Share

Bab 3

Author: Bagel
Pukul lima pagi, suara klik lembut dari kunci elektronik membuatku terbangun. Hanya ada satu orang selain aku yang tahu kode apartemen ini.

Adriel.

Aku pura-pura tidur, mendengarkan langkahnya yang makin mendekat. Kasur sedikit turun saat ia duduk di tepi, dan aroma tubuhnya langsung memenuhi udara, wangi parfum kayu cedar yang sangat kukenal.

Tapi kali ini berbeda. Ada aroma mawar yang terlalu manis menempel di situ. Aroma Stella.

Rasa mual naik ke tenggorokanku.

Aku bisa merasakan tatapan panasnya di wajahku. Bibirnya menyentuh dahiku dengan lembut, sama seperti malam sialan itu. Sama seperti caranya memperlakukan siapa pun.

"Pagi, sayang." Suaranya serak, rendah, dan tetap terdengar berbahaya. Sialnya, tubuhku masih juga bereaksi.

Aku tersentak dan membuka mata. Garis rahangnya yang begitu kukenal memenuhi pandanganku. Cahaya pagi yang menembus tirai menjatuhkan bayangan di sepanjang pangkal hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, dan mata gelap dalam itu, mata yang dulu pernah kubiarkan menenggelamkanku sepenuhnya.

"Adriel!" Aku memutar tubuh, berusaha melepaskan diri.

Tapi dia lebih cepat. Satu lengannya yang kuat menahanku di atas kasur.

"Kangen aku?" Ia menunduk, terkekeh pelan, lalu mencoba mencium bibirku.

Aku menggeleng keras. "Lepaskan aku!" Aku mendorong dadanya.

Tapi dengan tinggi hanya seratus enam puluh senti, mana mungkin aku bisa melawan pria setinggi seratus sembilan puluh? Dengan mudah dia menangkap kedua pergelangan tanganku dan menekannya di atas kepalaku.

"Masih malu, ya?" gumamnya rendah. "Kenapa kamu tidak kirim pesan selamat malam? Ponselmu mati?"

Pesan apa? Aku tidak menerima apa pun.

"Kamu makin berani sekarang, Vivian." Ia menyusup di bawah selimut, sepenuhnya mengurungku. "Sst, aku tahu kamu marah. Ini karena tadi malam?"

Tangannya mulai bergerak.

"Aku bawakan sarapan. Roti keju favoritmu, dari toko kesukaanmu itu," ucapnya lembut. "Atau... kamu mau aku yang makan kamu dulu?"

Napasnya menyapu telingaku. Dalam sekejap, aku teringat foto Stella. Ciuman mereka...

Sentuhannya seperti percikan api yang menyambar bensin. Aku menegang, seluruh otot tubuhku berteriak. "Jangan," bisikku parau, hampir tanpa suara.

"Jangan apa, sayang?" Suaranya rendah, seolah menenangkan, tapi matanya memancarkan ketidaksabaran. "Jangan begini, Vivian. Aku tahu kamu kesal soal upacara itu. Itu cuma urusan bisnis. Kamu tahu sendiri bagaimana dunia ini bekerja."

Bisnis. Kata itu melayang di udara dingin, tajam. Ia menepis rasa sakit terdalamku seperti tak lebih dari catatan kecil di laporan keuangan.

"Oh ya," lanjutnya, nadanya berubah sedikit lebih serius, tangannya berhenti di pinggangku. "Kamu sudah minum pil itu kemarin, kan? Kita harus bertindak bijaksana."

Aku menegang, memalingkan wajah, menatap dinding seolah bisa berlindung di sana. Bendungan di dalam diriku akhirnya jebol. Satu tetes air mata panas lolos, lalu disusul yang lain, menelusuri pipi dan membasahi bantal. Aku menggigit bibir sampai terasa darah, berusaha menahan isak.

Air mataku membuatnya sedikit terkejut. Senyumnya yang sombong memudar. "Hei." Suaranya merendah sedikit. "Ada apa ini? Jangan menangis, Vivian."

