~~~***~~~
Hari dimana perhelatan pernikahan Irfan dan Desi digelar mewah dua hari dua malam. Ayu benar-benar terpuruk, tidak keluar kamar, tidak makan dan hanya sekedar minum, ia terus memejamkan matanya membuat Asih dan Maman khawatir. Asih sampai menangis tersedu-sedu setiap menghampiri kamar Ayu, dan mendapati Ayu selalu dalam keadaan tertidur.
"Mak, telpon Kirana aja, biar Ayu dibawa ke Jakarta. Bapak gak bisa lihat Ayu seperti ini." Maman serak. Ia duduk disamping ranjang Ayu dan mengelus rambut anak semata wayangnya dengan sedih.
Asih mengangguk seraya menyusut airmata yang menetes dipipinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja dadanya sesak melihat kondisi Ayu. Tapi mereka tidak punya pilihan, kan? Daripada menikahkan Ayu dengan Irfan, Ayu akan lebih menderita. Lebih baik dicegah dari sekarang.
~~~***~~~
Ayu menggeliat terbangun. Perutnya berteriak minta diisi karena sudah beberapa hari ini ia tidak makan. Salahnya juga sih yang memilih tidur terus. Tapi, siapa juga yang mau bangun. Membayangkan sang mantan sedang belah duren dengan istrinya membuat sesak didadanya semakin menjadi-jadi. Jadi daripada dia semakin stress, lebih baik dia tidur saja.
Bola matanya membelalak lebar saat beradu tatap dengan sosok yang duduk di kursi disamping tempat tidurnya. Bibir itu mencibir sinis.
“Kirana, kapan kamu datang? Kok gak ngabarin Ayu?" Ayu menjerit, ia senang sepupunya ada disini. Dipeluknya Kirana si judes yang tak jua tersenyum sedari tadi. Memang sih, dari semua sepupu Ayu, hanya Kirana ini yang paling judes meski sebenarnya hatinya baik.
"Gue udah datang dari sejam yang lalu. Gue bangunin berkali-kali, tapi lo belum bangun juga. Lo tidur apa mati sih?"
Ayu memukul lengan Kirana, sepupunya yang berusia setahun dibawahnya itu sebal." Lambemu, ya? Dari kemarin aku tuh bergadang, makanya bangun kesiangan terus." Ayu beralasan.
"Semua orang juga bisa nebak lo lagi stress. Emang enak dikhianatin teman sendiri. Tambeng sih dari dulu dibilangin kagak percaya juga. Syukurin deh sekarang kena batunya."
Uwaknya memang sudah menjelaskan sekilas keadaan Ayu sekarang yang ditinggal menikah mantan kekasihnya. Mana menikahnya sama sahabat dekatnya pula. Bukannya simpatik atau kasihan, Kirana malah mengejeknya habis-habisan. Bukannya sejak dulu ia sering mengingatkan Ayu supaya jangan terlalu dekat dengan Desi karena batinnya merasa Desi bukan teman yang baik. Tapi Ayu tak pernah mempedulikan. Sekarang Ayu baru menyadari bulu serigala yang tersembunyi di balik bulu dombanya.
Ayu melempar bantal disampingnya ke arah Kirana, kesal.” Heran, sepupu yang paling kurang ajar cuman kamu doang.” Sayang, Kirana mengelak dan bantal itu jatuh ke lantai begitu saja.
“Sengaja, kalau gak digituin, lo kagak nyadar juga. Sekarang udah dikhianatin, paling dibaikin dikit, langsung maafin lagi. Capek deh!”
“Apa sih? Ya gak lah, Ayu gak bakal mau nerima Desi lagi. Semua udah berakhir!”
“Gak percaya, kamu itu kan gampang banget dibohongin.” Kirana balik meledek. Ia mengambil bantal di lantai dan melemparnya balik ke Ayu.
Ayu sebal setiap Kirana mengungkit masa lalunya. Seandainya masa lalu bisa diulang, ia juga tak sudi menjadikan Desi teman dekatnya. Teman yang selalu ia jadikan tameng menemani Irfan saat ia sedang tak bisa menemui Irfan karena ada urusan. Tapi ternyata belakangnya menggigit.
"Udah ih, jangan ngeledekin Ayu terus." Kirana terkekeh melihat raut wajah Ayu yang cemberut.
Pluk ..
Bantal itu mengenai wajah Ayu. Ayu marah lalu balas melempar bantal. Jadilah mereka saling melempar bantal sambil tertawa puas sampai akhirnya Ayu kelelahan sendiri dan perang bantal pun berakhir.
“Eh kata uwak lo mau nyari kerja kan? Kebetulan lagi ada lowongan. Kalau lo mau, tar gue yang masukin.”
“Seriusan lo mau bantuin gue?”
