Berikan pendapat kalian soal cerita ini ya.
“Lo jadi ikut casting?” Gina sedang sarapan bersama Mbok Yem saat aku pulang. Aku mengambil gelas dan menuju kulkas. “Ini akan jadi awal yang bagus untuk karierku.” “Yang benar saja?” Gina hampir melempar sendok tapi diurungkan karena harus memasukkan potongan daging ke dalam mulut. “Gue rasa lo akan langsung dapat piala FFI. Penipu ulung. Jago drama.” Dia tertawa lebar. Namun, aku tak menanggapi. “Omong-omong, Mbak Tami mau casting film apa? Romantis? Aksi? Atau, apa? Tayang di televisi atau bioskop?” Mbok Yem bertanya. Aku mendekati meja makan dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu. “Mbok, kalau menurutmu apakah aku cocok jadi pemain film drama?” “Jadi pemain utama?” Mbok Yem bertanya dengan serius. “Bukan! Jadi ibu tiri yang kejam,” sahut Gina. “Muka kayak Tami ini cocoknya peran jahat, Mbok. Kalau jadi tokoh utama, bisa-bisa nggak laku filmnya.” Mbok Yem menghela napas. “Tapi, memang Mbak Tami lagi digosipkan sama orang-orang. Pembantu kompleks sebelah, kapan lalu berte
“Semakin banyak serigala yang kamu punya, semakin kuat pula posisimu di alam liar.” Kalimat ini aku kutip dari sebuah buku karya penulis terkenal, Bulan Merah. Pertama kali aku membaca buku karya penulis misterius ini adalah saat menemani Gina memeriksakan giginya di klinik dokter gigi langganan kami. Bu Rinda, dokter gigi kami mengoleksi banyak buku dalam berbagai bahasa yang ditata rapi di ruang tunggu, untuk bisa dinikmati oleh para calon pasien. Dan sejak saat itu, aku menjadi penggemar berat Bulan Merah. Dalam bayanganku, Bulan Merah adalah seorang perempuan yang pemberani, kuat dan penuh hasrat. Dia selalu menggambarkan tokoh di mana seorang perempuan menjadi sentral bagi keberlangsungan cerita. Mulai dari seorang ibu yang menyelamatkan anaknya dari penculikan, seorang pedagang asongan yang menggagalkan penjualan organ anak-anak jalanan dan banyak cerita lainnya. Meskipun penggemar cerita misteri di Indonesia cukup jarang dan kurang laku, tapi buku Bulan Merah sangat terkenal.
Viviane menatapku dengan sangat kasihan, aku tidak suka ini tapi sebaiknya memang harus aku manfaatkan. “Kamu membenci orang tuamu, Tami?” “Hah? Apa?” “Karena mereka meninggalkanmu, apakah kamu membenci mereka?” Benci? Bagaimana mungkin aku bisa membenci ayah dan ibuku? Jika pertanyaaan ini diberikan kepadaku sebagai Tami, maka aku akan menjawabnya ‘ya’ tapi sebagai diriku yang lain, aku justru hidup untuk mereka. Orang tuaku rela hancur demi aku. Demi peran, aku menjawab, “Kadang.” “Kadang kamu benci mereka? Ya, itu wajar. Tidak seharusnya seorang anak ditelantarkan setelah ada. Kau tahu, teman bibiku memilih menggugurkan calon bayinya karena tak siap punya anak. Dulu aku pikir itu egois tapi sepertinya tidak. Itu pilihan. Pilihan paling bijak.” Pemikiran macam apa ini? Apakah dia gila? Dia memang sama gilanya dengan Tio. Mereka terlalu menyepelekan nyawa manusia lain. Aku muak dengan pembicaraan ini. “Anjas memintaku supaya punya banyak anak seperti keluarganya tapi aku meno
“Selamat datang!” Seorang wanita tua berambut putih sebahu menyambut kami di depan pintu. “Bagaimana perjalanan kalian?” “Baik, Nek!” Viviane mencium pipi kanan perempuan itu, lalu disusul oleh Anjas. “Bagaimana kesehatanmu, Nek?” “Seperti yang kalian lihat, aku sehat. Cepat masuk! Yang lain sudah menunggu.” “Oh iya, Nek, perkenalkan ini sahabatku!” Viviane merangkul bahuku. “Namanya Tami.” Si perempuan tua memperhatikanku selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Aku Yuni, pengurus tempat ini. Selama kamu di sini, bersenang-senanglah tapi jangan sampai tergoda oleh para pria mesum di dalam. Percayalah, mereka berbahaya.” “Baik, Nek!” jawabku sambil tersenyum kecil. Berbahaya? Akulah pemilik bahaya sesungguhnya di sini. Sudah banyak korban tumbang sepanjang karierku sebagai predator. Tidak! Kata itu terlalu kasar, aku bukan predator tapi pekerja. Semua yang datang padaku cuma-cuma, tak ada paksaan. Malah, mereka membayarku. Mereka memberiku uang untuk bersenang-senang. Usia
