Deg! Jantungku berdetak dengan cepat. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Apakah harus kukatakan semua tentang Mas Haikal? Tapi aku takut badan ibu makin drop. Aku memandang ke arah bapak.
"Ibu, ibu coba ibu lihat, ini anak-anak Mila, cucu kita. Lucu-lucu kan mereka?" Bapak mendekat sembari menggandeng si kembar.
"Nah, Daffa-Daffi ini nenek. Beri salam pada nenek," sergah bapak.
Si kembarku mencium punggung tangan neneknya. "Assalamualaikum, Nek."
Ibu tersenyum sembari mengangguk lemah. "Waalaikum salam."
"Ini yang digendongan Wulan juga cucu dan ibu lho!"
"Boleh ibu menggendongnya?" tanya ibu dengan lirih. Ibu bangkit dari tidurnya dan duduk.
Wulan mendekat, dia menyerahkan Alina pada ibu. Ibu tersenyum. Meskipun tangannya gemetaran, ibu tampak antusias memangku cucunya.
"Alina cucu nenek, cantik sekali kamu, Nak," puji Ibu sambi
Rasa letih begitu mendera. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu menyiksa. Semenjak terluka karena dikeroyok preman, badan jadi sering sakit. Apalagi uangku sudah ludes tak bersisa. Untuk akomodasi aku sampai meminjam uang Farhan. Malu sebenarnya, tapi dari pada kelaparan terpaksa aku meminjam uangnya.Mentari sore di ufuk barat, bersiap untuk bersembunyi ke peraduan. Menjelang maghrib, aku baru pulang ke rumah.Berharap istri dan anakku menyambut di teras, namun harapan itu hanya semu belaka. Rumah seperti tempo hari, gelap dan sepi. Apakah Mila dan anak-anak sedang pergi lagi? Jangan-jangan menemui laki-laki itu?Gegas aku membuka kunci rumah. Semua ruangan begitu gelap. Kunyalakan saklar lampu, akhirnya ruangan jadi terang. Kondisi rumah begitu sunyi senyap seperti tempo hari. Kenapa aku merasa dejavu?Ruangan tampak begitu rapi, tak ada perabot ataupun mainan yang berserakan. Bersih layaknya tak be
Rasa kesal langsung merajai diri. Bisa-bisanya istriku pergi dengan orang lain. Langsung kuhubungi nomor asing itu, ia dapatkan dari mana dan siapa dia sebenarnya, namun sayang panggilanku tidak digubrisnya.Tak lama pesan dari nomor itu datang lagi.[Jangan percaya sepenuhnya pada istri yang dianggap polos, justru dia bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri][Siapa kamu? Jangan fitnah! Kalau berani angkat telepon saya!][Kau tak perlu tahu siapa saya, akan saya kirimkan gambar lain yang lebih membuatmu tercengang]Selang beberapa detik, pesan itu datang lagi, berisi kiriman foto antara Mila dan juga Denny. Foto yang pertama tadi dipotret dari jarak yang jauh hingga terlihat jelas kalau mereka sedang berada di Bandara.Ting! Satu foto Mila dan Denny tengah bersama, mereka tampak akrab.Ting!Satu foto lagi Denny sedang menggandeng si kembar Daf
"Apa maksudmu, Mil?"Mila terdiam, tangannya begitu cekatan membuatkan teh manis untukku."Ini diminum dulu, habis perjalanan jauh pasti kamu capek," ujar Mila. Ekspresinya tampak begitu dingin.Aku memandang sekeliling, bangunan ini masih tampak seperti dulu, tak ada yang berubah. Sedari tadi bapak dan ibu tak terlihat di rumah. Denny juga sepertinya sudah pergi tak kutemui disini, apa mereka cuma kebetulan bersama?"Bapak sama ibu mana, Mil?" tanyaku sembari menyeruput teh yang masih panas itu."Bapak ada di kebon, lagi cari sayuran sama singkong. Kalau ibu ada di makam.""Apa maksudmu, Mil? Ngomong yang jelas dong.""Mas, ibu sudah meninggal," ucap sebuah suara dari belakang. Aku menoleh, Wulan mendekat sembari menyerahkan Alina pada Mila."Meninggal?"Wulan mengangguk. "Iya, ibu sudah meninggal kemarin. Setelah Mbak Mi
"Pak, aku minta maaf. Tapi kedatanganku kesini untuk menjemput mereka pulang. Bapak seharusnya tidak mencampuri urusan rumah tangga anak bapak sendiri. Ini masalah aku dan Mila, Pak!""Begitu kah menurutmu, Mas? Kalau gitu kamu juga harus bilang pada ibu supaya tidak mencampuri urusan rumah tangga kita," sanggah Mila."Tapi itu berbeda, Mil.""Kenapa berbeda? Apa kamu mau bilang biarpun sudah menikah anak laki-laki tetap milik ibunya?""Mil--""Sudahlah Mas, aku sudah bosan mendengar kata-kata andalanmu itu. Aku kurang sabar apa coba? Dulu aku tak pernah mempersoalkan nafkah yang diberikan untukku. Aku tak pernah mengungkit-ungkit hal itu. Aku tak apa-apa. Tapi sikapmu yang tak adil membuatku berontak. Untuk istri dan anak-anakmu kau begitu pelit sedangkan untuk ibu dan saudaramu kau begitu loyal. Jujur aku iri. Sebenarnya kamu menganggap aku apa, Mas?"Sekarang Mila justr
