Entah mengapa, tetapi suara-suara itu terus mengangguku. Semakin aku ingin tahu, dari mana asal suara itu, mereka justru terus berdatangan dan membuatku bingung. Hingga akhirnya, aku kembali ke fase trauma psikologi ini.
“Caramel…,” teriak Bisma ketika aku pingsan di pangkuannya.
Tanpa bertanya lagi, Bisma menggendongku dan segera membawaku ke ruang Kesehatan perusahaan ini. Dokter perusahaan memeriksa kondisiku, dengan catatan yang Bisma katakana, bahwa aku sering mengalami hal ini.
45 menit kemudian, aku tersadar dan mulai membuka mata. Aroma ini, sangatlah nyaman, berbeda dengan ruang Kesehatan lainnya. Jari jemariku perlahan bergerak, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.
Seseorang dengan jas dokter kemudian menghampiriku. Begitu juga dengan Bisma yang tersenyum lebar melihatku siuman.
“Caramel, bagaimana keadaanmu?” tanya Bisma meme
Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan pria kripik seblak di swalayan itu. Mungkin rasa kesalku masih tersa sampai sekarang, karena pria itu mengambil jatah kripik seblak pertama yang seharusnya jadi milikku.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu sembari makan beberapa kripik seblak di tangannya.“A-ku, sedang bekerja. Bagaimana denganmu paman? Kenapa kamu ada di perusahaan besar ini?” tanyaku mengumpulkan kepercayaan diri bahwa telah di terima di perusahaan ini.“Aku bekerja di perusahaan besar ini. Dan satu lagi, aku tidak mengambil keripik seblak milikmu, tapi aku membelinya karena kamu mengizinkanku, oke,” jelas pria itu sembari membenarkan kacamatanya.“Baiklah, paman. Tapi, bisakah kamu membagi keripik itu. Aku, belum sarapan pagi ini. Karena mereka menyuruhku untuk datang pagi sekali. Aku akan menunggumu di ruangan kepala departemen pemasaran, oke,” pintaku kemudian be
“Dia adalah sekretarisku, aku akan membawanya,” ucap Ravi dengan kuat meraihku dan membawaku pergi.Dengan tubuh yang masih gemetar, sepucuk ingatan lamaku muncul. Rasanya seperti mengalami de javu. Aku ingat, Ravi pernah berjalan bersamaku seperti ini sebelumnya.“Permisi,” ucapku kemudian berhenti ketika hendak masuk kedalam lift.“Jangan berbicara. Ikutlah denganku,” perintah Ravi kemudian melangkah maju ketika pintu lift terbuka.Pada awalnya, ku kira dia hanya ingin membawaku pergi ke unit kesehatan. Namun ternyata, dia membawaku pergi dengan mobil hitamnya. Karena parkiran mobil berada di basecamp, suara petir hampir tidak terdengar.Aku mengencangkan sabuk pengaman dan perlahan menarik napas dalam-dalam. “Ku mohon, Caramel. Tenanglah.” Aku sudah berlatih, mengucapkan kalimat itu berulang kali sejak terakhir bereaksi histe
“Mengapa kamu kembali?” tanya seorang wanita berkalung berlian, yang terus menatapku tajam dengan tangan bersimpah darah.“Entahlah. Bukankah kamu merindukanku,” jawabku tersenyum lebar sembari perlahan mendekatinya. Menatap wajah itu, membuat hatiku tercekik sekaligus haru dalam waktu bersamaan.“Tidak, kamu tidak boleh ada di sini. Pergilah,” teriak wanita itu menodongkan sebilah kaca yang lebih dahulu menggores tangannya.“Diamlah. Mendengar ocehanmu membuatku makin muak, Tante.”Moment yang selalu ku nantikan, kini menjadi kenyataan. Semilir angin menembus jendela kayu jati yang setara dengan harga sebuah mobil baru, membuat ruangan ini menjadi ruangan utama pewaris keluarga konglongmerat. Namun, lagi-lagi aku merasa putus asa sekaligus kecewa. Moment berharga ini telah sirna sesaat setelah aku mengetahui kebenaran yang selama ini menghilang dari diriku.***“Aaa…,” teria
Suasana kota yang tadinya dingin karena hembusan udarah malam, kini menjadi sedikit memanas karena perdebatanku dengan gadis itu. Dia terus-menerus mencelaku, karena menyebutnya wanita murahan. Aku bisa memaklumi hal itu, tetapi jika dia berani menyentuhku, tentu aku tidak akan tinggal diam.Plakk…“Sakit kan, itu akibatnya jika mulutmu tidak bisa di jaga,” cacinya setelah menamparku keras kemudian mengibaskan rambutnya tanda puas dengan perbuatannya kepadaku.“Rosa, apa kamu memotret dari sisi yang sempurna?” tanyaku sesaat telah menerima tamparan tangan kotor wanita ini sekaligus membuatnya kebingungan.“Tentu, ini sangat sempurna. Pakailah ini,” jawab Rosa menghampiriku dengan kamera dsrl di tangannya, kemudian memberikan sweater kepadaku.“Jadi, Ketrin Anastasya. Putri tunggal dari presdir Jaya Mako, rela membagikan selebaran dengan pakaian seksi, hanya untuk tersenyum dan teraw
