Cuaca Perancis sangat di pengaruhi oleh arus Lautan Atlantik. Tekanan arus sedang rendah maka akan mengakibatkan cuaca dingin dan hujan. Sebaliknya jika angin dari timur berhembus, hasilnya cuaca hangat pun muncul dengan gembira, seperti pagi ini yang terjadi di Paris. Awan-awan gelap sisa gerimis kecil kemarin sudah hilang di gantikan dengan matahari yang bersinar dengan cerah.Pagi ini, James merentangkan kedua tangan ke atas sambil melihat Eiffel Tower yang terlihat dari balkon hotelnya. Ia merasa fisiknya sedang sangat fit. Saat menyelesaikan latihan tertutup dengan Steven Argryos kemarin siang, ia merasa sudah siap untuk kembali ke lapangan. Setelah fist bump dengan Argryos datanglah Nole Jovanovic ke arahnya.“Sudah lama tidak melihat tingkah seperti ini di lapangan.” Sanggah Nole Jovanovic tertawa.“Jovanovic! Kau latihan juga hari ini?” tanya James melihat atlet yang memegang peringkat pertama di dunia teni
Durasi pertandingan James kali ini ialah kurang dari tiga jam. Simon memang kuat, tapi belum bisa mengalahkan kemampuan mantan ranking nomor lima di dunia ini. Setelah interview wajib after match, ia langsung meminta ponselnya ke pelatihnya. Segera, ia menekan tombol telepon. Satu sampai empat dering, si penerima telpon belum mengangkatnya. James melirik jam di smartphone, sudah waktunya lunch. Harusnya wanita itu sedang tidak sibuk. Akhirnya setelah dua dering lagi, wanita tersebut mengangkatnya. “Hel..” terdengar suara batuk, lalu melanjutkan “Hello.” Suara wanita itu sangat serak. Apakah dia sedang sakit? Batinnya cemas. James menutup panggilan telepon dan langsung memilih opsi video call. Langsung diangkat oleh Alexandra. “Are you sick?” tanyanya khawatir melihat muka pucat Alex dengan rambut di cepol ke atas yang berantakan. Wanita itu terlihat baru bangun tidur. “Oh. Nothing much. Nanti juga
Mata Alex sekarang benar-benar terbuka. Dirinya sudah tak mengantuk lagi. Setelah menerima video call singkat dengan James. Ia merasakan kemarahan yang terselip di balik nada James yang monoton itu. Malah tadi sambungan terputus karena baterai ponselnya habis. Hhhh.Alex melihat atap dinding di atasnya, gantungan lampu two tier light brass chandelier yang tergantung di tengah ruangan. Kristal tersebut terlihat berkelap-kelip membiaskan cahaya matahari ke seluruh ruangan. Alex berbalik ke kiri dan melihat sekilas pemandangan yang ia lihat setiap hari melalui sash window-nya. Bagus. Sekarang Alex benar-benar merasa bersalah karena tak memberitahu dirinya sedang sakit. Kenapa? Simply because she didn’t want to be look at when she’s indeed a vulnerable one. Dirinya seakan belum ingin James untuk melihatnya sedang rapuh. Sakit juga berarti rapuh, ya kan?Alex mengguling-gulingkan dirinya seperti sosis yang di pa