Wawancara itu berakhir dengan impresi yang buruk, menurutku. Aku tidak yakin aku bisa mendapatkan beasiswa itu. Teledornya aku untuk tidak mengingat persis hari untuk wawancara. Aku akan menyesali ini, sangat menyesalinya…
Aku tiba di depan laboratorium beberapa menit sebelum jam 8. Namun, tidak ada keanehan yang aku lihat di sana. Meskipun jantungku gugup karena khawatir akan kemungkinan intimidasi saat aku di dalam.
“Kenapa mereka memintaku datang?” gumamku heran. Apa maksud para asisten laboratorium ini?
“Zihan?” suara itu mengejutkanku. Aku berbalik ke sumber suara.
“Kak Yahya?” tanyaku tidak percaya.
“Kenapa kamu ke sini malam-malam?” tanya Kak Yahya, wajah menyelidik.
“Kakak d
Aku melihat ke arah laki-laki yang berjenggot lebat dengan postur yang sedikit gemuk itu.“Karena Arrow baru masuk, dia harus kenalan dulu,” komentar Pak Azhar.“Setuju,” jawab Bu Kaynara. Laki-laki yang dipanggil Pak Arrow itu tampak sedikit bingung, sebelum tertawa kesal.“Haduh haduh, dasar ya Azhar. Oke deh. Nama panggilan Arrow. Nama asliku gak penting kan? Males banget kenalan nama asli, apalagi perusahaan pake nama panggilan,” balas Pak Arrow. Pak Azhar menyorot tajam.“Heh, yang bener dong kalo kenalan!” tegurnya dengan gaya galak. Sepertinya disengaja.“Iya. Sok sokan nama asli gak penting lagi. Jangan-jangan nih si Shad dapat sifat dia dari elu Row!” tegur Bu Kaynara.&ldqu
Selesai tahajud, aku melihat Kak Yahya membawa sajadah dan memakai pakaian lengan panjang. Aku pun menatapnya heran.“Mau ke mana… mas?” tanyaku dengan wajah merah merona.“Masjid. Sebelum bertemu denganmu, aku mungkin bisa dibilang sekuler, tapi bukan berarti aku lalai,” jawab Kak- Mas Yahya. Eh, sekuler?“Maksudnya!?”“Bukan apa, Zihan. Kalau orang mengenalku sekilas kala bertemu di masjid, mereka akan mengira aku alim. Semenjak kejadian itu, aku sudah menanggalkan semua kealimanku di dalam jiwa,” komentarnya. Berarti…“Penampilan menipu,” komentar Kak Yahya lagi, “jika aku tidak pernah bertemu denganmu, selama itu pula aku akan terus membohongi diriku. Aku hanya menjalankan ibadah sebagai ritual,
Sore harinya, Mas Yahya pulang dari kampus. Aku meluangkan waktuku memasak nasi dan telur ceplok untuknya. Aku juga memasak dan makan makanan yang sama untuk makan soreku sebelum dia pulang.“Assalamu’alaikum,” ucapnya saat masuk ke kos. Aku pun bergegas membawa masakanku seraya menjawab salam.“Wa’alaikumussalam!” jawabku seraya menuruni tangga dengan hati-hati. Mas Yahya menunggu sampai aku berada di lantai bawah.“Kamu tidak perlu turun, Zihan,” ucapnya. Aku menyerahkan piring berisi nasi dan telur itu.“Ah, sebegitu manisnya,” balasnya menerima piring itu. Dia pun meletakkan nasi itu di meja terdekat, lalu mencuci tangannya. Setelah itu, dia duduk di kursi dekat meja tadi dan mulai makan dengan lahap. Aku mengambilkan Mas Yahya segelas air dan meleta
Papan FTEI tampak heboh siang ini. Aku yang sedang berjalan malas ke laboratorium melihat sorotan penasaran warga-warga junior ke arahku. Ada apa?Biasanya, aku abai dengan urusan papan FTEI, tapi sepertinya kali ini berhubungan denganku. Apapun itu, aku berharap bukan rumor tidak jelas yang menjadi viral. Aku pun mendekati papan itu dan warga-warga memberiku jalan.‘Waduh, apa ini gan? Asisten killer lintas angkatan punya pacar gelap ternyata cuy. Cantik lagi oi. Katanya angkatan maba lagi.[Foto]Ternyata asisten killer kita demen maba-maba cantik cuy. Apakah ada maba lainnya?-Za Yongki’Aku menatap tajam kearah kertas itu. Mas Yongki, mahasiswa semester 11 dan terkenal sebagai pusat rumor. Dia menyebarkan berbagai rumor tidak
“Dan kamu seharusnya jadi iblis kedua,” komentar Pak Arrow. Aku terkejut.“Apa? Dengan segala hormat pak-” kalimatku dipotong oleh Pak Arrow.“Rahima memendam rasa nyaris dua tahun. Waktu satu sesi pengakraban saat dia kerja praktik dulu, aku menemukan informasi ini. Secara teori, kamu jahat dengan memilih menikahi Zihan,” komentar Pak Arrow lagi.“Lalu, kenapa bapak datang waktu itu!? Saya ingat persis Bu Kaynara, Pak Azhar, dan bapak sendiri di sana!” balasku ketus. Pak Arrow tersenyum.“Kalau bukan karena Rahima sendiri yang meminta, aku mungkin sudah tidak datang,” komentar Pak Arrow, “karena saya tahu dia sakit melihatnya.”“Maksud bapak, bapak yang bilang ada kesibukan itu?” tanyaku.
Kamis pagi pun tiba. Ruangan itu sudah ramai dengan mahasiswa. Tidak hanya dari FTEI, tetapi fakultas lain pun bergabung. Mereka sampai menyewa gedung besar yang sering dipakai untuk riset ini khusus untuk seminar ini. Tampak dua narasumber sudah tiba di depan panggung. Aku melihat Pak Arrow dan Pak Azhar hadir di ruangan itu. Tanganku siap dengan catatan.“Rame banget,” keluh Alsya yang duduk di sampingku. Riris menganggukkan kepala.“Iya, ternyata untuk umum,” komentarku. Aku melihat seorang laki-laki yang duduk sebagai moderator dalam pembawaan seminar kali ini. Beliau pun membuka acara saat waktu dimulai telah tiba.“Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Hari Nugra, dosen yang dalam perhelatan hari ini akan menjadi moderator dalam seminar ini. Saya s
Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita
Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal