Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k
Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al
Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru
Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak
Entahberada di mana aku sekarang, sekeliling bahkan langit dipenuhi kabut tebal seputih salju. Tapi anehnya, tidak ada rasa dingin atau sesak napas sama sekali. Sebuah kekuatan menuntun supaya aku melangkah dan melangkah.Tidak terdengar suara apa pun, aroma yang bagaimanapun sebagai tanda-tanda adanya kehidupan. Kosong. Seperti dimensi lain yang sengaja dipersiapkan hanya untukku.Mungkinkah sekarang ....Iya, pasti tidak salah lagi. Sekarang aku berada di alam sesudah kematian. Alam impian bagi yang selama hidup terus mendapat kebencian kedua orang tua."Naya, kembali. Belum saatnya kamu berada di sini!"Aku tersentak, mengikuti naluri untuk mencari asal teguran yang telah menggagalkan sebagian niat terus berjalan. Berbalik badan, kudapati seorang laki-laki dengan ketampanan nyaris sempurna, berpakaian sebagaimana panglima perang zaman kejayaan raja raja tanah Jawa.Ia tersenyum, sesekali ujung ikat kepala berwarna keemasan itu melambai se
Cling!Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku, dengan teguran sangat mengejutkan."Ciyee, habis ngadu, ya?"Aku yang tersentak kaget, seketika menoleh, menggeser duduk agak jauh saat menyadari satu hal; ia adalah orang dalam mimpiku, yang baru saja menjadi cerita tidak seru."Kenapa takut? Aku ini manusia beneran sepertimu. Bukan kaleng-kaleng, loh!" lanjutmya copy paste kalimat. Lantas terpingkal-pingkal melihatku yang sudah mati kutu ketakutan."Aku juga sudah mendengar cerita semuanya, Tenang saja, nggak bakalan marah, kok!""Cuma ... kasihan sekali, cerita gadis cantik cuma dianggap angin lalu. Hahaha." Ia terus saja meledek.Astaga, kok serba tahu dan santai banget, sih? Manusia jenis apa dia?"Manusia purba!" tandasnya, seolah pikiranku adalah buku terbuka yang bisa dibaca sambil lewat.Sebelum ia kembali menebak pikiran lagi, kuberanikan duri bertanya langsung."Kamu, kenapa ... kenapa dari tadi seolah ta
Tidak ada rasa takut sekarang, drama pecah botol parfum dan melihat hantu tadi, berhasil menciptakan kesal tersendiri. Siapa pun dia, memang tak ada akhlak.Kulewati laki-laki berpakaian serba emas yang menyelipkan senjata panah itu, dengan acuh. Masuk kamar dan sebisa mungkin membereskan pecahan kaca serta isinya. Meski ia bersikeras minta maaf, aku tidak peduli.Namun ...."Mencari apa? Parfumnya di meja," ucapnya, lantas duduk di tepi ranjang.Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjukkan. Dan, terbelalak keheranan. Botol kaca berisi cairan harum berwarna ungu muda yang tadi pecah, sudah kembali seperti sedia kala. Utuh, berikut isinya.Beberapa kali mengerjap, hasilnya tidak berubah. Parfum itu memang kembali utuh."Kok bisa?" gumamku."Mudah saja. Bahkan aku bisa sekejap mata mengantarmu ke kota," jawabnya ringan."Kamu ... bisa mengantarku ke kota dengan cepat?" tanyaku. Lenyap sudah kemarahan tadi bersama ... sebut
"Lagu tadi pakai bahasa Inggris, bahasa asing orang luar negri."Kaivan mengangguk, lebih mengerti mungkin."Kamu pernah menikmati makanan di alam manusia?" Sekarang ganti aku yang bertanya."Belum. Aku hanya mendengar saja," jawabnya."Ayo beli makanan! Pilih saja, aku yang traktir."Sengaja tidak kugunakan kata 'cari makan' nanti kepo lagi. Dan, sebelum Kaivan menjawab apa pun, aku sudah menarik tangannya ke jajaran stand di sekitar alun-alun.Berkeliling, membaca satu per satu spanduk di tenda-tenda penjual makanan, tidak ada yang menarik minatnya. Entah apa makanan laki-laki tampan ini di alamnya. Sampai di depan sebuah gerobak mi ayam, dia mengajak berhenti.Aku yang mengerti maksudnya langsung memesan dua porsi mi ayam dan dua gelas es campur.Hitungan menit menunggu, pesanan kami datang. Tapi, Kaivan justru terlihat bingung."Pakai tangan boleh, Nay?" tanyanya berbisik.Aku menutup mulut seketika, setengah