Melihat dosen itu tergeletak karena mabuk, aku berniat untuk membatalkan pekerjaan ini. Namun, aku akan kehilangan rupiah jika menolak job terakhirku hari ini. Kemudian, aku meminta bantuan kepada beberapa pegawai bar, untuk membawanya masuk ke dalam mobil.“Terima kasih,” ucapku kemudian masuk ke dalam mobil. Aku mengikuti alamat yang tertera di GPS, dan segera mengantarkan dosen muda ini, agar aku bisa cepat-cepat pergi.“Tagihannya sudah masuk, silakan di bayar,” ucapku kemudian keluar dari mobil meninggalkannya yang mulai terbangun dan sesekali melepaskan kacamatanya.“Oke,” ucapnya keluar dari mobil dengan tubuh sempoyongan karena mabuk berat yang menggerogoti kesadaran dosen itu.Belum sempat melangkah, dosen muda itu kemudian terjatuh. Sebenarnya aku tidak peduli karena pekerjaanku sudah selesai. Namun, aku memikirkan banyak kemungkinan, jika dia terus tergeletak di sana.Akhirnya, aku membantunya berdiri
“Itu tidak mungkin,” ucapku menutup panggilan dengan tubuh gemetar seakan tidak percaya dengan kabar .Mata yang tadinya bisa melihat dengan jelas, kini kabur seakan-akan tidak ingin melihat apapun lagi. Tubuhku terasa lemas seketika setelah mendengar kabar mengerikan itu. Telinga yang tadinya baik-baik saja, kini terus menggema keras tanda penolakan akan kebenaran yang telah ku dengar.***Aku melangkah perlahan ketika tiba di rumah sakit. Bahkan ketika aku sadar, seharusnya berlari dan menjerit sekuat tenaga pada momen ini, bukanlah sesuatu yang berguna lagi untukku. Seakan-akan aku sudah tidak memiliki harapan apapun lagi.“Caramel, apakah kamu baik-baik saja?” tanya perawat Mira berdiri di depan sebuah ruangan kaca sembari menatapku sedu.“Di mana Bibi?” tanyaku perlahan mengangkat kepala dengan tetesan air mata yang masih bergelinang deras di kedua pipiku.“Masuklah,” jawab perawat Mira me
Belum genap 24 jam, sejak kesedihan dan duka akibat kepergian bibi merongrong diriku. Kini aku tersentak oleh kenyataan, bahwa kekasih yang selama ini ku puja berselingkuh tepat dihadapanku bersama wanita lain.Aku terdiam beberapa saat melihat wanita itu membuka pintu apartemen Riko tanpa busana, melainkan hanya berbalut selimut putih yang tidak lain adalah kado dariku saat aniversari kami yang pertama. Ku pikir, selimut itu nantinya akan menjadikanku ratu ketika hubungan kami selangkah sebih serius.Namun kenyataannya, aku menghadiakan selimut untuk pria picik yang ku hidupi selama ini, hanya untuk dipakai bersenang-senang dengan wanita yang sama piciknya dengan dirinya.“Siapa kamu?” tanya wanita itu mengivaskan rambutnya tepat setelah melihatku terdiam dengan tatapan kosong.“Di mana Riko?” tanyaku singkat perlahan mengepalkan kedua tangan sembari menggigit bibir.“Sayang, ada yang mencarimu,” panggil wanita
Mungkinkah ini akhir dari takdir pilu yang ku alami. Yang terus-menerus datang tanpa welas asih, dan menggerogoti harapan tulus yang terus ku panjatkan setiap harinya. Dinginnya air sungai tidak sebanding dengan kesunyian yang ku alami.Air ini seakan-akan berbicara kepadaku, jika dunia terlalu pemilih untuk manusia lemah seperti diriku saat ini. Gelapnya kedalaman sungai kini mulai membuaku merasakan kehampaan paling mengerikan.“Caramel.” Dalam gelap dan heningnya sungai ini, aku mendengar satu suara yang sepertinya pernah ku dengar sebelumnya. Aku melihat seorang wanita muda berenang ke arahku. Dia menggapai tubuhku dan berusaha menyelamatkanku, tetapi aku pun tidak bisa melawan kehendak tubuhku yang lemah dan mulai menutup mata rapat-rapat.***“Apa kata dokter?” tanya seorang wanita dengan blazer hitam yang bangkit dari sofa, ketika seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan ini.“Ini buruk,” jawab laki-laki i