“Iye, gue bantuin. Kasihan gue ama lo abis ditinggal mantan kawin. Haha …”
Ayu menjerit histeris saking senangnya. Ia tak peduli Kirana terus-terusan meledeknya. Ia bahkan mencium kedua pipi Kirana saking senangnya. Kirana menjerit-jerit karena jijik dicium Ayu. Ayu tertawa terbahak-bahak
Kedua orangtua Ayu senang sekali akhirnya Ayu ceria lagi. mereka pun membantu menyiapkan segala keperluannya. Setelah selesai menyiapkan semuanya, Ayu mandi dan makan. Setelah mandi wajahnya terlihat lebih segar. Asih dan Maman bahagia karena Ayu bisa bangkit kembali, meski jauh dalam hatinya mereka sedih harus berpisah dengan anak semata wayang mereka. Maman memberikan Kirana amplop, untuk ganti Ayu makan selama di Jakarta, yang tentu saja Kirana tolak. Namun akhirnya ia menerima juga karena uwaknya bersikukuh memaksanya.
Tepat pukul 8 pagi, mobil Kirana melaju meninggalkan pekarangan rumah Ayu. Ayu bertekad akan memulai hidup baru di tempat tinggalnya yang baru nanti. Saat melewati rumah Desi, tanpa sengaja Ayu melihat Irfan dan Desi keluar dari rumah itu. Entah feeling atau apa, tiba-tiba Irfan memandang mobil dimana Ayu duduk. Bola mata mereka bersirobok untuk sesaat, sebelum Ayu memalingkan wajahnya ke depan, memutus aksi saling tatap-menatap diantara mereka. Entah mengapa bulu kuduknya meremang ditatap Irfan setajam itu.
Mobil melaju cepat dijalanan itu, meninggalkan dua pasang mata yang menatap mobil itu dengan arti pandangan yang berbeda-beda.
~~~****~~~
Ayu dan Kirana tiba di rumah bibinya sore hari. Mamang dan Bibinya bahagia sekali dengan kedatangannya. Ayu menyalami mereka namun dibalas Sri dengan pelukan.
“Ya ampun si Neng makin cantik aja. Gemes bibi sama kamu.” Ayu tersipu malu dipuji seperti itu membuat Sri terkekeh.
“Apa kabar Emak Bapak dirumah?" Mamangnya kali ini berbicara.
"Alhamdulilah sehat, Mang. Katanya salam buat Mamang sama bibi. Mereka gak bisa ikut kesini bareng soalnya masih ada urusan. Besok mereka nyusul kesini."
Mereka asyik mengobrol beberapa saat kemudian sampai Kirana memberikan amplop titipan Asih. Tentu saja Sri menolaknya dan mengembalikannya kepada Ayu tapi Ayu juga menolaknya. Kalau Sri menolaknya, Ayu mengancam akan mengontrak. Akhirnya mau tak mau Sri menerima amplop itu.
"Kamu mau makan atau apapun bebas ya, terserah. Ga usah gak enak, anggap aja rumah sendiri. Soalnya bibi kan ga selalu di rumah, sibuk dagang. Trus Mamang juga sibuk nyupir online. Jadi kalau mau apa-apa, kerjain sendiri ya."
Ayu mengangguk. Mereka masih mengobrol beberapa lama kemudian, sampai Kirana pamit membawa Ayu ke lantai dua dimana kamarnya dan adik bungsunya berada. Kirana menunjuk lemari pakaiannya dimana Ayu mesti meletakkan pakaiannya.
"Di kota itu banyak cowok gantengnya, jadi gue yakin lo pasti bakal cepet move on. Apalagi calon bos lo, beuh, gantengnya kebangetan. Banyak yang deketin dia tapi semuanya ditolak, karena dia udah punya tunangan. Type cowok idaman banget, ganteng, setia, padahal pacarnya ada di luar negeri. Tapi lo jangan godain dia ya, soalnya bentar lagi dia nikah." Kata Gadis berkulit putih itu sambil merebahkan dirinya diatas kasur.
Ayu menggeplak tangan Kirana gemas,” emang siapa yang mau godain dia sih? Mikirin cowok aja males. Jangan rese deh.” Tangannya bergerak membereskan baju-bajunya ke dalam bagian lemari yang masih kosong.
“Ya kali, saking lo ngebet pengen kawin, tunangan orang diembat juga. Hahaha …” Kirana tertawa puas bisa menggoda Ayu terus. Ayu itu kan sensitive, jadi diledek gitu aja biasanya dia sedih banget.
Kirana heran karena Ayu tak menyahutinya seperti biasanya. Ia menengok ke arah gadis berkulit kuning kecoklatan yang sedang bengong didepan lemarinya. Kirana berdecak kesal, ia yakin Ayu masih mengingat mantannya.
"Hello." Kirana menjentikkan jarinya didepan wajah Ayu, membuat Ayu tersentak. Ia nyengir saat Kirana memelototinya tajam." Bengong lagi? Pasti mikirin Irfan, kan? Kayak gak ada cowok single aja mikirin laki orang. Pamali woy, wakaka .."
