Share

Chapter 8

Sirene Custodia terdengar dimana-mana, padahal baru beberapa jam berlalu sejak aku dan Layla kabur dari Istana Putih.

"Sepertinya keluar dari Ibu Kota tidak akan semudah yang dipikirkan," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini aku dan Layla sedang bersembunyi di gang kecil yang cukup jauh dari istana pemerintahan.

Jalanan di luar sana dilalui oleh kendaraan-kendaraan milik Custodia yang melaju dengan cepat. Mereka mencari-cari kami lewat jalanan besar. Untunglah mereka belum mencari sampai ke jalanan kecil atau gang.

"Tidak ada pilihan lain, ayo kita lewat gang ini saja," ajak Layla yang terdengar terburu-buru. Aku menengok ke kiriku, melihat jalan kecil yang tidak kutahu akan mengarahkan kami kemana.

Kuhembuskan napasku lalu membalasnya. "Ya sudah, ayo." Kami berjalan memasuki jalanan yang hanya selebar 3 meter ini.

Suara sirene terdengar semakin menjauh seiring kami berjalan semakin ke dalam perlintasan sempit ini. Kuharap mereka terus mencari kami di jalan raya, jangan sampai mereka mencari kami di gang-gang kecil seperti ini.

"Ngomong-ngomong, apa yang tadi kamu lakukan kepada Nona Tabella?" tanyaku penasaran.

"Aku menggunakan 'Arte'-ku untuk membuatnya menuruti perintahku," jawab Layla yang berjalan di depanku, dia tidak membalikkan badannya untuk menatap lawan bicaranya.

"Bukannya 'Arte'-mu itu membaca pikiran?" Aku bertanya heran. Selama ini dia hanya pernah membaca pikiran saja. Baru kutahu ternyata dia juga dapat mengendalikan pikiran orang lain.

"Itu termasuk salah satu kekuatanku, sebenarnya 'Arte'-ku adalah manipulasi mental," ungkap Layla sambil tersenyum bangga. 'Benar juga. Tidak mungkin dia termasuk pemilik 'Arte' berisiko tinggi kalau hanya bisa membaca pikiran saja.'

Layla menyesuaikan laju langkahnya agar dapat berjalan beriringan denganku. Kami berjalan tanpa mengatakan apa-apa lagi karena tidak tahu topik apa yang akan dibahas.

Aku memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi. "Kemana kita akan pergi setelah keluar dari Ibu Kota?" Kupandang wajah Layla yang berjalan di sisi kiriku.

Dia tampak berpikir dengan keras sebelum menjawab pertanyaanku. "Bagaimana kalau kita ke utara?" usul Layla yang juga menanyakan pendapatku.

'Utara ya, pilihan yang cukup bagus. Wilayah itu selalu bersalju dan jauh dari Ibu Kota sehingga mereka pasti akan kesulitan untuk mengejar kami di sana. Jadi, wilayah utara bisa dibilang sebagai tempat yang bagus untuk bersembunyi.'

"Aku tak masalah. Kemana pun kamu pergi, aku akan tetap mengikutimu," balasku yang setuju dengan usulannya. Layla tersenyum puas mendengar balasanku.

"Sekalipun itu ribuan mil jauhnya?" tanya Layla yang terdengar seperti mengujiku.

"Ya, aku akan tetap mengikutimu," jawabku yakin sambil tersenyum kepadanya. Dia berdehem mendengar jawabanku.

"Biarpun begitu, kamu jangan tetap mengikutiku kalau aku masuk ke jurang," candanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa bersama dengan dia.

Mendadak aku merasakan ada beberapa orang yang sedang mengawasi kami. Kuhentikan langkahku membuat Layla ikut menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Layla heran karena aku tiba-tiba menghentikan langkahku. Aku meletakkan jari telunjukku pada bibirku memberi isyarat untuk jangan bersuara. Dia menganggukan kepalanya mengerti.

Aku memperhatikan sekeliling kami. Sunyi, sepi, dan hening. Hanya ada bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri kami. 'Ini buruk, mereka yang posisinya di tempat yang lebih tinggi akan lebih diuntungkan.

'Layla, kita akan berlari dalam hitungan ke-3.' Aku melihat dia menganggukan kepalanya sekali lagi. 'Baguslah. Kalau begitu, aku akan mulai berhitung. Satu, dua, tiga!'

Kami beranjak dari tempat ini, mengambil langkah seribu. Terdengar suara tembakan mengikuti kami dari belakang. Beberapa tembakan meleset nyaris mengenai kepalaku. Nyaris saja aku kehilangan kepalaku.

