“Kau tahu hal itu?”Tamara jadi sedikit tertohok mendengar Devran bahkan sudah tahu dirinya meminta orang mengawasinya.“Bahkan dinding kantor pun menjadi mata-mata mama," sahut Devran.“Oh, jadi karena itu kau pasti sengaja terlihat berpisah dengan Nayra untuk mengelabuhi mama?” Tamara balik menuduh.“Aku memang sudah berpisah dengan Nayra, Ma. Ini semua agar Mama tidak terlalu banyak dosa.”“Aku? Banya dosa? Apa urusannya dengan gadis itu?”“Berapa kali mama mencoba mencelakai gadis itu?" Tamara melengso ketika ditanya tentang hal itu. "Dia tidak tahu apa-apa, Ma. Dia hanya gadis polos yang sangat tidak beruntung masuk ke keluarga kita. Dan mama sudah sebegitunya memperlakukannya seolah penjahat internasional.” “Astaga, Dev? Kau pikir apa yang terjadi padanya semua itu karena mama?”“Ya. Apa mau aku kasih buktinya?”Devran tak mau basa-basi. Lalu segera mengambil ponsel dan menunjukan rekaman dua orang yang awalnya mengaku sebagai begal jalanan itu pada ahirnya mengakui semu
“Ki, bisakah ambilkan barangku yang tertinggal di apartemen Mas Devran?”Nayra menghubungi Kiki karena memerlukan jurnal kuliahnya. Dia tidak bisa datang ke tempat itu jadi meminta tolong Kiki mengambilkannya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak berani seenaknya masuk ke aparteman Pak Devran. Tapi kalau nyonya mau, saya akan antarkan.”Nayra merasa enggan datang kembali ke tempat itu setelah waktu itu diminta pergi oleh Devran. kata-kata Devran itu seperti lem yang lengket di telinganya. bahwa Devran kesal padanya dan ingin dirinya kembali ke Kota Diraja saja agar tidak merepotkannya.Bukankah itu sebentuk mengusirnya? Saat pulang kuliah, dia menghampiri Kiki yang sudah menunggunya. Nayra masih mencoba membujuknya. Jurnal itu sangat diperlukannya. “Biar aku kirim pesan pada Mas Devran, nanti kamu saja ya yang ambil?” tukas Nayra.“Baik, nyonya.” Kiki langsung melaju ke arah apartemen demi mengambilkan barang sang nyonya. Setidaknya pesannya sudah terkirim pada Devran dan terbaca
[Datang ke pengadilan agama nanti. Kalau tidak aku yang akan menyeretmu!]Pesan dari Ananda terbaca di layar ponsel Devran. Membuat pria yang masih memimpin meeting bersama para dewan direksi perusahaaannya itu tersenyum miring.‘Ada yang sok jadi pahlawan, nih?’ batinnya.Sebenarnya kesal. Kenapa pria yang sudah diasingkannya ke Oxford itu masih bisa juga pulang pergi untuk sekedar membantu Nayra menguruskan perceraian mereka.Seorang Ananda yang digilai banyak perempuan sejak dulu, nyaris tak pernah melirik mereka. Begitu kedatangan Nayra, sepupunya itu langsung ngebet pengen merebutnya.Sebegitu menarikkah pesona istri orang di mata sepupunya itu?Walau begitu Devran tidak akan mangkir dari surat panggilan itu. Dia juga sudah memikirkan semuanya dengan baik.“Agenda kita apa setelah ini?” tanya Devran pada sekretarisnya. “Anda diagendakan sudah membuat janji temu dengan pihak pengembang dari group TP. Di...”“Oke, aku masih ingat. Ini kelanjutan pembahasaan minggu yang lalu, kan?
