“Kamu OB baru, ya?” Seorang pria dengan tubuh tegap yang juga mengenakan seragam biru seperti Aji menghampirinya.
Wajah lelaki itu terlihat kaku dan menyebalkan. Ia menatap Aji dengan pandangan merendahkan, menganggap dirinya senior.“Iya, Mas.” Aji menjawab dengan sopan disertai senyum manis dan ramah. Ia sedang berdiri di depan cermin dan merapikan rambutnya. Lelaki bernama Jamil itu memperhatikan bayangan Aji, heran dengan tingkah Aji.“Percuma mau kamu rapi-rapi juga, nanti juga bau keringet. Sekarang kamu bersihin ruangan Pak Raffi!” titahnya. Ia menahan tawa. Dikepalanya membayangkan Aji yang sedang dimarahi oleh Raffi yang terkenal arogan.Aji yang polos tanpa curiga menanyakan dimana ruang kerja tuan Raffi yang Jamil maksud. Setelah mengetahuinya, ia mendorong troli berisi peralatan kebersihan menuju ke lantai 20.Untung pagi tadi ia sempat bertanya kepada satpam cara menggunakan lift, jadi ia bisa naik ke lantai 10 dengan cepat.Lantai 20 masih sepi, ruang kerja wakil CEO dan meja sekretaris yang ada di depan juga masih kosong.Aji berdiri di depan pintu kayu kokoh. Ia membaca nama yang tertempel di pintu. ‘Raffi Hutama’.Ia menggaruk alisnya yang tidak gatal. Jadi ia akan membersihkan ruang kerja anak tuan Wisnu Hutama. Aji semakin yakin kalau tuan Wisnu pasti salah mengenalinya.Aji meraup wajahnya, menyadarkan diri dari lamunan. Ia sempat terlena dengan harapan dari tuan Wisnu tetapi sepertinya tuan Wisnu salah mengenalinya.Aji membuang nafas panjang. Ia membuang jauh-jauh harapan kalau ayahnya adalah orang kaya. Paling juga pria bajingan yang menghamili ibunya hanya seorang pembantu atau tukang kebun.Tangan Aji bergerak membuka pintu ruang kerja Raffi. Wangi maskulin menyeruak di hidung Aji sedetik sebelum ia mengagumi ruang kerja luas dan mewah.Dominasi kayu yang dicat coklat tua mendominasi interior membuat ruangan itu terasa nyaman.“Sudah rapi begini, apa yang perlu dibersihkan lagi?” Aji mengedarkan pandangan melihat sekeliling ruangan. Semua mengkilap, tidak satu debu pun yang menempel. Aji mendekati meja kerja. Di plang nama meja tertulis nama Raffi beserta gelar pendidikannya. “Namanya panjang bang —” Belum selesai Aji memuji Raffi, pintu ruang kerja terbuka. Seorang pria muda mengenakan setelan jas berjalan masuk diikuti seorang wanita yang membawa banyak tas. “Siapa kamu?” Raffi menghentikan langkahnya di pintu, menatap Aji curiga. Ia menoleh ke belakang, meminta jawaban dari sekretarisnya tetapi wanita itu menggeleng pelan belum pernah melihat Aji sebelumnya. “Apa yang kamu lakukan di ruanganku?” Raffi maju perlahan. Matanya tak lepas dari Aji, mengamati pemuda dengan wajah kampung itu. “Sa — saya OB baru, Tuan Raffi.” Aji segera menjauh dari meja kerja, memberikan ruang kepada Raffi agar bisa duduk di kursi kebesarannya. “Ck!” Raffi berdecak. “Kok bisa-bisanya mereka suruh orang kayak kamu buat bersihin ruangan ku?” Raffi memegang pelipis sambil menggeleng heran.Aji memperhatikan dirinya, mencari apa yang salah dengan penampilannya. Semuanya normal, bajunya juga bersih, celananya sudah di resleting. Tidak ada yang aneh!“Bikinkan aku kopi!” Raffi mengibaskan tangan, memerintahkan Aji keluar.