Share

Chapter 7

Keesokan harinya, pukul 08:15 pagi. Aku dan Layla berada di kantor Kapten. Entah apa alasannya memanggil kami untuk datang ke kantornya sepagi ini.

"Layla, Trystan, apa kalian tahu kenapa saya memanggil kalian kemari?" tanya Kapten sambil melipat tangannya di atas meja. Kami menggelengkan kepala bersamaan. 'Bagaimana kami bisa tahu kalau dia tidak memberitahukannya terlebih dahulu?'

"Sebentar lagi saya akan menghadiri sidang Treis." Kapten menjawab sendiri pertanyaan yang ditanyakannya. Sidang Treis, sesuai namanya yang berarti pertemuan yang akan dihadiri oleh semua anggota Treis.

"Selain itu, kamu akan ikut bersama dengan saya, Trystan," lanjut Kapten sambil menatap ke arahku, aku tersentak kaget bercampur heran. 'Kenapa aku juga harus menghadiri sidang itu? Apa aku melakukan kesalahan? Itu bukan sidang untuk mengeksekusi aku, kan?'

"Jadi, saya harap kamu dapat mengawasi tempat ini selama kami pergi, Layla," tambah Kapten kepada Layla.

Layla yang duduk di sebelahku mengangkat tangan kanannya ingin mengutarakan pendapatnya. Kapten menganggukan kepalanya mempersilakan dia untuk berbicara.

"Maaf, sepertinya saya tidak dapat menjalankan amanat Kapten," tolaknya dengan sopan. Kapten terdiam, heran tidak menyangka salah satu orang kepercayaannya akan menolak perintahnya, padahal biasanya dia selalu menaati kehendaknya.

"Mengapa kamu tidak dapat melakukannya?" tanya Kapten dengan ekspresi serius.

"Saya ingin ikut bersama Kapten ke Istana Putih untuk bertemu dengan Nona Tabella. Ini masalah personal sehingga saya tidak dapat memberitahukannya kepada Kapten," jawab Layla beralasan. Kapten menganggukkan kepalanya mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut.

Nona Tabella adalah wanita berambut ungu magenta dan bermata biru cerah yang selalu muncul di kenangan burukku. 'Untuk apa dia mau bertemu dengan Nona Tabella? Ah, apa ini menyangkut tentang rencananya melepaskanku dari kontrak Treis?'

Terdengar bunyi ketukan pintu sebanyak 3 kali lalu terdengar suara asisten Kapten mengingatkan atasannya akan jadwalnya. "Kapten, waktu tersisa 1 jam sebelum sidang Treis dimulai."

"Ya, saya akan segera keluar." Kapten bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar. Kami pun mengikutinya dari belakang.

Setengah jam berlalu, tibalah kami di tempat tujuan, Istana Putih, istana pemerintahan negara sekaligus tempat kediaman resmi pemimpin Treis. 

Tembok beton bercat putih mengelilingi area ini dan sebuah gerbang bercat emas menghalangi jalan kami. Dua orang berseragam biru navy menghampiri kendaraan yang kami tumpangi.

Kapten menurunkan kaca jendelanya dan menyodorkan tanda pengenalnya. Penjaga gerbang menganggukan kepalanya lalu mendorong pintu emas itu hingga terbuka lebar.

Begitu melewati gerbang tadi, tampak taman yang sangat luas di bagian dalam area ini. Pohon-pohon yang daunnya dipotong membentuk segitiga tertata rapi di sisi kiri dan kanan jalanan.

Tidak hanya itu, di taman ini juga ada gazebo putih yang sangat indah, patung lambang negara yang terbuat dari emas, dan kolam air mancur dengan patung seorang wanita yang mencurahkan air dari tempayan di tangannya.

Melihat kemegahan taman ini membuatku berpikir, 'Sepertinya sebagian besar uang pajak dialokasikan untuk pembangunan tempat ini, ya? Bukan untuk memeratakan pembangunan.'

Sampailah kami di depan sebuah bangunan putih yang sangat besar dan mewah. Kendaraan beroda empat ini dihentikan di depan pintu masuk bangunan itu. Kami ber-3 menuruni sedan hitam ini sedangkan supir dan asisten Kapten tetap tinggal di dalam mobil. Kami pun berjalan memasuki Istana Putih.

Seisi bangunan ini berwarna putih dari dinding, lantai, langit-langit ruangan, dan perabotannya. Kami melewati lorong yang sangat lebar dan panjang hingga sampailah kami di ruang yang dituju.