“Tidak apa dok, biar mereka bicara dan selesaikan beberapa hal. Setelah ini mereka juga akan bercerai.” Aulia melihat wajah Ananda yang tak suka karena di sana Nayra dan Devran sedang mengobrol.Baru pria itu menoleh ke arah Aulia. Benar juga apa kata Aulia, mungkin ada hal yang harus diselesaikan di antara mereka. “Hmm, baiklah. Kalau begitu kita pergi saja. aku masih ada urusan.” Ananda bangkit.Entah sejak kapan dia tidak tahan melihat kebersamaan dua orang itu.Ananda menyuruh Aulia mengirim pesan pada Nayra bahwa mereka harus pergi sekarang.“Dokter Ananda akan pergi. Aku permisi dulu, Mas.” Nayra yang melihat pesan itu sedikit tidak enak.Lagi pula untuk apa juga dia masih berada di sini bersama pria yang akan digugatnya? Sementara pria yang selama ini membantunya, menyempatkan waktunya yang tidak luang itu, diabaikannya dan dibiarkannya pergi begitu saja.“Biarlah. Nanti juga ketemu lagi, kan?” Devran masih menahan.“Dokter Ananda sibuk. Dia menyempatkan waktunya untuk memb
“Nenek sudah pergi ke Edinburgh seminggu yang lalu untuk mengujungi makam kakekmu.” Wanita itu tampak senang melihat kedatangan Nayra.“Oh, Nenek sudah ke Edinburgh?” Nayra terkejut. Dia tidak tahu hal itu.Bagaimana juga dia tahu? Dia dan Devran tidak pernah berkomunikasi. Kecuali saat Nayra meminta izin mengambil jurnal kuliahnya. Yang malah memergoki dia dan kekasihnya itu mabuk-mabukan.‘Hhg. Selamat deh, Mas. Tunggu sebentar lagi kita bercerai,’ gumam Nayra dalam hati. Masih sempat-sempatnya dia memikirkan hal itu di depan Renata.“Nenek sementara tinggal di sini dulu sampai benar-benar pulih. Di sana juga banyak dokter yang lebih baik. Tapi nenek lebih suka pengobatan di tanah air saja. Di sini ada cucu-cucu nenek.” Wanita tua itu tersenyum dengan hangat.Dada Nayra terasa sesak. apakah wanita ini tahu bahwa hubungannya dan Devran sebentar lagi akan diakhiri?“Malam ini tidur di sini saja, yah?” Renata meminta kesediaan Nayra.“Eng...” Nayra bingung.Kalau menginap di rumah in
Duduk di depan meja rias, Nayra menyisir rambutnya sembari menatap pantulan bayangannya dengan melamun.Kenapa mesti kembali terjebak dalam keintiman semalam? Bahkan Nayra pun ikut menikmatinya. Di awal terus menolak, pada akhirnya malah yang memohon-mohon Devran agar menuntaskan kegiatannya. “Ada apa?” tanya pria itu menggugah lamunan Nayra. Dia berdiri di belakang Nayra dan mengelus bahunya sembari menatap wajah Nayra yang sepagi ini sudah bengong itu.“Mas Devran tidak mencintaiku, kita juga akan segera bercerai, kenapa masih melakukannya?” keluh Nayra.“Apa cinta itu harus selalu diucapkan?”Keduanya terdiam saling menatap bayangan masing-masing dari cermin di depan.“Aku tidak sepercaya diri itu. Mas terlihat lebih mencintai Damayanti dan tidak menginginkanku.” Matanya sudah memerah, membuat Devran melenguh dan berjingkat menghindari menatapnya.Devran duduk di tepi ranjang, dan Nayra masih bisa melihatnya dari cermin.“Damayanti ditangkap polisi karena sudah membulimu.”Nayra t