“Jangan lupa cuci tanganmu! Aku gak mau sakit perut gara-gara tangan kotormu.” Aji yang hanya seorang OB tidak berani membalas Raffi. Ia langsung keluar dari ruang kerja Raffi dan menuju ke pantry yang ada di ujung lorong. Lima menit kemudian ia kembali dengan membawa secangkir kopi untuk Raffi. Kening Raffi berkerut saat Aji datang dengan cangkir di tangan tanpa nampan. Ia meminta Aji membuatkan kopi yang baru karena yakin cangkir yang tadi sudah terkena kotoran dari tangan Aji. Kedua kali Aji kembali, Raffi kembali memarahinya karena tidak ada biskuit di kopinya. Aji terpaksa kembali ke pantry untuk yang empat kalinya setelah Raffi mengeluh kopinya dingin. Baju Aji sampai basah karena keringat karena bolak balik ke pantry. Dadanya naik turun terengah-engah. Aji berdiri di depan pintu. Sebelum masuk ia memperhatikan cangkir kopi yang ada di nampan. Semua yang Raffi inginkan sudah ada di nampan. Kopi panas dengan biskuit dan dibawa dengan nampan. Yakin semua sudah lengkap, Aji mengetuk pintu pelan kemudian masuk. Tidak ingin membuat kesalahan, Aji berjalan dengan sangat hati-hati mendekati meja Raffi. Ia berdiri di depan meja, mengambil cangkir dan meletakkannya di depan Raffi. Ia tetap berdiri di tempatnya, menunggu Raffi mencicipi kopi buatannya. Benar saja, Raffi mengangkat cangkirnya. Pria itu menatap cangkir berisi kopi dengan tidak yakin kalau kopi itu layak minum. Satu alisnya naik sebelum akhirnya Raffi menyesap kopi buatan Aji. Namun baru sedetik, Raffi menyemburkan kopi dan mengenai kertas-kertas yang ada di atas meja. “Kamu ini mau bunuh aku, ya? Kopi ini pakai gula!” Raffi berteriak. Ia mendorong kursinya menjauh lalu melempar cangkir ke lantai sampai pecah berkeping-keping. “Dasar bodoh! Kamu itu bisa kerja gak, sih?!” hardiknya lagi. Dengan mata melotot marah, ia melihat Aji yang hanya bisa menunduk. “Sudah miskin, dekil, gak bisa kerja lagi! Kamu gak pantas kerja di perusahaan besar seperti ini! Gak guna!” Raffi terus memaki Aji. Aji yang tahu dirinya hanya orang kecil dan posisinya jauh dibawah Raffi hanya bisa menahan marah. Tangannya mencengkram nampan dengan kuat. Ia mengatupkan giginya kuat-kuat sambil menarik nafas panjang. “Kamu saya pecat! Sana ke ruangan HRD, ambil pesangon kamu buat hari ini setelah itu pergi! Bisa-bisa perusahaan ini penuh dengan kuman karena kamu!” Raffi melepas jasnya, ia melempar dengan kasar ke lantai. Pria itu menggulung salah satu lengan kemeja lalu mengambil alat kecil dari laci. Ia segera melakukan tes gula dengan alat instan yang memang ia simpan. “Kenapa kamu masih berdiri di sana? Cepat keluar! Dasar sampah!” Raffi kembali berteriak kepada Aji yang belum keluar dari ruangannya. Kali ini Aji tidak lagi bisa menahan amarahnya. Wajah Aji memerah, nafasnya menderu siap meledak. Kata-kata sampah membuat Aji ingat kalau dia anak haram tanpa ayah. Dianggap sampah dan dikucilkan warga kampungnya karena dianggap akan membawa sial. “Jangan sembarangan menghina orang!” ujar Aji geram. Ia menahan suaranya agar tidak berteriak kepada Raffi. Raffi juga semakin murka melihat mata merah penuh amarah Aji. Belum pernah ada orang yang berani membalas ucapannya. Raffi berjalan cepat menghampiri Aji. Ia menarik kerah seragam Aji, menatap lelaki itu dengan kebencian. “Kamu berani menjawab? Kamu pikir kamu siapa, hah? Apa kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Aku bisa membuatmu dan semua keturunan sampahmu menghilang dalam sekejap!” Tangan Raffi mengepal kuat, terangkat ke atas siap memukul Aji. Tetapi hal itu tidak membuat Aji takut, ia justru membalas tatapan Raffi. “Cukup!”Teriakkan dari arah pintu membuat Raffi melepaskan tangannya dari kemeja Aji.