Tanpa menunggu jawaban, Viviane menerobos kamar dan mulai mengobrak-abrik isi lemari yang ternyata sangat-sangat banyak. Baju-baju itu memang sudah agak kekecilan untuk Viviane tapi pas di badanku. Hanya saja, bukan tipekal pakaian yang aku suka. Terlalu banyak pakaian kenakak-kanakan, warnanya terlalu terang dengan motif bunga dan binatang. “Bagaimana kalau yang ini saja?” Seperti dugaanku, Viviane memilihkan kaos pendek di atas pusar dengan gambar beruang dan celana jins di atas lutut. “Astaga, kamu mau aku pakai ini?” Dia mengangguk yakin. “Kenapa? Tidak usah cemas, kita semua juga pakai baju santai. Sore ini, kita hanya akan bersantai dan berenang.” “Berenang? Selarut ini?” “Kenapa, tidak?” jawabnya. “Ya sudah, cepat pakai baju ini. Aku akan turun duluan dan membantu yang lain menyiapkan makanan.” Yang benar saja? Aku mengangkat baju yang dipilihkan oleh Viviane lalu menelan ludah kasar. Pakaian ini sangat tidak sopan, meskipun sebenarnya aku juga sering mengenakan pakaian
Persaingan di dunia hiburan memang tidak mudah, terlebih saat tidak punya bekal. Akan tetapi, paling tidak jika tak punya bakat akting, untuk bisa menjajal industri adalah dengan punya banyak pengikut. Selebihnya, menyusul. Namun, Denira berbeda. Dia memulai karier sebagai bintang anak-anak dan berakhir memenangkan penghargaan tertinggi dunia perfilman Indonesia. Banyak dari film yang dia mainkan adalah film festival. Bukan film komersil biasa. Dan tampaknya dia juga tak sesombong kawan-kawannya. Mungkin selain karena ayahnya pegawai tingkat menengah, juga karena untuk berada di pencapaian ini dia harus bermandikan darah. Dia agak mirip denganku. “Boleh aku makan daging ini?” tanyaku. “Silakan. Omong-omong, sambalnya enak. Tidak pedas. Aku yang membuatnya.” “Benarkah?” Aku menusuk daging babi panggang itu dengan garpu, mencocolnya ke dalam sambal dan memakannya. Lemak yang segar meleleh di mulut. “Kamu memang sempurna, Denira. Cantik, berbakat dan pandai membuat makanan lezat.” “
“Dia kakek buyutku!” kata Anjas sambil tersenyum malu-malu. “Kamu pasti sudah tahu mengenai rumor soal seberapa tampan mendiang kakek buyut kami. Tapi sayangnya, hanya ini lukisan yang tersisa dari masa muda Eyang. Bahkan foto-foto beliau juga tidak kami miliki.” “Kenapa?” tanyaku dengan nada penuh keprihatinan. Anjas menoleh dan menepuk-nepuk pundakku. “Dulu, rumah ini pernah terbakar. Dua kali. Yang pertama saat Eyang masih muda, lalu yang kedua terjadi pada tahun tujuh puluhan.” “Ya. Aku pernah mendengar soal itu.” “Meskipun sempat dirawat selama seminggu, kecelakaan kedua itu juga menewaskan Eyang.” Anak ini terlalu banyak bicara, mirip dengan Angga tetapi semakin dia banyak membuka mulut secara cuma-cuma, semakin banyak informasi yang bisa aku dapatkan tanpa usaha. “Jadi, apakah bangunan ini …, maksudku bangunan yang sekarang adalah hasil renovasi?” Anjas mengangguk lemah. “Begitulah. Banyak yang berubah di sini. Di sesuaikan dengan selera paman tertua kami. Beliau yang meme
“Lo nuduh gue jurnalis yang menyamar?” Aku mulai paham alurnya. Juna menoleh. “Memang, kan?” “Bukan! Gue bukan jurnalis.” “Lalu? Kenapa mengambil gambar?” “Ini Eyang Sari, kan?” Aku menunjuk foto tersebut dan mencoba membangun alur paling tepat. Berhasil, kini Juna kelihatan bingung. “Dia eyang gue.” “Lo cucu Eyang Sari?” Aku mengangguk, dan sejujurnya ini tidak terlalu salah karena menurut para pengurus panti, semua anak di sana adalah ‘cucu eyang’. “Kenapa ada foto Eyang di sini?” “Nggak mungkin!” “Kenapa lo ketawa? Ada yang lucu?” Juna menatapku selama beberapa detik lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Mana mungkin dia eyang lo? Jangan asal bicara. Tahu apa lo soal beliau?” “Gue memang cucunya. Eyang Sari punya panti asuhan, kan? Beliau punya satu anak perempuan bernama Bu Galuh?” “Lo anak Bu Galuh?” Matanya sekarang membulat, kaget. Aku sambil memasang tampang meyakinkan mengangguk. “Kalau nggak percaya, mau gue teleponkan?” Juna lagi-lagi menatapku tapi kali ini penuh