“Aku mendapat kabar penerbanganmu masih nanti sore. Jadi masih ada waktu untukmu menunjukan rasa terima kasihmu padaku.”Devran menatap Nayra yang tampak tak percaya, di detik perpisahan ini dirinya masih perhitungan dengan sebuah kata terima kasih Nayra.“Mas masih tega menginginkan hal itu padaku?”“Aku tidak memaksamu, kok.” Devran tampak cuek dan duduk di sofa ruang depan dengan santai. "Itu kalau kau merasa berhutang budi saja." Nayra menatap pria itu dengan perasaan yang campur aduk. Mau kesal atau protes, memangnya bisa? Permintaan untuk minta dilayani adalah sebuah penandasan seperti apa dirinya di mata pria mesum itu.Tapi, tidak apa. Bukankah mereka masih suami istri? Jadi, biarlah Nayra akan melayaninya. Biar dia merasa tidak punya hutang budi sekalian.Nayra masuk ke kamar dan membuka lemari bajunya. Mengambil lingeri dan memakainya. Dia berdiri di depan cermin sebentar lalu menghela napas.“Baik, Mas. Ini juga akan jadi kado terindah untuk Mas Devran,” ujarnya kemudian
“Lebih baik kita pulang dulu. Ini sudah malam, Nyonya. Udara di sini juga dingin.” Kiki menggugah ketertegunan Nayra. Dia benar, mereka harus pulang dulu.Ketika memasuki halaman rumahnya, Nayra memberitahu sopir mobil grab itu.“Pak rumahnya bukan yang ini, tapi yang di samping.” Tunjuknya pada rumah kecil di samping rumah yang kini mobil itu berhenti.“Nyonya, mapsnya bilang di sini?” Kiki yang malah membenarkannya.“Iya Ki, ini memang rumah kami. Tapi waku itu rumah ini masih sengketa. Lagi pula surat-suratnya juga kabarnya sudah diatasnamakan istri kedua ayahku dan putrinya,” jelas Nayra teringat perkara itu.Geram, sih. Tapi bagaimana lagi? Nayra malas berurusan dengan mereka. Sampai di titik, kalau memang mau ambil, ambil saja. Tidak mau terlibat ribut perkara dengan mereka lagi.“Kalau rumah di samp
“Buang saja kalau itu dari wanita iblis itu!” Renata langsung bereaksi keras mendengar nama Tamara disebut.“Ma?” Alana menenangkan mamanya.“Kau tidak lupa kan, karena dia cucu dan cicitku hampir celaka!” Renata masih tidak mau berkompromi.“Iya, Ma. Ludwig hanya menduga. Bisa jadi bukan.” Farah ikut menyahuti.“Tapi, aku yakin, kok. Itu dari Tamara.” Ludwig berkeras dengan pendapatnya.Bukan masalah hadiah itu mau dibuang atau tidak. Ludwig juga tidak akan menahan kalau saja semua orang tidak menyukai hadiah dari Tamara. Tapi dia tahu, Tamara akhir-akhir ini lebih banyak membisu dan tak suka banyak bicara. Diam-diam dia juga bertanya kabar putri Devran pada asistennya. Ludwig juga tak banyak bertanya tentang kondisi istrinya itu. Sejak kejadian itu, dia juga sebal dan mendiamkan Tamara. Hanya saja selama ini mereka masih serumah. Masih tidak tega dia meninggalkan Tamara dalam keadaan sakit. Kakinya yang dulu dioperasi harus kembali dioperasi lagi beberapa hari ke depan pasca keja
Bayi yang disepakati orang tuanya bernama Zahra itu, sudah hampir tiga bulan usianya. Tapi pihak keluarga belum mengadakan acara sekedar sukuran. Mereka mengikuti saran dokter agar bayi yang lahir sebulan sebelum hari perkiraan lahiran itu tidak boleh berinteraksi dulu dengan banyak orang agar higienitas terjaga.Kini setelah tiga bulan, bayi itu sudah bertambah gembuk dan menggemaskan. Keluarga Emeraldo sudah tidak tahan ingin mengenalkan pada dunia bahwa keluarga mereka punya putri yang cantik.“Kau tidak lupa menyuruh orang menjemput ustad untuk ikut mendoakan cicitku, Alan.” Renata memangku Zahra yang terlelap itu. Selalu saat melihat bayi itu, Renata beraca-kaca.“Iya, Ma. Sudah ada yang jemput, kok. Tapi kenapa malah nangis?” Alana mengelus lengan mamanya.“Aku orang yang paling beruntung, Alan. Masih bisa menggendong cicitku...” Renata terisak.Tangisannya itu mengusik si bayi mungil yang sedang tertidur. Mahluk kecil itu menggeliat, lalu menatap Renata dengan tatapan penuh