Pegangannya mengendur. Ia mencoba memutar wajahku agar menatapnya. "Apa ini, Vivian? Menangis? Sekarang?"

"Jangan seperti anak kecil yang ngambek cuma karena pesta bodoh itu."

Pesta bodoh. Begitu katanya. Bagi dia, semua itu, sepatu kristal, dansa pertama dan janji selamanya tidak lebih dari lelucon.

Bendungan itu benar-benar pecah. Air mataku tumpah deras tak tertahan. Rasa malu semalam dan dinginnya hari ini menimpa sekaligus, menenggelamkanku.

Adriel tampak tertegun. Ia membeku. "Dengar, aku minta maaf. Aku minum bir terlalu banyak tadi malam." Ia meletakkan gelasnya, melangkah mendekat. "Aku tidak seharusnya bilang gitu."

Aku mundur. "Jangan sentuh aku."

Tangannya berhenti di udara. Tepat saat ia hendak bicara lagi, ponselnya berdering. Ia melirik layar, dan raut wajahnya langsung berubah.

"Ini urusan bisnis," katanya cepat, semua nada lembutnya lenyap. Ia sudah berbalik menuju pintu.

Dia berhenti, menoleh padaku dengan ekspresi yang setengah kesal, setengah mengandung perintah. "Kita bicarakan nanti. Tenangkan dirimu, Vivian. Ini tidak pantas untukmu."

Pintu tertutup keras, meninggalkanku sendirian di ruang tamu yang luas dan kosong.

Setengah jam kemudian, Mia mengirim tangkapan layar. Akun Instagram pribadi Stella.

Sebuah foto tangan pria memakai cincin lambang Keluarga Mahendra, diletakkan genit di paha mulus seorang wanita.

Keterangan foto itu berbunyi: [Selamat pagi, Rajaku.]

Waktu dipostingnya dua puluh menit yang lalu.

Tepat saat itu, aku juga menerima sebuah foto dari Stella, dengan gaya manyun menggoda ke arah kamera sambil memeluk lengan seorang pria.

Pesan di bawah foto itu sederhana, tapi menghancurkan.

"Dia bilang selamat pagi. Dan berterima kasih atas pelatihannya."

Begitu meninggalkan apartemenku, dia langsung ke tempat Stella. Bahkan belum sempat ganti baju.

Tawa dingin dan hampa terlepas dari bibirku, suara pahit yang bertarung dengan air mata segar menelusuri pipiku.

Aku berjalan ke dapur, mengambil botol wiski yang ditinggalkannya, dan meneguknya dalam sekali minum. Cairan itu membakar tenggorokan, tapi masih kalah panas dibanding api di dadaku.

Ponselku bergetar. Pesan dari Adriel.

[Berhenti ngambek, ya? Aku tahu yang tadi pagi itu agak kelewatan, maksudku sikapmu.]

[Tapi urusan dengan dermaga ini sangat penting. Aku kira, dari semua orang, kamu yang paling bisa mengerti hal itu.]

Dia pikir satu pesan minta maaf bisa memperbaiki semuanya. Dia pikir aku akan datang lagi padanya.

Saat mencoba membersihkan tumpahan wiski di karpet, aku sadar betapa konyolnya cintaku selama ini. Tapi air mataku tetap jatuh bercampur dengan cairan itu, membentuk noda yang tidak bisa hilang.

Akhirnya aku menyerah. Noda itu kini menjadi bagian dari karpet, gelap dan menetap, seperti kenangan yang menolak pudar.

Dengan ketenangan aneh, aku berdiri dan berjalan ke lemari. Mengambil koper hitam. Itu hadiah ulang tahunku tahun lalu darinya. Pelan-pelan, aku mulai mengumpulkan semua yang berhubungan dengan Adriel.

Pisau cukur cadangannya di kamar mandi. Buku strategi klasik lusuh yang selalu ia taruh di meja samping tempat tidur. Dasi sutra mahal yang dibiarkannya tergantung di kursi.