Terpaksa aku ikut kembali bersama Mas Haikal. Dia mengancam akan memisahkanku dan anak-anak. Aku benar-benar takut Mas Haikal akan merealisasikan ancamannya itu. Dia berduit, hal apapun bisa dia lakukan termasuk menyewa pengacara mahal untuk memojokkanku. Sedangkan aku? Aku belum punya persiapan atau kekuatan apapun untuk melawannya. Harus kuurungkan niat kembali untuk berpisah dengannya. Aku tak ingin anak-anak tumbuh tanpa mengenalku. Aku tak ingin mereka tersiksa."Pak, maaf. Mila memilih kembali bersama Mas Haikal, tolong doakan Mila agar Mila kuat. Doakan juga agar Mas Haikal benar-benar bisa berubah," lirihku saat berpamitan dengan bapak."Bapak yakin kamu bisa melewatinya dengan baik. Terus berdoa pada Allah, sang Maha pembolak-balik hati. Jangan menyerah ya Nak. Demi anak-anakmu kamu pasti kuat."Aku mengangguk, walaupun sebelah hatiku merasa perih."Wulan, kamu nanti bikin nomor rekening ya.
Selalu saja itu yang ibu ucapkan sebagai kalimat andalannya. Aku sampai bosan mendengarnya.Aku berjalan menghampiri mereka sembari meletakkan masakanku diatas meja. Sayur asem, ikan goreng, tempe dan tahu, lalapan, sambal terasi yang menggugah selera."Bu, memang benar apa yang ibu katakan. Biarpun sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kewajibannya sebagai seorang suami yang utama adalah menafkahi istri dan anaknya, baru kerabatnya yang lain. Kalau ibu belum paham bisa tanyakan hal ini pada pak ustadz," selaku.Ibu menatapku tajam. "Kamu gak usah ikut campur, Mil! Sok tahu kamu!""Sudah Bu, sudah! Aku tidak ingin berdebat lagi dengan ibu. Maaf, bulan ini aku tidak bisa ngasih ibu uang, habis buat bayar utang. Udah ibu pulang aja.""Ck!" Ibu berdecak kesal. Ia kemudian melenggang pergi, tapi tiba-tiba kembali lagi."Mil, bungkusin lauk
Aku tersenyum. Ah biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Yang penting aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan."Tuh lihat Bu, dia malah tersenyum. Belagak tenang kayak gitu. Terlebih dia gak nyanggah apa yang kita tuduhkan, jadi pasti semua itu benar! Kita harus kasih tahu hal ini pada Haikal, Bu. Enak aja Haikal punya istri murahan seperti dia!" sungut Mbak Indah yang makin kesal.Ibu hanya melengos, menatap sinis ke arahku."Hei Daffa-Daffi, kamu dikasih jajan apa sama ibumu?""Banyak budhe, ada es krim, roti--""Ish budhe-- budhe, panggil aku aunty, okey. Budhe terlalu tua.""Sudah Mbak bicaranya? Kalau sudah aku mau masuk dulu. Kasihan anak-anak sudah capek," ucapku santai.Netra Mbak Indah justru membeliak kaget. "Kamu ngusir kami?"Aku hanya mengedikkan bahu. "Maaf ya Mbak, Bu, aku gak punya waktu buat meladeni amarah kalian.
"Haikal, kamu kok malah diem aja sih! Kakakmu butuh bantuan tenaga, tapi istrimu gak mau bantu! Ngomong sesuatu kek!" tukas ibu mertuaku kesal"Bu, benar juga lho ucapan Mila. Anak-anak kami siapa yang akan jaga kalau Mila masak di tempat Mbak Indah. Daffa-Daffi mungkin masih bisa main sendiri, tapi Alina masih sangat kecil. Dan Mbak Indah kan orang kaya, sepertinya gak susah tuh kalau cari orang buat masak-masak, tinggal kasih bayaran yang sesuai aja kan beres.""Huh, jadi sekarang kamu sudah kena racun si Mila ya! Belain terus istrimu itu!"Ibu yang merasa kesal akhirnya pergi, apalagi Mas Haikal menanggapi ucapan ibu dengan membelaku. Awalnya dia hanya memandangku dan ibu secara bergantian."Sudah ayo sarapan, Mil. Jangan dengarkan ucapan ibu. Ibu kan sudah biasa seperti itu."Aku tersenyum, akhirnya untuk pertama kali, Mas Haikal membelaku."Makasih, Mas."