“Papa Ludwig sedang melihat cucunya, Mas. Biarin dulu!”Nayra meminta Devran untuk tidak mengusik pria itu. Devran mencuri-curi lirik pada pria yang tampak mengulas senyum sembari menempelkan telapak tangannya di kaca untuk menyapa cucunya. Dia sebenarnya sudah mulai respek pada ayah biologisnya itu. Setelah beberapa saat kemudian, Ludwig baru berjingkat. Namun sebelum beranjak pergi, masih terdengar dia berkata, “Kakek pergi dulu, mimpi yang indah ya, anak cantik!” Lalu ketika membalikan badan untuk pergi, seketika wajahnya terlihat terkejut mengetahui Devran dan Nayra ada di sana.Ada sikap canggung yang masih ditunjukan kediua pria itu saat saling bertatap muka. Sehingga Nayra yang harus mencairkan suasana.“Papa Ludwig?” Nayra mengulurkan tangannya untuk menyalimi mertuanya itu.Ludwig tersenyum menerima uluran tangan Nayra.“Tadi aku mengunjungi teman di rumah sakit, mampir jenguk putrimu.” Ludwig beralasan. Nampak masih menjaga image di depan Devran. Padahal dia memang d
Untung Nayra sudah menabung banyak asi sebelum dia lahiran. Jadi meski saat ini malah tidak bisa memberikan asi karena pengaruh obat, bayi mereka tetap bisa menikmati makanannya.Walau terlahir sebelum waktunya, untungnya seminggu perawatan membuat mahluk mungil itu perlahan bertambah bobotnya.“Anakku itu, Mas?” Nayra yang di dorong menggunakan kursi roda diantar Devran ke ruang NICU, melihat putri mereka dari dinding kaca.“Iya, Sayang. Dokter bilang perkembangannya pesat sekali.” Devran mengelus pundak Nayra dan mencium puncak kepalanya.Tatapannya beralih dari si mahluk mungil yang sedang terlelap di dalam sana menuju sang istri.Devran berlutut di samping Nayra dan menatapnya dengan berkaca-kaca.“Kenapa, Mas?” Nayra jadi ikut sedih melihat pria jutek dan dingin saat ini terlihat begitu melankolis.“Kau hebat sekali, Nay. Kau masih bisa menjaga putriku dengan baik di tengah terpaan masalah yang terus merongrongmu.”“Terima kasih banyak, Nay.” Devran menambahi sembari menciumi t
“Perlengkapan bayi?” Farah hampir terpekik. Rasanya campur aduk mendengar hal itu.Berarti bayi Nayra baik-baik saja? Mereka akan punya cucu dalam hitungan menit?“A-ada tidak, Ma? Beli di mana?” Devran sampai lupa kalau dia punya banyak asisten atau orang-orang di depannya ini juga dengan senang hati membantunya. Tapi malah mau beli sendiri. “Dev, biar aku minta Musa menyiapaknnya. Kau kebalilah ke dalam.” Alana langsung gerak cepat.“Tidak-tidak, Rudi ada di depan, aku akan memberitahunya untuk beli di koprasi rumah sakit saja.” Ludwig langsung menelpon asistennya.“Kelamaan, aku saja yang beli!” Farah langsung mengambil tasnya dan berjalan menuju koperasi rumah sakit untuk membeli perlengakapan bayi.Rasa kesal dan sebalnya sudah hilang. Kini sepanjang langkahnya diisi dengan rasa sukur bahwa sebentar lagi mereka akan menggendong mahluk mungil yang tangisannya akan selalu dirindukan.Dengan cepat mengambil keranjang dan memilih popok juga bedong dan lainnya. Tak lupa perlengkapan
“Hhg. Aku tak perlu mengatakannya dari mulutku, tapi dunia sudah tahu wanita seperti apa dirimu, Tamara. Mereka melihatmu yang culas dan ambisius. Apa kau masih butuh sebuah pernyataan dariku juga?”Farah bukannya menguntit semua berita tentang Tamara. Tapi, setiap dia membuka sosial media atau televisi atau saluran berita lainnya, nama baik Tamara seperinya sudah mulai hancur di mata para penikmat berita itu.Yang mereka tahu, saat ini Tamara menikahi Ludwig yang menjadi CEO perusahaan besar itu dan meninggalkan Alana karena tersingkir. Jadi saat ini hanyalah berita miring tentang kehidupannya saja.Sang ratu pesta yang kerap mengadakan jamuan mewah di kalangan para artsi ini, kabarnya pun mulai ditinggalkan setelah perselisihannya dengan sang model yang kini ikut menghujatnya di sosial media itu setelah bebas dari penjara. “Jangan sok tahu, kamu!” Tamara kesal.Nayra yang tahu kondisi mulai tidak kondusif langsung menarik lengan mamanya. “Ayo, Ma. Kita pergi! Nanti nenek cari
