Share

Chapter 6

Beberapa hari telah berganti sejak salah seorang anggota Fylax menyerang kami. Hari-hari berlalu jauh lebih damai daripada sebelumnya karena tidak banyak kasus yang ada untuk ditangani oleh kami.

Aku sedang dalam perjalanan menuju ruang referensi untuk menyimpan berkas kasus penyerangan beberapa hari yang lalu.

Kugenggam kenop pintu dan kudorong tetapi pintunya tidak dapat terbuka. 'Apa ini? Tidak biasanya ruangan ini terkunci. Jangan-jangan ada penyusup lagi?'

Aku mendengar bunyi langkah kaki dari dalam, bunyi itu semakin mendekat ke arah pintu ini.

Terdengar suara kunci diputar. Pintu terbuka menampakkan sosok yang ada di dalam ruangan tersebut. Wanita bersurai perak dan bermanik biru pucat.

"Layla? Sedang apa kamu sampai-sampai mengunci pintu?" tanyaku heran.

"Kamu sendiri untuk apa ke sini?" Dia malah bertanya balik padaku. 'Setidaknya jawab dulu pertanyaanku, bukannya langsung balik bertanya.'

"Aku mau menyimpan berkas kasus beberapa hari yang lalu." Aku menunjukkan kumpulan kertas yang ada di tangan kiriku. Layla hanya ber oh ria.

Dia menyingkir dari hadapanku, memberikanku jalan untuk masuk. Layla tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya membuatku mengerutkan alisku. "Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku."

Dia hanya berdiri sambil melipat tangannya di dada, tidak mengatakan sepatah kata pun. Kuhembuskan napas pasrah dan memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan yang berisikan ratusan dokumen milik Custodia.

Kumasukkan berkasku ke dalam rak yang bertuliskan "Fylax", lemari tanpa pintu yang berisikan informasi dan kasus-kasus mengenai kelompok itu.

Suara Layla memecahkan keheningan di tempat ini. "Trystan, ayo kabur dari sini."

'Aku tidak salah dengar, kan? Layla mengajakku kabur?' Aku menatapnya dengan tatapan heran. "Apa maksudmu, Layla?"

"Ayo kita kabur dari Treis." Dia memperjelas ajakannya. 'Kabur dari Treis katamu? Candaanmu itu tidak lucu, Layla.'

Hening, pembicaraan ini terhenti sampai di situ saja. Kami hanya berdiri diam di ruangan yang dipenuhi oleh rak dan lemari di tiap sisi dindingnya.

"Kenapa? Bukannya selama ini kamu ingin lepas dari mereka?" Pertanyaan itu bagaikan palu yang menghantam kepalaku. 'Ya, kamu benar, dari dulu aku memang sangat ingin lepas dari mereka, tapi melakukannya tidak semudah memimpikannya.'

Aku mengangkat kedua tanganku ke kerah kemeja putihku. Kulonggarkan dasi hitamku dan melepaskan 3 kancing teratas sehingga leherku tampak lebih jelas.

"Kamu lihat tanda ini? Tanda ini merupakan kontrak yang mengikatku kepada Treis." Aku menunjuk mantra sihir yang melingkar di leherku. Matanya melebar melihat tulisan putih yang menempel di leherku.

"Kalau aku melawan kehendak mereka, termasuk mencoba kabur dari mereka, aku akan kehilangan nyawaku," lanjutku sambil tersenyum getir.

Layla mengayunkan kakinya mendekatiku. Dia mengangkat tangan kanannya dan menyentuh tulisan putih yang menempel di leherku.

"Kenapa mereka bisa sekejam ini ...?" tanya Layla dengan suara kecil. Tatapan matanya memancarkan kesedihan dan rasa iba terhadapku.

"Sudah pasti karena mereka takut terhadap kekuatanku. Manusia pasti akan berusaha menyingkirkan apa saja yang berpotensi membahayakan mereka, kan?" jawabku dengan sedikit bumbu sindiran.

Kugenggam tangannya yang lebih kecil daripada tanganku dan menurunkannya dari leherku. Kurasakan tangannya bergetar, entah itu karena terkejut atau marah.

Tiba-tiba kedua tangan Layla menggenggam tanganku dengan erat lalu menatapku dengan lekat. "Kali ini aku yang akan menolongmu, aku pasti akan membebaskanmu dari Treis," ucapnya dengan penuh keyakinan.

Aku terdiam mendengar ucapannya barusan. "Kamu akan membebaskanku dari kekangan mereka? Apa kamu bisa memegang perkataanmu itu?" tanyaku ingin memastikan kesungguhannya. Dia menganggukkan kepalanya tanpa ragu.

Air mata mulai menggenang di mataku. "Ya, tolong bebaskan aku." Aku memohon sambil menarik senyuman haru.