“Untuk apa uang sebanyak itu?” Aji sedang menghadapi tatapan mata tajam Bella. Mereka sedang duduk di sebuah cafe. Wanita itu langsung menuju ke bank, begitu mendapatkan pemberitahuan penarikan dalam jumlah besar.Dengan membawa tas berukuran besar, Aji terpaksa ikut dengan Bella, dan disinilah ia sekarang, di sidang oleh orang kepercayaan papanya.“Kalau anda tidak mau mengatakannya, aku akan melaporkan ini kepada tuan Wisnu.” Aji mendelik mendengar ancaman Bella. Ia sudah mempersiapkan diri jika papa Wisnu, tetapi baru mendengar ancaman Bella saja sudah membuat Aji ciut.Ia menyerah, Aji dengan cepat menceritakan alasannya memerlukan uang sebanyak itu. Dengan gamblang ia bercerita mulai dari ia yang menangkap basah Raffi sedang bercinta dengan istrinya sampai tugas untuk melunasi tagihan tante Kalina.BRAGH!Bella menggebrak meja saking marahnya setelah mendengarkan cerita Raffi. “Kenapa tidak bercerai saja? Memangnya berapa uang pinalti yang harus dibayar, hah?!” Aji bisa mende
"100 juta!" ucapan Raffi membuat para penagih hutang itu tertarik. "Aku akan memberikan uang 100 juta, jika kalian memberikan kami waktu tambahan sampai besok siang."Kedua penagih hutang itu saling pandang. Saling bertanya lewat gestur tubuh, haruskan mereka menerima tawaran Raffi. "Jangan coba membohongi kami! Hutang kalian saja tidak bisa kalian bayar, bagaimana mungkin kalian bisa memberikan kami 100 juta?""Mereka memang tidak bisa, tetapi aku bisa!" ujar Raffi dengan sangat yakin. Kedua penagih hutang itu memperhatikan Raffi dari atas sampai bawah. Melihat jam tangan yang Raffi kenakan, mereka akhirnya memutuskan untuk percaya. "Datang besok jam tiga sore. Aku akan bayarkan hutang mereka dan 100 juta untuk kalian."Kesepakatan tercapai! Kedua penagih hutang akhirnya pergi meninggalkan rumah Radhia. Raffi mengambil paksa ponsel Aji. Ia tidak ingin anak kampung ini meminta bantuan dari Bella apalagi papanya. "Waktumu sampai besok jam tiga sore!" Raffi menonaktifkan ponsel m
“Hari ini aku akan membuatmu mencium kakiku!” ucap Raffi dengan sangat yakin dan kesombongan.Setelah masuk ke kamar mandi, ia mendorong Aji keluar dengan kasar sampai nyaris terjatuh.Rahang Aji terjatuh melihat Raffi bisa mandi sendiri. Ia mengira pria itu tidak berdaya, Aji baru sadar kalau Raffi sedang mengerjainya.Ia memilih menunggu di depan kamar, tidak mungkin ia menunggu Raffi mandi dan berganti pakaian. Ia masih waras dan lebih suka melon kembar daripada tongkat sakti! “Hai Anak Kampung, cepat masuk!” Raffi berteriak dari dalam kamar.Aji tidak langsung masuk, ia sengaja membiarkan Raffi menunggu dan kembali berteriak memanggilnya. Ia baru masuk setelah Raffi melempar sesuatu sampai mengenai pintu.“Ada apa?” jawab Aji malas.Raffi memerintahkan Aji untuk membawanya ke ruang makan. Ia akan sarapan bersama dengan Radhia dan keluarganya.“Bukannya kamu bisa jalan sendiri?” sahut Aji, ia enggan menjadi pelayan Raffi apalagi ia lihat sendiri Raffi bisa berjalan.“Jangan banyak