“Iya kalau Nayranya memang mau lanjut kuliah, Mas,” tukas Farah.“Jangan begitu. Kau harus semangati dia agar mau lanjut kuliah. Kalau mau, ke luar negri sekalian.”“Enggak yakin deh, Mas. Kalau Nayra mau kuliah ke luar negri. Dia ninggal anak sama suami. Pasti keberatan.” Farah sudah bisa menebak bagaimana keputusan putrinya nanti.“Devran pasti ngerti, kok. Dia juga bisa sambangi Nayra kapanpun dia mau.”Farah menatap Alana dengan heran. Lalu dia mengingatkan, “Jangan jadi orang tua yang egois, Mas. Kita serahkan keputusan pada Nayranya saja, Ya?”“Dan ingat, Nayra itu sudah menjadi tanggung jawab Devran. Apapun keputusannya nanti kalau Devran tidak mengiyakan, ya kita jangan terlalu ikut campur,” Farah menambahi.Alana tidak lupa itu. Dia pun hanya mengangguki kata-kata istrinya.Sementara itu Nayra yang masuk ke ruang kerja suaminya, memberi tanda bahwa dia mau bicara sebentar. Kebetulan Devran juga sedang tidak ada sesion bicara dalam rapat, jadi dia menekan tombol microphon un
Kabar yang didengar Nayra waktu itu, bahwa Ananda langsung di rujuk ke rumah sakit Singapura untuk proses penyembuhan luka bakarnya.Dia hanya berharap semoga pengobatannya lancar saja.Seperti suaminya yang sudah mengikhlaskan perbuatan Ananda, dia juga seharusnya tidak bersikap yang sama.Kali ini bertemu dengan Yasmin di sebuah mall, Nayra pun menyapanya.Mereka ahirnya memutuskan mengobrol di sebuah kafe. “Sudah berapa bulan kandunganmu, Yasmin?” tanya Nayra memulai pembicaraan melihat kandungan wanita itu juga sudah besar.“6 bulan, Nay,” ujarnya mengelus perutnya. Lalu balik bertanya pada Nayra tentang usia kandungannya.“Ini jalan 8 bulan, sebulan lagi sudah mau lahiran,” tukas Nayra tersenyum. Mengingat sebulan lagi dia akan melihat bayinya terlahir di dunia ini, Nayra jadi tidak sabar.“Kau beruntung, Nay. Pak Devran mencintaimu dengan sepenuh hati.” Bekata begitu Yasmin menunduk.Mungkin teringat dosanya sudah pernah ingin menjebak Devran agar dirinya bisa melempar tanggun
"Memangnya ada apa, Ma?" Nayra masih menunggu sebuah jawaban karena kedua orang yang ada di hadapannya itu tiba-tiba terdiam."Oh, Nay bukan apa-apa kenapa kamu penasaran begitu?"Farah memulas wajahnya dengan senyum agar putrinya itu tidak terus mendesaknya menjelaskan sesuatu. Dia masih takut Nayra belum bisa menerima sebuah kebenaran saat memorinya hilang. Pasalnya dokter pernah berpesan agar Naira tidak stres dulu. Itu akan berakibat fatal untuk kehamilannya."Iya, Sayang. Ini sudah malam sebaiknya kamu beristirahat di kamar saja tidak baik ibu hamil begadang sampai tengah malam."Naira masih menatap keduanya menyiratkan rasa ketidakpuasan karena mereka sama sekali tidak menjelaskan sesuatu padahal jelas-jelas tadi dia mendengar mamanya mengatakan hal yang membuatnya penasaran.Untungnya panggilan di ponsel Alana menjeda ketegangan mereka."Devran?" kata Alana membuat Farah dan Naira tiba-tiba kompak memperhatikannya."Sebentar saya angkat panggilan dulu," ujar Alana sembari melan