Aku tak menghancurkannya atau merobeknya.

Setiap barang kulipat rapi, kutaruh ke dalam koper itu, seolah sedang membereskan kenangan dari seseorang yang tidak akan pernah kembali.

Setiap benda adalah satu lembar kisah. Dan aku menutupnya satu per satu.

Dia bahkan tidak akan sadar.

Aku menatap jam. Dua puluh empat jam sebelum penerbanganku.

Sebentar lagi, aku akan bebas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 10

    "Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Adriel," kataku dengan senyum tipis. "Tapi aku tidak butuh ikut campurmu dalam urusan cintaku."Wajah Adriel membeku. "Vivian...""Sudah malam. Aku harus kembali ke kamarku." Aku memotong ucapannya dan berbalik menuju ke dalam ruangan. Di belakangku terdengar suara gelas pecah. Tapi aku tidak menoleh.Tiga hari kemudian, aku sudah kembali di Altenburgia. Matahari hangat, udara bersih, dan pelukan lembut dari Leo."Aku sangat merindukanmu," katanya sambil memeluk erat di bandara. "Bagaimana Novarelle?""Baik-baik saja," jawabku sambil tersenyum. "Hanya ada beberapa orang yang tidak tahu kapan harus berhenti."Leo mengerutkan alis. "Maksudmu?""Tidak penting." Aku menutupnya dengan kecupan di bibirnya.Seminggu kemudian, Leo memesan meja di restoran favorit kami. Restoran Rasa Nusa, berdiri di atas bukit Bukit Aruna dengan pemandangan seluruh kota. Kami sering datang ke sana. Pemiliknya selalu memberi kami meja terbaik di dekat jendela.Tapi malam it

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 9

    Aku akhirnya kembali ke Altenburgia."Vivian, kamu kelihatan jauh lebih baik," kata Mia sambil memegang segelas anggur di balkon apartemenku di Altenburgia. Matahari Kaliraya menembus kaca pintu, hangat dan ramah."Benarkah?" Aku meletakkan laporan keuangan yang sedang kubaca. "Mungkin karena di sini tidak pernah dingin. Dan malam pun jarang benar-benar gelap.""Dan tidak ada Adriel," tambahnya tajam sambil menatapku penuh arti. Ia mengangkat gelasnya. "Bersulang untuk hidup barumu."Dentuman lembut kristal bergema di udara."Ngomong-ngomong..." Wajah Mia tiba-tiba berubah serius. "Keadaan di Novarelle cukup parah.""Aku tidak mau dengar," potongku cepat."Vivian, kamu harus tahu ini. Aliansi Adriel dan Stella sudah berakhir."Tanganku berhenti. "Kapan?""Kira-kira sebulan lalu," jawab Mia, menurunkan suaranya. "Kudengar ayah Stella tahu Adriel hanya memanfaatkannya dan menarik diri dari semua kerja sama mereka. Sekarang Adriel benar-benar kehilangan kendali. Bisa dibilang, dia lebih b

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 8

    "Ya."Aku meletakkan garpuku, menatap mata Adriel yang memerah tanpa gentar. "Namanya Konsultasi Investasi Kusuma. Aku mendirikannya di Altenburgia dengan modal awal delapan puluh miliar."Ruangan langsung hening. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dentingan lembut dari lampu kristal yang berayun di langit-langit.Stella tersenyum lebar. "Tuh kan? Aku tidak salah. Kantornya ada di distrik keuangan Bukit Aruna. Kudengar interiornya sangat indah."Ibu Adriel menatapku dengan wajah terkejut. "Vivian, kamu... kapan kamu...""Tiga bulan lalu," jawabku tenang. "Setelah aku meninggalkan Novarelle."Adriel langsung berdiri, kursinya bergeser dengan suara nyaring di lantai. Tangannya mengepal, buku jarinya memutih."Kamu mengkhianati Keluarga Mahendra?""Pengkhianatan?" Aku ikut berdiri. "Aku hanya berganti pekerjaan. Pahami dulu faktanya, Adriel. Aku itu konsultan keuanganmu dan juga karyawanmu. Dan ketika kontrakku habis, aku memilih untuk tidak memperpanjang, sesederhana itu."Adriel