“Bantu Raffi ke kamar mandi!” Radhia berdiri di depan pintu dengan tangan bersedekap di depan dada.Rahang Aji terjatuh mendengar perintah tidak masuk akal istrinya. Ia masih berdiri di depan pintu, enggan masuk ke dalam kamar.“Tidak mau!” jawabnya tegas. “Cari saja perawat atau minta yang lain!” tolak Aji mentah-mentah.Ia tidak sudi melayani pria yang berani menyentuh istrinya.“Kau!” Radhia mengepalkan tangan geram karena Aji berani menentangnya. “Kalau sudah tidak ada urusan, aku mau tidur.” Aji meninggalkan Radhia, menutup telinga walau Radhia terus berteriak memanggilnya untuk kembali.Pagi-pagi sekali, tidur Aji sudah terganggu. Pak Al – kepala pelayan di rumah Setiawan menendang kaki Aji untuk membangunkan lelaki dari kampung itu.Aji berbalik, ia menarik sarungnya lebih tinggi sampai menutupi kepala. Ia berbalik membelakangi pintu, tidak ingin tidurnya terganggu. "Ayo bangun! Sudah waktunya kerja!" Pak Al kembali menendang kaki Aji tetapi kali ini lebih kencang dari sebelu
"Aku puas sekali!" Stella memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia mendekati meja dan menandatangani proposal iklan yang Aji ajukan. "Ini proposalmu! Sekarang pergi dari sini!" Stella melemparkan map itu ke lantai dekat Aji berdiri. Aji sudah biasa dihina dan diejek. Tetapi apa yang ia alami malam ini membuatnya merasa benar-benar hina. Harga dirinya hancur tak tersisa. Dengan tangan gemetar, Aji mengambil proposal pengajuan iklannya. Sambil menahan amarah, Aji memakai kembali pakaiannya. Walaupun Aji juga merasakan nikmat, namun melakukannya dengan di bawah pengaruh obat tetap saja pemaksaan.Aji merasa seperti sedang menjual dirinya kepada Stella. Dengan menahan malu dan marah, Aji meninggalkan ruang makan privat. Ia bahkan belum menyentuh makanannya. Berjalan dengan cepat ke mobilnya, Aji menutup pintu dengan keras. Ia berteriak kencang sambil memukul stir dengan keras melampiaskan kemarahan yang sejak tadi ia pendam. Aji akhirnya agak tenang setelah cukup lama m
Aji datang ke restoran yang Stella tentukan dengan pakaian santai. Celana panjang bahan dipadu dengan kaos yang ia tutup dengan jas. Rambut ikalnya ia tata rapi dengan pomade. Wajahnya segar walau mandi seadanya di kantor. Restoran yang Stella pesan adalah fine-dining restoran yang berada di sebuah hotel bintang lima. Ia berdiri di depan pintu karena tidak diijinkan masuk oleh pelayan. "Maaf tuan, memakai sandal dilarang masuk." Mendengar itu, Aji menunduk melihat kakinya. Benar saja, ternyata ia menggunakan sandal. Kebiasaannya di kampung yang gemar memakai sandal terbawa sampai ke kota. Aji menelepon Stella memberitahu jika ia tidak bisa karena lupa memakai sepatu. Stella membuang nafas kasar tanpa menjawab. Wanita itu menutup teleponnya, tak lama setelah itu ia muncul di pintu masuk.Ia bicara pada pelayan yang menjaga pintu dan memasukkan beberapa lembar uang merah ke saku jas pelayan itu. Senyum setelah mengembang mengulurkan tangan, menyambut Aji yang sudah boleh masu