Udara dingin menyelimuti Coast Mansion sejak dini hari hingga menjelang tengah hari. Nancy memaksakan dirinya bangun dari ranjang, mengenakan pakaian serba hitamnya serta menggulung rambutnya dengan cepat. Sesak di dadanya kambuh sejak terakhir kali dia keluar dari Woodstock.
“Nancy! Aku melarangmu untuk pergi kemanapun. Dokter mengatakan kalau kau butuh istirahat setidaknya sampai seminggu ke depan.” Seorang pria menerobos pintu kamar Nancy dengan wajah marah.
“Aku sudah terlalu lama beristirahat, Uncle Gabriel. Pastor di gereja itu – dia juga sakit. Aku harus membawakan obat untuknya.” Nancy memohon dengan mata berkaca-kaca.
Pria yang dipanggil dengan sebutan uncle itu berperawakan tinggi dengan kumis lebat melintang di bawah hidungnya. Gabriel, Nancy dan puluhan orang lainnya merupakan pelayan mansion yang tinggal di bangunan belakang mansion mewah itu. Gabriel adalah yang tertua di antara mereka sekaligus menjabat sebagai kepala pelayan.
“Akhir-ak
Richie menaikkan tatapannya dari pistol mini yang ditodongkan Patty, beralih ke wajah gadis itu.“Kelihatannya itu Bobcat-ku yang terlupakan.”“A – aku menemukannya saat membereskan celanamu. Tadinya aku berniat mengembalikannya kepadamu.”“Seharusnya begitu.”“Tidak! Aku tidak akan mengembalikannya sampai kau menjalankan mobil ini.”“Cerdas! Bisakah kau turunkan itu sekarang?!” Richie menggeram menakuti.“Aku janji tak akan menyusahkan kalian. Aku sudah membawa tas berisi uang tabunganku selama ini.” Patty mengangkat tas kainnya tinggi-tinggi.Richie menoleh kepada Jack. “Well, kita akan punya teman perjalanan yang menarik dan dia punya uang.”“Uang tidak pernah menjadi masalah bagi kita, bung!” ucap Jack mengejek hati Richie yang seketika melembek. “Jangan pernah mengijinkan seorang wanita terlibat dalam urusan lelaki.&
Beberapa meter lagi mereka akan sampai ke area penambangan. Patty menepuk bahu Richie dan menyuruh pria itu berbelok. Patty menyarankan kepada Richie untuk memarkirkan mobil mereka di belakang rumah rumah kayu yang terletak agak jauh dari tempat itu.Mengikuti saran Patty, Richie keluar dari jalan utama menuju area tambang ke salah satu belokan yang membawa mereka pada rumah kayu yang dimaksud. Lanskap berdebu terbentang di sepanjang jalan yang mereka lewati. Mereka juga dihadapkan pada kubangan yang berbau dan panas.“Belerang?” Richie bergumam. Dia mulai meragukan ingatan Patty.Seolah bisa membaca pikiran Richie, Patty kemudian berkata, “Aku tidak mungkin salah. Di sana – di sebelah kanan.”Richie melajukan mini van-nya melewati kubangan belerang dan berjalan lurus mengikuti arah jari telunjuk Patty. Seperempat kilometer makin jauh dari tujuan mereka, sebuah rumah seperti yang digambarkan Patty muncul dalam jarak pandang.
Richie menekan klakson kuat-kuat, membangunkan penjaga pos keamanan yang tertidur. Pria gemuk itu terbangun gelagapan. Topi yang menutupi wajahnya terjatuh dan terinjak kakinya sendiri. Pria itu buru-buru menarik tali portal penutup gerbang, tanpa menaruh kecurigaan kepada dua orang pria di dalam truk.Richie menyetir truknya dengan santai melewati gerbang penjagaan. Memutar stir, menghindari jalan ambles dan berbelok ke arah kanan menuju bangunan serupa gudang. Beberapa orang pria nampak berdiri di depan bangunan tersebut sambil bertolak pinggang.“Satu, dua, tiga – ada sepuluh orang pria,” bisik Jack.“Dua di antaranya bersenjata,” sahut Richie. Tatapannya tertuju pada dua orang pria yang terlihat paling percaya diri.“Kalaupun tidak, mereka pasti jago berkelahi. Aku jadi tidak sabar untuk membuktikannya.” Jack meremas kepalan tangannya.Richie tersenyum datar. “Aku akan turun lebih dulu. Tugasmu me
Pria itu menatap Richie lekat-lekat selama beberapa detik lebih lama, lalu dia mengibaskan tangannya menyuruh Richie untuk pergi dari hadapannya. Richie melirik pada Davis yang tidak bereaksi apapun selain tersenyum tipis tanpa emosi. “Terima kasih untuk uangnya. Aku akan menyampaikan pesan yang anda katakan tadi kepada Matthias. Sekali lagi – terima kasih.” Richie memasukkan gepokan uang ke dalam lipatan jinsnya dan membalikkan badannya. Dalam perjalanannya menuju truk, Richie masih bisa merasakan adanya ketidakberesan, tapi tentu orang-orang itu tidak akan berani melakukan apapun karena Jack mengawasi mereka dari dalam truk. Richie melompat masuk ke dalam truk dan menghidupkan mesinnya. Perlahan tapi pasti, Richie memasukkan gigi, memutar stirnya dan memundurkan kendaraannya. Lalu berbelok dengan yakin. Truk bergerak menjauhi gudang. Richie dan Jack belum mengatakan sepatah katapun hingga akhirnya kecurigaan merekapun terjadi. Dua letusan tembakan d