Pintu putih setinggi 3 meter berdiri di depan kami. Terdapat ukiran emas pada kusen pintu. Kapten memegang gagang pintu yang juga berbahan dari emas lalu mendorongnya hingga terbuka lebar.

Tampak ruangan yang serba putih dengan sebuah meja bundar di tengah-tengahnya. Penampakan yang sudah lama tidak kulihat. Terdapat dua orang lainnya yang tiba lebih dulu daripada kami. Mereka duduk di meja itu.

"Akhirnya kalian datang juga, tapi kenapa Layla ada bersama kalian?" tanya pria berambut merah jambu dan mengenakan mantel lab putih, Prof. Horatius Maui Zurvan. Ia adalah ketua Asosiasi Arte. Selain itu, dia juga merupakan orang yang merawatku dan Layla sejak kami kecil.

"Ada yang perlu saya bahas dengan Nona Tabella," jawab Layla sambil tersenyum sopan kepada Prof. Horatius.

"Membahas sesuatu denganku?" heran wanita berambut ungu magenta yang mengenakan gaun halter navy, Nona Tabella Lex Coangusto. Ia adalah pemimpin Treis. Meskipun 'Arte'-nya tidak sekuat milik Kapten maupun Prof. Horatius, tetapi kekuatannya sama sekali tidak dapat diremehkan.

"Benar, bolehkah saya meminjam waktu Anda sebentar? Ini keperluan mendesak," pinta Layla dengan raut muka memelas membuat Nona Tabella tersenyum kepadanya.

"Saya tak masalah jika tidak terlalu lama." Nona Tabella berdiri dari kursinya. Dia menoleh ke arah anggota Treis lainnya.

"Kami juga tidak masalah, pergilah." Kapten dan Prof. Hora memberi izin lalu Nona Tabella menoleh ke arah kami.

"Ayo kita pergi ke tempat yang lebih nyaman untuk berbicara," ajak Nona Tabella yang berjalan ke arah kami. Layla menarik tanganku untuk pergi mengikutinya.

Mungkin hanya perasaanku saja, sepertinya aku merasakan perasaan yang mengancam dari Nona Tabella yang berjalan di depan kami. 'Yah, tidak heran karena dari dulu dia memang tak suka denganku.'

Kini kami berada di suatu ruang tertutup yang berukuran lebih kecil daripada ruangan sebelumnya. Terdapat 3 sofa bludru putih dan sebuah meja kaca di tengah-tengah ruangan ini; kabinet dan lemari putih di setiap sisi dinding. Tampaknya ini adalah ruang tunggu.

Nona Tabella membalikkan badannya dan menatap kepada kami berdua lalu bertanya, "Jadi apa yang ingin kamu bahas?"

Layla tersenyum dan menjawab pertanyaan wanita itu. "Batalkan kontrak pada Trystan." Aku terkejut mendengar jawabannya yang terdengar seperti sebuah perintah.

"Baiklah," ucap Nona Tabella menyetujui perkataan Layla. 'Hah?! Dia mengiyakannya semudah itu?! Kupikir dia akan berkoar-koar tentang seberapa berbahayanya diriku kalau tidak dikekang oleh kontraknya.'

Nona Tabella menjentikkan jarinya. Seketika itu juga, tulisan yang menempel di leherku memancarkan cahaya yang sangat terang sampai-sampai membutakan mataku selama sesaat.

Setelah cahaya itu redup, aku dapat kembali melihat dan merasakan seperti suatu beban menghilang dariku. 'Apa kontraknya sudah dibatalkan?' Aku menengok ke arah Layla, dia menganggukkan kepalanya menjawab rasa penasaranku.

"Uh ... apa ini? Kenapa kontrak Trystan terbatalkan?" gumam Nona Tabella sambil menatap jemari tangan kanannya. Dia tampak seperti orang ling lung. 'Kenapa dia malah heran begitu? Bukannya dia sendiri yang mencabut mantranya?'

Layla menggenggam tangan kanan Nona Tabella lalu menatap mata biru cerahnya dan berkata, "Lupakan apa yang baru saja terjadi dan tidurlah."

Tubuh Nona Tabella ambruk ke atas lantai keramik putih. Dia tersungkur di permukaan lantai yang dingin ini. Suara napasnya terdengar teratur seperti orang tidur.

"Layla, apa yang baru saja terjadi?" tanyaku kebingungan, tidak mengerti situasi apa ini sebenarnya.

"Shh, simpan pertanyaanmu untuk nanti. Lebih baik kita segera pergi dari sini." Layla meletakkan jari telunjuknya pada bibirku lalu menarik tanganku mengikutinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status