Wanita yang ada di depanku merentangkan kedua tangannya lalu menarikku ke dalam dekapannya. Tangannya menepuk-nepuk punggungku untuk menghiburku. Kubenamkan kepalaku di lekukan lehernya. Cairan hangat mulai mengalir membasahi pipiku. 'Akhirnya ada orang yang akan menyelamatkanku.'

Setelah mencurahkan emosi yang selama ini kupendam, aku dan Layla menikmati pemandangan kota di teras atap markas Custodia. 'Dunia ini begitu indah, ya? Juga begitu kejam.'

"Jadi, bagaimana kamu akan membebaskanku dari kontrak Treis?" Aku menyentuh leherku, dimana mantra sihir itu berada.

"Ra-ha-si-a, tapi kujamin pasti akan berhasil." Layla mengkedipkan salah satu matanya sambil cengengesan. Aku tersenyum kesal karena dia tidak mau memberitahuku, tetapi aku tidak akan memaksanya untuk memberitahuku.

Aku memalingkan wajahku dan mengadah ke langit biru yang sudah gelap, menandakan malam telah tiba. Cahaya dari jendela gedung-gedung tampak begitu indah bergemerlapan seperti kunang-kunang. Bulan yang menerangi langit malam tak kalah indah.

"Bulannya indah, ya?" Aku memandangi bulan yang hampir purnama itu. Layla menganggukan kepalanya setuju denganku, dia menatap satelit alami Bumi dengan tatapan sayu.

Beberapa saat berlalu, kurasakan sesuatu menyentuh bahu kananku. Ternyata itu Layla, dia menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kedua matanya tertutup rapat dan napasnya terdengar teratur. Aku tersenyum melihatnya yang ketiduran di bahuku. Kulingkarkan tanganku di pinggang rampingnya agar dia tidak terjatuh.

Waktu terasa melambat selama kami berada di balkon. Sudah lama tidak kurasakan kedamaian yang seperti ini. 'Seandainya kedamaian ini dapat bertahan lebih lama lagi atau bahkan tidak akan pernah berakhir, tapi sepertinya hadapanku itu sangat mustahil, ya?'

Kuputuskan untuk membawanya masuk ke dalam bangunan, takut dia akan sakit jika terlalu lama terpapar angin malam. Aku menggendongnya dan membawanya ke kamar asrama putri.

Kubaringkan dia di atas ranjangnya. Tak lupa kulepaskan juga sepasang sepatu dari kedua kakinya lalu kutarik selimut putih tebal untuk menutupi badannya.

"Mimpi indah, Layla," ucapku sambil mengecup keningnya sebelum beranjak dari tempatku dan meninggalkan ruangan ini. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan agar tidak membangunkannya.

Saat aku membalikkan badanku dari papan kayu itu, aku dikejutkan oleh sosok yang berdiri di balik punggungku. Sosok berjubah hitam dan topeng putih, Fylax. Dia muncul di waktu dan tempat yang tidak tepat.

Aku melirik ke kamar Layla lalu kembali menatapnya dengan tajam. "Ayo kita mengobrol di tempat lain," ajakku dengan nada dingin. Sebelum dia membalas ucapanku, kami sudah berada di dimensi kegelapanku.

"Apa maumu?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Bergabunglah dengan kami," ajaknya sambil menyodorkan tangan kanannya. Suaranya berbeda dengan orang yang menyerang kami waktu itu, suaranya seperti suara remaja laki-laki.

"Kalau aku tidak mau?" balasku dengan arogan. Dia terdiam untuk sejenak.

"Tak masalah, asal kamu tidak menghalangi jalan kami. Selama kamu tidak mengusik kami, kami juga tidak akan mengusik kamu," tuturnya dan langsung menghilang dari hadapanku.

'Ha! Sepertinya orang-orang Fylax kuat semua, ya? Waktu itu ada yang bisa menahan seranganku dengan es miliknya dan sekarang ada orang yang bisa keluar dari sini tanpa seizinku?'

Aku memutuskan untuk kembali ke dunia nyata. Ruang hampa yang gelap berubah menjadi lorong yang berada di depan pintu kamar Layla. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan asrama putri. Berjalan menuju tangga naik ke lantai 4, asrama putra.

Sesampainya di kamarku, aku melepaskan alas kakiku dan meletakkannya ke dalam rak sepatu. Jas hitamku kutanggalkan dan kugantung di gantungan baju yang menempel di dinding. Kuganti pakaianku dengan pakaian yang lebih nyaman untuk tidur.

Aku melangkah ke ranjangku dan merobohkan badanku di atasnya. Kutarik selimutku dan menutup kedua mataku, membiarkan tidur mendekapku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status