“Geledah mereka!” Seorang pria lain yang baru saja datang memberikan perintah dengan suara serak yang mengancam. Kedua orang yang menyeret Richie dan Jack menggelegah mereka. Meraba-raba dengan kasar dari ujung kepala hingga ujung kaki mereka. “Clear!” kedua pria penggeledah itu berseru kompak. “Mau kita apakan mereka, Tuan Wilson?” Mendengar nama yang disebutkan salah seorang pria itu, Richie dan Jack saling melirik satu sama lain. Terutama Jack – dia patut merasa bangga karena akhirnya bertemu dengan mantan suami dari wanita yang telah membuatnya berkeringat. Wilson mendekati Richie dan mendongakkan wajah Richie untuk menatapnya. Dalam sekejap Richie menemukan keganjilan dari cara pria itu memperhatikan wajah serta tubuhnya. Kemudian dia berpaling kepada Jack yang sedari tadi mendelik tajam kepada Wilson. Dia juga dapat merasakan ada yang aneh dengan pria itu. Jack sudah ingin membongkar tentang kepuasaannya bermain-main dengan Berna
Patty mendorong pintu rumah kayu itu dan masuk ke dalamnya. Berbeda dengan penampilan luarnya, bagian dalam rumah itu – meski kosong – tapi terlihat lebih bersih. Patty menerawangkan pandangannya ke langit-langit rumah. Saat itulah seorang pria berdesis dekat lehernya. “Patricia Carol? Kau merindukanku, sayang?” Tenggorokan Patty tersekat, mengenali suara pemuda di belakangnya. Namun sebelum dia sempat membalikkan badannya, mulutnya lebih dulu dibekap dengan sebuah kain berbau menyengat. Patty hampir kehilangan kesadarannya, namun cukup bersyukur karena pemuda itu lebih memilih menyumpal mulutnya dengan kain bau itu ketimbang membiusnya hingga pingsan. Mata Patty membulat dan mulutnya berusaha meneriakkan nama "Theo", agar pemuda itu melepaskannya. Tetapi itu merupakan usaha yang sia-sia. Theo meracaukan banyak hal tentang obsesinya terhadap Patty dan kekesalannya karena gadis itu terlalu jual mahal. Tangan pemuda itupun mulai meraba-raba bokong Patty dan men
“Shit!” Richie mengumpat. Matanya lurus menatap tubuh mungil yang setiap inchinya telah begitu dia kenal. Diseret seorang pemuda berbadan kurus dengan langkah terburu-buru.Jack yang masih menjejakkan kakinya ke tubuh Wilson juga menangkap sosok Patty yang terseret-seret dan menengok tajam kepada Richie. Sedangkan dua orang yang telah di hajar Richie hanya bisa meringis kesakitan, tak berani beranjak dari posisinya.“Harusnya aku sudah membunuh pemuda itu sejak pertama bertemu!” geram Richie ketika matanya mengenali sosok pemuda itu.“Kalau begitu lakukan saja!” seru Jack memprovokasi.“Kau yang akan melakukannya, soldier.” Richie melemparkan pistol rampasannya kepada Jack yang ditangkap dengan sigap oleh tangan berotot pria itu.“Bagaimana kalau meleset dan aku mengenai kekasihmu?” ucap Jack menggoda Richie.Richie mengacuhkan Jack. Dengan langkah kaki lambat dan pasti, Richie mela
Alarm berbunyi nyaring memekakan telinga. Derap langkah sepatu bot bersahutan dengan suara alarm. Patty mencengkeram tangan Richie, air matanya telah kering namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Jack berlari meninggalkan Wilson serta dua anak buahnya dan berdiri mengapit Patty di antara mereka “Are you okay, little girl?” tanya Jack kepada Patty. “Kau berhutang goresan di pelipisku,” jawab Patty dengan suara serak – percampuran antara lelah, cemas takut dan aneka emosi lainnya. “Dia benar. Kau harus membayarnya,” sahut Richie. “Whatever, mate! Aku berhitung – peluruku hanya tersisa tiga butir.” “Damn!” Serombongan pria, sebagian bertelanjang dada dan sebagian lagi mengenakan jumpsuit bengkel, berjalan ke arah gudang dengan membawa bermacam benda di tangan mereka. Senjata api atau senjata apapun yang bisa mereka raih. “Ri – Richie!!” Patty merogoh kantung jins-nya. “Aku belum menggunakannya – sama sekali. Isinya