'Layla, kupikir akan lebih baik kalau kita masuk ke dalam bangunan,' usulku dalam hati karena takut para sniper itu bisa mendengar rencana kami.

Layla menganggukkan kepalanya lalu menggandeng tanganku dan menarikku masuk ke dalam sebuah gedung yang sangat besar di sisi kirinya.

Hiruk-pikuk penuh kehidupan menyeliputi bagian dalam bangunan ini. Orang-orang berkerumun untuk melihat-lihat barang yang dipajang. Sepertinya gedung ini merupakan pusat perbelanjaan.

"Ayo kita ke sana," ajak Layla yang masih menggandeng tangan kiriku lalu menyeretku memasuki suatu tempat.

Pakaian-pakaian modis terpajang rapi dan ada beberapa manekin yang berdiri di etalase. Karyawan toko busana menyambut kami dengan ramah. Sepertinya mereka masih belum tahu jika kami adalah buronan yang sedang dicari-cari oleh Custodia.

"Kamu pilihlah pakaianmu sendiri. Kalau sudah, tunggu saja di dekat kasir. Aku mau pilih pakaianku dulu," perintah Layla sambil menunjuk area pakaian perempuan. Aku mengiyakan perintahnya dan berjalan menuju area pakaian laki-laki.

Kuambil sebuah kaus hitam, jaket denim biru pucat, dan jeans denim biru gelap lalu kubawakan 3 pakaian itu ke kasir untuk membayarnya.

"Totalnya 280 Moneta, ada lagi yang ingin ditambahkan, Tuan?" tanya wanita yang berprofesi sebagai kasir.

Aku melirik ke kananku, melihat beberapa topi baseball terpajang di rak kayu. Kuambil salah satu yang berwarna hitam lalu memberikannya kepada kasir.

"Ditambah topi totalnya menjadi 295," ucap wanita itu. Kukeluarkan sebuah dompet dari saku celanaku dan menyodorkan 3 lembar uang kertas yang masing-masing bertuliskan angka 100 kepadanya.

Wanita itu mengambil uangku dan memasukkannya ke dalam rak meja. Dia mengemas pakaian yang kubeli ke dalam tas kain, tak lupa ia juga mengembalikan 5 Moneta kepadaku.

Masuklah aku ke dalam ruang ganti pria dan mengganti pakaianku. Kumasukkan pakaian lamaku ke dalam tas kain lalu keluar dari ruangan ini.

Aku menunggu Layla di dekat meja kasir sambil melihat-lihat perhiasan yang dipajang di rak kaca. Terdengar suara langkah kaki mendekatiku dari belakang. Aku membalikkan badanku dan melihat sosok yang menghampiriku, Layla.

"Aku tidak membuatmu menunggu lama, kan?" tanyanya sambil tersenyum manis.

"Tidak kok," jawabku singkat. Aku terpukau melihat penampilan Layla yang berubah total.

Dia tampak sangat berbeda dengan pakaian kasual. Baju turtleneck hitam, rok biru gelap bermotif kotak-kotak, cardigan cokelat, dan boots hitam. Topi kupluk krem yang dikenakannya membuatnya tambah imut.

Layla berdehem membuatku tersadar dari lamunanku. Rona merah mulai nampak di pipinya. "Ayo kita pergi dari sini sebelum mereka datang," ajak Layla yang melangkah mendahuluiku.

Kami berjalan menuju pintu keluar, yang jelas bukan dari tempat kami masuk sebelumnya. Sebelum keluar dari gedung ini, kami membuang ponsel dan tanda identitas kami agar tidak dapat dilacak oleh intel Custodia.

Sampailah aku dan Layla di luar pusat perbelanjaan ini. Jalanan besar ada di depan kami. Beberapa mobil taksi terparkir di sisi jalan.

Kami menghampiri salah satu supir taksi yang berdiri di dekat kendaraannya. "Pak, apa kami boleh menumpang taksinya?" tanya Layla kepada pria paruh baya itu.

"Boleh, silakan masuk, Nona, Tuan," jawab pria itu sambil tersenyum bahagia. Tampaknya daritadi dia belum mendapatkan satupun penumpang.

Kami masuk ke dalam sedan kuning ini. Supir taksi mengenakan sabuk pengamannya lalu bertanya kepada kami, "Kemana tujuan kalian?"

"Perbatasan utara," jawab Layla. Supir menganggukan kepalanya dan tidak bertanya lagi. Dia menyalakan mobilnya lalu menginjak pedal gas, mengantar kami ke tempat tujuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status