Share

Tugas Membeli Makan Siang

“Apa anda tidak tahu siapa dia?” Bella yang melihat Raffi ingin memukul Aji segera menghampiri dan memisahkan keduanya. 

“Memangnya siapa dia?” Raffi menaikkan sebelah alisnya, menatap Bella penasaran. 

Tangan pria itu sibuk merapikan jas dan dasi kemudian membersihkan jas dari debu. 

“Dia in —”

“Saya OB baru. Saya belum tahu kebiasaan pak Raffi. Maaf, Pak.” Aji memotong ucapan Bella. 

Pandangan Bella beralih menatap Aji heran. Ia melihat Aji menggeleng pelan kemudian paham dengan keinginan pemuda itu. 

“Bereskan barang-barangmu, setelah itu ikut saya!” Pandangannya beralih kepada Raffi, dengan mata menyipit menatap Raffi tajam. 

“Sebaiknya anda belajar menjaga sikap anda, tuan Raffi.” Bella berbaik, ia keluar mendahului Aji walau begitu ia masih bisa mendengar Raffi menggerutu bahkan menghinanya. 

Aji meletakkan trolinya di pantry sesuai perintah Bella. Ia segera menyusul tangan kanan tuan Wisnu itu ke lift dan masuk. 

Entah kemana Bella membawanya yang jelas wanita itu menekan tombol 25. Keheningan menjeda mereka berdua sampai bunyi bel lift meramaikan box besi itu. 

“Silahkan, Tuan Muda.” Penuh hormat, Bella mempersilahkan Aji jalan terlebih dahulu. 

Sebuah ruangan besar menyambut Aji. Begitu ia keluar dari lift sebuah meja setengah lingkaran menyambutnya dengan dua orang wanita berpakaian formal seperti Bella. 

Di samping meja ada lorong yang tidak terlalu panjang. Dari tempatnya berdiri, Aji bisa melihat pintu kayu mewah di ujung lorong.

“Mari, Tuan Muda. Tuan Wisnu sudah menunggu anda.” Tangan Bella terjulur mempersilahkan Aji jalan lebih dulu menuju lorong. 

Aji tersenyum kaku mendengar panggilan Bella. Rasa aneh mendengar panggilan itu. 

“Aji! Kamu sudah disini, Nak? Papa senang sekali kamu mau bergabung sama perusahaan papa!” Wisnu menyambut Aji dengan pelukan hangat. 

Wisnu mengurai pelukan, ia memperhatikan penampilan Aji yang tampak berbeda dengan saat pertama kali mereka bertemu. 

Kening Wisnu berkerut, wajah cerianya berubah suram melihat seragam yang Aji kenakan. 

“Bella, panggil Pak Agus.” Suara Wisnu terdengar tidak senang. 

Sedang Aji mendadak khawatir karena pria yang ingin Wisnu temui adalah manajer HRD yang menerimanya bekerja. 

“Ini penghinaan! Berani sekali dia memberikan posisi office boy untuk calon pewaris Hutama Group!” ujar Wisnu geram. 

Nafas pria itu berubah berat karena amarahnya yang sedang meledak. 

“Tu — tuan, jangan begitu.” Aji mencoba menenangkan Wisnu. Ia menggeleng pelan melarang Bella menghubungi pak Agus. 

“Biar saya mulai dari bawah saja sambil belajar. Saya, kan hanya lulusan SMA, kalau langsung dapat posisi tinggi malah bikin tuan malu.”

Mata Wisnu berubah sayu. Ia tidak tega melihat putra yang selama ini ia cari bekerja kasar seperti ini. Tetapi  harus mengakui apa yang Aji katakan itu benar. 

Wisnu melunak, ia setuju dengan permintaan Aji. Membiarkan putranya bekerja dari bawah sambil belajar. 

Sebelum Aji kembali ke pantry yang ada di lantai lima, Wisnu memberikan black card. 

“Ini punya Saras. Dulu, sebelum pergi dia meninggalkan ini dan semua pemberian papa. Sekarang papa serahkan ini untuk kamu.” 

Aji tidak langsung menerima kartu berwarna hitam itu. Mendengar nama ibunya disebut mendadak Aji menjadi kesal. 

Hinaan seluruh warga kampung termasuk uti Warsi terdengar lagi di telinganya. 

“Tidak perlu, Tuan. Saya akan berusaha mencari uang dengan cara saya sendiri.” Pemuda itu berkata ketus. Ia segera pamit membuat Wisnu heran dengan perubahan sikap Aji. 

