Share

Putra Wisnu Hutama

“Kamu tidur di sofa!” Aji menerima bantal dan selimut pemberian Radhia.

Aji menundukkan pandangannya tidak berani melihat sang istri karena saat ini Radhia sedang mengenakan gaun tidur tanpa lengan dengan potongan berleher rendah.

Wanita itu berbalik, ia naik ke atas ranjang dan membungkus tubuhnya dengan selimut sampai pinggang. 

Melihat Radhia yang sudah nyaman di ranjangnya, Aji naik ke atas sofa. Membaringkan tubuhnya sambil memikirkan ucapan nona Bella – wanita yang tadi menyapanya di toko souvenir.

Kepala Aji dipenuhi pertanyaan setelah percakapannya dengan nona Bella. Benarkan ia putra Wisnu Hutama yang telah lama hilang?

Lelah memikirkan jawaban atas pertanyaan itu didukung keadaan kamar yang dingin, Aji akhirnya terlelap.

Ia terperanjat kaget ketika kakinya dipukul oleh sesuatu. Ia yang sedang tidur nyenyak, sampai melompat duduk karena terkejut.

“Iya, Uti! Aji bangun.” Aji mengucek mata, menguap lebar membuat Radhia mundur enggan terlalu dekat dengan pria itu.

“Jorok!” Radhia menutup hidungnya. “Sana mandi! Kita berangkat dua jam lagi.” Ia meninggalkan Aji di sofa begitu saja, namun tidak berapa lama ia kembali dengan membawa baju untuk Aji.

“Pakai ini! Jangan bikin malu saya dengan baju  kamu.” Radhia melempar baju itu ke Aji lalu kembali meninggalkan suaminya.

Aji kembali menjadi sasaran kemarahan Radhia ketika melihat ia tidak mengerti bagaimana tata cara makan di restoran mewah. 

Jangankan pakai pisau, makan dengan sendok garpu saja Aji masih kaku dan berisik.

“Apa kamu gak tahu cara makan yang sopan, hah?” pekik wanita itu. Ia berdiri dan melempar serbetnya ke atas meja. Karena Radhia pergi dari restoran, Aji yang belum menikmati sarapannya terpaksa ikut berdiri dan mengekori sang istri.

Aji lagi-lagi dibuat takjub. Kali ini ia bisa melihat pesawat terbang. Bukan hanya melihat tetapi ia juga naik burung besi itu.

“Jangan katrok!” Radhia yang sedang memasang sabuk pengamannya memperingatkan Aji.

“Saya memang gak pernah naik pesawat, Mbak. Ini pertama kalinya.” Aji cengengesan. Ia melemparkan pandangannya keluar jendela, melihat landasan pacu dan segala kesibukannya.

“Mbak! Mbak! Memangnya saya kakakmu? Lagian Mbak itu bikin saya jadi terlihat tua.” Sembur Radhia yang kesal karena terus dipanggil mbak oleh Aji.

“Mbak gak tau, kok! Cuman kalau di Jawa, biar sopan manggilnya mbak.” Aji mencoba menjelaskan agar Radhia tidak terus marah kepadanya.

Radhia tidak menyahut, ia memilih membuka ponsel yang sudah disetel dalam mode pesawat dan bekerja. 

KRING!

Radhia dan Aji sama-sama mencari sumber suara setelah mereka mendarat di Jakarta. Kedua sedang menunggu koper mereka saat suara ponsel sejak tadi tidak berhenti berdering.

“Mbak gak mau jawab teleponnya?” Aji menunjuk tas Radhia. 

Radhia menggeleng, ia tahu itu bukan suara ponselnya. “Itu dari tas kamu!” Kali ini ganti Radhia yang menunjuk tas ransel Aji.

Aji menepuk jidatnya. Ia lupa kalau semalam nona Bella memberinya ponsel agar mudah dihubungi.

Aji memang ingin bertemu dengan Wisnu Hutama dan memastikan apa pria itu ayahnya  bukan.

Ia menggeser tombol hijau, menempelkan benda pipih itu di telinga sambil sesekali menjawab pertanyaan Bella.

“Ke – kenapa, Mbak?” Aji mendadak gugup melihat cara Radhia memandangnya. Mata wanita itu menyipit seolah sedang mencari tahu sesuatu.

“Gak apa-apa!” Radhia membuang wajahnya tidak peduli. Wanita itu mengambil koper kemudian menyeretnya keluar bandara.

****

Dengan susah payah akhirnya Aji bisa keluar dari rumah Radhia yang besar seperti istana. Saking besarnya ia beberapa tersasar padahal hanya ingin pergi ke dapur atau taman belakang.

Beralasan ingin mencari pekerjaan, Aji akhirnya bisa keluar sendiri  setelah Radhia berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun kalau Aji adalah suaminya.

“Silahkan, Tuan Muda. Tuan Wisnu sudah menunggu.” Bella menyambut kedatangan Aji di sebuah restoran. 

Tuan Wisnu sengaja memesan ruangan privat aja pembicaraan mereka tidak terganggu.

Di dalam ruangan ada sebuah meja makan besar dan seorang pria berumur 50-an dengan wajah berkharisma duduk di salah satu kursi.

Pria yang bernama Wisnu Hutama itu berdiri menyambut Aji dengan mata berbinar dan penuh kerinduan.

“A – Aji, putraku!” Ia memutari meja dan menghampiri Aji yang masih berdiri di depan pintu. 

Sungguh, ia masih terkejut dengan semua kemewahan yang ia lihat sejak menikah dengan Radhia.

Aji semakin terkejut ketika tuan Wisnu tiba-tiba memeluknya. Ia berdiri mematung tidak berani bergerak takut pria itu tersinggung.

“Akhirnya, papa bisa ketemu sama kamu, Nak!” Wisnu menepuk pundak Aji, tidak percaya putranya sudah sebesar ini.

“Em… maaf, Tuan sepertinya anda salah. Saya bukan putra anda.” Aji menjawab dengan hati-hati.  Ia takut menyakiti perasaan Wisnu yang sudah menaruh harapan besar kepadanya.

Wisnu mengernyit lalu menoleh melihat Bella meminta jawaban. 

“Tidak, Tuan. Berdasarkan informasi yang saya dapat, tuan muda memang anak dari nyonya Laras. Untuk menghilangkan keraguan bagaimana kalau kita lakukan tes DNA saja?” Bella memberi saran. 

Wisnu mundur satu langkah, memperhatikan baik-baik pemuda yang berdiri di hadapannya. “Sebenarnya, aku tidak ragu sama sekali.” Suara berat Wisnu mengisi pendengaran Aji. 

“Pertama, aku tahu cara kerjamu, Bel. Kedua, kamu mirip sekali dengan papa saat muda dulu. Tapi, untuk menghindari masalah, papa setuju kita lakukan tes DNA.” 

Bella mengangguk. Ia mengambil ponsel dan langsung mengatur semuanya. Karena uang dan kekuasaan, semua bisa diatur dengan mudah. 

Setelah makan, mereka langsung menuju ke rumah sakit untuk pengambilan sampel. Sedang hasilnya sendiri baru akan diketahui tiga hari lagi. 

“Ada apa, Boy? Kamu kelihatan bingung.” Wisnu dan Aji sedang berdiri di depan lobi. Jika Wisnu sedang menunggu mobil mewahnya tidak dengan  Aji yang bingung karena pulang tanpa membawa hasil.

Bukan apa-apa, rasanya memalukan jika seorang suami malah mengandalkan uang istri padahal ia sehat lahir batin.

“Gini, Tuan —”

“Papa! Panggil aku papa, Boy!” Wisnu memotong Aji, membetulkan cari Aji memanggilnya.

“Papa. Gini, Pa sebetulnya Aji sedang cari kerja. Aji gak enak kalai

“Ada apa? Kamu ada masalah?” tanya Tuan Wisnu. 

Dengan cepat Aji menceritakan masalahnya kepada Wisnu. “Apa papa punya kenalan yang butuh pegawai? Jadi apa aja gak masalah, saya mau.”

“Ngapain kerja sama orang. Kamu bisa kerja sama papa. Besok datang ke kantor.” Wisnu menepuk pundak Aji berpamitan dengan

putranya. 

Bella menggantikan Wisnu berdiri di sebelah Aji. Wanita itu memberikan kartu hitam untuk Aji lalu ikut masuk ke dalam mobil bersama Wisnu. 

Mobil lain berhenti di depan Aji setelah mobil Wisnu pergi. Bella menyiapkan mobil untuk. mengantar Aji kembali ke rumah Radhia. 

“Apa kamu dapat pekerjaan? Paling juga gak dapat! Mana bisa lulusan SMA dapat kerja di kota besar begini. Sudah, kamu di rumah saja daripada bikin malu saya!” Radhia mengejek, meremehkan suaminya yang hanya lulusan SMA itu juga kejar paket.

Aji mengeluarkan kartu nama pemberian Bella, menunjukkannya kepada Radhia.

“Besok saya disuruh datang ke sana,” ujarnya.

Radhia menerima kartu itu. Matanya mendelik membaca nama perusahaan yang tertera disana.

“Ini kan —”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status