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 7

    Di bawah cahaya kristal lampu gantung aula besar, semua mata tertuju padaku. Bisikan-bisikan berdesir di antara kerumunan."Itu bukannya Vivian Kusuma? Kenapa dia bersama Bos Indra?""Kukira dia sedang marah besar.""Kudengar Bos Adriel dan Stella bertengkar gara-gara dia."Aku menegakkan punggung, wajahku datar tanpa ekspresi, mengikuti Bos Indra menuju meja di sudut ruangan. Gosip mereka sama sekali bukan urusanku."Tenang saja, Nak," kata Om Indra, menyerahkan segelas anggur padaku.Aku mengangguk, mataku menyapu ruangan. Adriel duduk di meja utama, Stella menempel di sisinya. Tangannya tak pernah jauh dari lengan Adriel, senyum khasnya terpampang untuk kamera mana pun yang mengarah. Mereka seperti pasangan sempurna yang benar-benar sempurna."Aku butuh udara segar." Aku tak sanggup lagi melihatnya. Aku berbalik dan berjalan keluar menuju teras.Udara malam terasa dingin. Lampu-lampu Kota Harapana berkelap-kelip di bawah sana, seperti peta rasi bintang yang tumpah di langit gelap. D

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 6

    Setelah menutup telepon, aku menatap nomor yang diblokir itu, senyum dingin tersungging di bibir.Mengancamku? Apa dia benar-benar pikir nomor lain akan membuatku takut?Dia tidak akan pernah mengerti bahwa ada orang yang memang tidak bisa diancam. Terutama mereka yang tidak punya apa pun lagi untuk hilang.Dua hari kemudian, datang sebuah pesan dari Mia.[Bos lamamu sedang amburadul. Aku dengar dewan akan mengadakan rapat darurat untuk mempertanyakan kepemimpinannya.][Tanpa kamu, sistem keuangan Keluarga Mahendra benar-benar runtuh.]Aku meletakkan ponsel dan kembali mengurus portofolio klien. Sinar matahari hangat Altenburgia menembus jendela ke mejaku. Di sini, tidak ada kegelapan, tidak ada darah, tidak ada agenda tersembunyi. Hanya angka bersih dan keuntungan legal.Di Novarelle, krisis keuangan Keluarga Mahendra semakin memburuk."Bos, dewan menuntut rapat darurat." Suara Tio terdengar di telepon penuh kecemasan. "Mereka bilang kalau laporan keuangan bulan ini tidak seimbang, po

  • Bukan Bonekamu Lagi   Bab 5

    "Selamat, Nona Vivian."Pengacara itu mendorong setumpuk dokumen tebal ke arahku di atas meja."Perusahaan konsultan keuangan Anda resmi berdiri."Sinar matahari Altenburgia menembus jendela besar dari lantai ke langit-langit, menyinari meja baruku dengan hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian bulan, bagian hatiku yang retak mulai menyatu perlahan.Semuanya baru.Perusahaanku, identitasku, hidupku.Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, sebuah keputusan yang kutuju dengan sengaja. Firma baru ini harus dibangun dari awal, mencari kantor, merekrut staf, membangun klien. Setiap hariku kuisi penuh dari fajar hingga senja, tak membiarkan pikiranku tersesat.Dan tentu saja, aku tidak mencari berita apa pun tentang Adriel.Tapi Mia, seperti biasa, merasa perlu berbaik hati memberiku kabar terbaru dari dunia mafia Novarelle."Bos lamamu sedang banyak disorot akhir-akhir ini.""Lihat ini. Dia masuk berita utama lagi."Aku ragu beberapa detik sebelum mengeklik tautannya.Majalah Sosialit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status