Suara gelak tawa teman-teman sesama OB menyambut Aji ketika ia tiba di pantry. Beberapa rekan OB sedang beristirahat di sana setelah menyelesaikan tugas di lantai masing-masing. 

“Gimana? Serukan beresin ruang kerja tuan Raffi?” Jamil tertawa mengejek. Ia menyiku teman yang duduk disebelahnya melihat wajah kesal Aji. 

Aji duduk di kursi kosong sambil membuang nafas panjang. Ia tersenyum kaku menjawab teman-teman kerjanya.

Belum lima menit Aji duduk, Jamil sudah menyuruh Aji ke ruangan marketing dan mencatat pesanan makan siang tim marketing. 

Jamil juga membagi tugas kepada OB yang lain untuk pergi ke divisi yang berbeda.

“Setelah kamu catat, langsung kamu beli. Paham?” Jamil membubarkan para office boy itu untuk segera melakukan pekerjaan mereka.

Aji melihat catatannya. Divisi marketing ada di lantai 6. Ia menuju lift dan menekan angka 6. Sambil menunggu, ia menyiapkan buku kecil yang ia bawa dari rumah dan juga bolpoin.

Aji mengetuk pintu sebelum masuk. Ia berdiri sambil melihat kubikel-kubikel berwarna putih yang membatasi ruang kerja setiap karyawan.

Ada juga karyawan yang sedang rapat di ruang rapat kecil dengan pintu dan jendela kaca. Entah apa yang sedang mereka bahas, Aji tidak bisa mendengar dari luar tapi dari wajahnya Aji bisa menebak mereka sedang serius. 

“Woi, ngapain lu berdiri disana?” Seorang laki-laki yang kebetulan lewat di depan Aji menghampirinya. 

“Lu OB baru, ya?” tanyanya sambil mengamati wajah Aji yang asing untuknya. 

Aji mengangguk mengiyakan. Ia mengatakan tujuannya yang disambut sorak sorai oleh karyawan yang sedang serius bekerja. 

“Wah asik!! Gue mau gue mau nasi padang, dong! Lauknya paru.”

Aji segera mencatat pesanan setiap orang dengan rapi. Ia juga masuk ke ruang rapat untuk menanyakan pemesanan. Jangan sampai ada karyawan yang tertinggal. 

Ia berdiri di tengah ruangan menunggu para karyawan memberikan uang namun tak ada satu orang pun yang menghampirinya. 

“Ngapain lu masih di sini? Sana berangkat! Jangan sampe lewat jam istirahatnya lewat.” Salah satu dari mereka mengusir Aji. Ia mendorong Aji sampai pintu. Membukakan pintu lalu mengulurkan tangan memerintahkan Aji pergi. 

Aji berdiri di depan pintu lift sambil menatap catatan panjang pesanan makan siang. Pertama ia harus membeli semua ini ditempat yang berbeda. 

Tangan Aji bergerak menggaruk alis hitam dan tebalnya. Menggosok bagian tengah dahi sambil memijatnya pelan, memikirkan cara mencari ongkos transportasi. 

TING! 

Lamunan Aji buyar saat mendengar dentik suara pintu lift. Di dalam lift, Aji kembali berpikir bagaimana ia caranya ia membeli pesanan ini. 

Ia menutup mata dengan telapak tangan mencoba mencari ide cemerlang. Sayangnya sampai tiba di lantai dasar, Aji belum juga menemukan ide bagus. 

Sudah lima menit Aji berdiri di depan pintu utama tetapi tak kunjung menyetop taksi atau pindah ke pinggir jalan untuk mencari angkot. 

“Tuan muda, apa yang sedang anda lakukan di sini?” 

Suara Bella mengagetkan Aji. Ia menoleh, melengkungkan bibir sambil melihat sekitar takut ada yang mendengar panggilan Bella kepada. 

Dengan cepat Aji menceritakan tujuannya hendak keluar kantor. Belum selesai bercerita, Bella mengambil catatan dari tangan Aji. 

“Ikuti saya, Tuan Muda.” 

Bella membawa Aji ke coffee shop yang ada di seberang jalan. Ia kemudian mengeluarkan

 ponsel dan memesan semua makanan yang tertulis di catatan Aji. 

“Tu — tunggu sebentar, Nona. Jangan asal memesan. Se —sebetulnya saya tidak punya uang untuk membayar semua pesanan itu.” Aji menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menunduk malu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status