LOGINAnggi ditinggal pacarnya menikah dengan wanita lain saat dirinya sudah menyerahkan keperawanan sehingga membuat dirinya hamil dan memutuskan pergi dari rumahnya
View More"Aku tidak bisa menikahimu.”
Kalimat itu menghantam dada Anggi seperti palu godam. Tubuhnya membeku di teras rumah Ardi, sementara dirinya masih menggenggam sebuah kotak cincin beludru merah marun—cincin yang harusnya melingkar di jari manis mereka sebagai tanda sah tujuh tahun hubungan. Angin bulan Maret menusuk kulit, namun dinginnya tak sebanding dengan rasa yang merayap ke dadanya. “Ulangi,” suara Anggi gemetar. “Tadi kamu bilang apa?”kata Anggi Ardi menunduk. Sebuah amplop putih tebal tergeletak di meja. Tangannya meraih amplop itu dan menyodorkannya pada Anggi, tanpa sanggup menatap mata perempuan yang telah menemaninya hampir seperempat hidupnya. “Aku… akan tanggung jawab semuanya. Kehamilanmu, biaya hidupmu. Tapi aku tidak bisa menikahimu.”ucap Ardi Amplop itu terayun begitu dekat di hadapan Anggi, seakan cinta bisa ditukar dengan lembaran rupiah. Anggi menatapnya lama, lalu tertawa. Tawanya getir, patah, seperti kaca yang pecah. “Ini lelucon? Kau pikir anak di kandunganku ini bisa dibayar?” ucap Anggi sambil membuka kotak cincin, menunjukkan perak berukir nama mereka. “Tujuh tahun, Di. Tujuh tahun aku percaya sama kamu.”ucap Anggi Ardi memejamkan mata, menahan napas dalam. Tatapannya kemudian beralih ke halaman kosong, menghindari Anggi seperti pengecut yang menanti pengampunan dari Anggi “Ang… aku dijodohkan. Ayahku sakit keras. Dia minta aku menikahi putri sahabatnya—pemilik perusahaan besar. Ini demi masa depan keluarga.”Ucap Ardi kemudian “Demi masa depanmu, maksudmu,” sahut Anggi cepat. Suaranya meriap tajam. “Lalu aku dan anak ini apa? Kesalahan? Sampah yang harus dibuang?”tanya Anggi Ardi mencoba meraih tangan Anggi, namun Anggi menepis kasar. “Aku tetap akan bertanggung jawab—”ucap Ardi. “Tanggung jawab?” suara Anggi meninggi, matanya basah. “Kalau itu namanya tanggung jawab, kau tidak akan memberiku amplop. Kau akan menikahiku.” Perempuan itu menghempaskan amplop ke dada Ardi. Uang berhamburan jatuh ke lantai seperti serpihan harga diri. “Ambil uangmu. Aku bukan perempuan murahan yang bisa dibeli.”ucap Anggi dengan emosi Ardi terdiam, sementara Anggi melangkah mundur dengan air mata yang mulai jatuh ,air mata yang ia tahan selama berminggu-minggu. “Aku janji, aku akan datang jenguk kamu dan anak kita. Aku akan ada—”Kata Ardi Anggi menghentak kaki. “Kau tidak akan ada! Kau sudah memilih menjadi suami orang lain. Dan aku… akan memastikan anakku tidak mengenal seorang pengecut sepertimu.”ancam Anggi Anggi melempar kotak cincin tepat ke dada Ardi, lalu berbalik dan lari. Nafasnya memburu, dadanya sesak, tapi ia tidak menoleh ke belakang sama sekali. Seolah menoleh berarti mengakui dirinya kalah. Saat Anggi berlari, satu hal yang ia rasakan hanyalah denyut kecil di perutnya. Maafkan Ibu… tapi kita harus pergi. kata Anggi TIGA BULAN KEMUDIAN Berita pernikahan Ardi memenuhi media sosial. Gaun mewah. Senyum bahagia. Caption panjang tentang cinta dan restu keluarga. Anggi menutup layar ponselnya sambil menahan mual—sebagian karena kehamilan, sebagian karena rasa jijik. Desas-desus mulai terdengar di kampung kecil itu. “Makanya jangan pacaran lama-lama kalau nggak jelas.” “Anaknya siapa nanti? Kasihan orang tuanya.”sindir ibu ibu julid Ibunya menangis setiap malam, ayahnya sulit menatap mata Anggi. Rasa malu menggerogoti rumah mereka. Malam itu, Anggi berdiri di depan kamar orang tuanya. Ia mengecup kening ibunya yang tertidur sambil memeluk surat kecil. “Maaf, Ma. Pa. Anggi janji akan kembali saat sudah sukses.” Ia melangkah keluar dengan ransel lusuh, membawa sisa uang hasil menjual perhiasan peninggalan neneknya dan tekad untuk bertahan. Di stasiun bus, ia memandang langit. Tidak ada yang bisa lebih menyakitkan daripada ini… kan? KOTA BESAR Ternyata lebih kejam. Anggi melamar pekerjaan ke mana pun ia bisa. Toko roti, restoran, pabrik. Namun setiap kali pewawancara melihat perutnya yang mulai membesar, jawabannya selalu sama: “Maaf, kami akan menghubungi nanti.” Tidak ada yang menghubungi. Uang makin menipis. Ia makan sekali sehari. Pusing sering datang. Suatu malam, perutnya seolah memeras isi tubuhnya dari dalam. Lapar. Pusing. Putus asa. Ia berjalan tanpa tujuan, melewati lorong-lorong kota yang diterangi lampu neon. Lalu matanya menangkap papan nama yang mencolok: THE RED DRAGON CLUB Lampunya menyala merah–ungu–biru, berkedip-kedip seperti sedang memanggil. Anggi berhenti. Ia tahu tempat itu—tempat perempuan dijual seperti barang hiburan. Tempat di mana harga diri bisa hilang hanya dengan satu keputusan. Ia menelan ludah. Tidak… jangan sampai seperti ini. Namun perutnya menegang. Janinnya seakan memberi sinyal: lapar. “Maaf… Nak,” bisiknya pelan. Suara musik dari dalam klub memecah pikiran. Tawa laki-laki. Dentuman bass. Gemerlap dunia yang tidak seharusnya disentuh. Anggi memejamkan mata, air mata menetes. Jika ia tidak masuk, ia mungkin tidak makan malam ini. Jika ia masuk, ia mungkin tidak pernah kembali menjadi Anggi yang dulu. Dengan napas terputus-putus, ia menyentuh gagang pintu. Perlahan, ia melangkahkan satu kaki ke dalam dunia gelap itu. Namun suara seseorang dari belakang menghentikan langkahnya. “HEY! Kamu hamil? Kamu tidak boleh masuk ke sana!” Anggi tersentak. Ia menoleh dan— Matanya melebar. Sosok yang berdiri beberapa meter di belakangnya adalah seseorang yang tidak pernah ia duga akan muncul di kota ini. Seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang tahu semua rahasianya. Anggi membeku. Lantai klub memantulkan cahaya merah darah. Dan dunia Anggi—sekali lagi—berubah.Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti
Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan
Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.