"So toy ah, siapa juga yang mikirin dia."
"Dari mukanye udah kelihatan. Mending lo cepet kerja aja deh. Biar ga melulu mikirin mantan."
Ayu mengangguk saja biar cepat. Ia sedang malas beradu pendapat. Ia baru merebahkan setengah tubuhnya dikasur saat Kirana menjerit-jerit padanya.
"Jangan tidur lagi, kebo banget sih, lo. Lo bikin surat lamaran kerja sekarang, biar gue cepet kasihin ke orangnya." Kirana menarik Ayu dari kasur. Tapi gagal karena badan Ayu yang jauh lebih besar darinya.
"Iyaa ..." Ayu bersungut-sungut malas tapi ia beranjak juga mencari surat-surat penting yang memang sengaja dibawanya dari kampung. Umurnya 22 tahun dan ia belum pernah bekerja dimana pun, kecuali bantuin Emaknya jaga toko kelontong di pasar disebut kerja.
Kirana sudah keluar dari ruangannya sejak tadi karena ia harus menemui temannya untuk rapat reunian. Ayu membuat surat lamaran kerja, meniru sampel surat lamaran yang Kirana berikan. Gadis manis itu berharap kesibukannya membuatnya melupakan mantannya. Tak lama ia sudah selesai membuat surat lamaranya dan berniat menyimpannya di lemari. Ia membuka lemari baju tempat dimana bajunya dan baju kirana berada. Tanpa sengaja, sudut matanya menangkap seragam baju pramuka. Ayu terpaku saat angannya melayang ke masa-masa SMAnya dulu.
Flashback on
Hari perkemahan dimulai. Ayu dan teman-temanya pun berkemah di hutan lebat dekat kampung mereka. Irfan meski sudah lulus dari sekolah tersebut sejak 3 tahun yang lalu, tapi dia ikut saja memeriahkan acara sebagai panitia senior. Malam ini semua peserta mengadakan jalan malam. Masing-masing peserta diberi peta khusus mencari pos panitia yang berjumlah 7 pos. Ayu kebagian regu 3 jadi Ayu yakin ia tidak akan merasa tersesat. Safari malam dimulai.
"Menurut peta kita kesini ya?" Tanya Ayu pada Dodi, ketua regu mereka, saat ia melihat kertas petunjuk.
Dodi mengerutkan kuning. Ia terlihat bingung karena jalan yang mereka tempuh gelap sekali dan petunjuk di peta entah jalan sebelah mana.
"Aku juga bingung. Kalau malam jalan rasanya sama semua."
"Ywdah kita belok kanan aja gimana?" Usul Desi, sahabat dekat Ayu yang sedang membawakan tas Ayu. Entah mengapa ia senang sekali membawakan tas Ayu, dan membuat orang lain berpikir ia sahabat sejati.
"Ok. Kita belok kanan aja," akhirnya Dodi menyetujui usul Desi.
Regu mereka yang berjumlah 6 orang itu pun berbelok. Di tengah jalan yang agak sedikit gelap, Ayu kebelet pipis.
"Do, aku pipis dulu dong bentar. Kebelet banget nih." Kata Ayu sambil gerak-gerak seperti cacing kepanasan.
"Ywdah tapi jangan lama. Desi, kamu temenin ya !"
"Iya lah. Kapan sih bilang nggak buat Neng Ayu sobat tersayang !" Sindir Desi ke Ayu, tapi yang disindir hanya nyengir tak merasakan kejanggalan sama sekali dengan sikap Desi.
Mereka berdua memasuki rimbunan pepohonan yang jauh dari regu. Desi menunggu Ayu yang sedang buang air kecil dibalik pohon besar.
"Yu, bentar ya. Botol airku jatuh kayaknya. Mau cari dulu." Kata Desi pada Ayu yang masih nyumpet dibalik pohon.
"Iya. Jangan lama-lama. Takut nih."
"Iya..!" Terdengar suara langkah kaki menjauh. Ayu yang sudah menyelesaikan hajatnya berteriak memanggil Desi.
"Desi, kamu dimana? Kok lama banget ngambil botolnya? Emang jatohnya dimana? Desiiii...!" Teriak Ayu memanggil Desi. Tak ada jawaban. Hanya suara desauan angin yang membuat suasana mencekam. Besarnya pohon-pohon yang melambai seperti sosok yang sedang mengawasinya ditengah kegelapan ini. Ayu merasakan bulu kuduknya berdiri. Padahal waktu rame tadi dia tak ngerasa apa-apa.
"Ya ampun Desi kemana sih? Kok belum datang. Gimana ini? Mana lupa jalan lagi. Jalan mana tadi ya?" Ayu berusaha menghalau rasa takutnya. Ia melihat pohon di sekelilingnya yang gelap seperti sosok monster besar. Ia berjalan lurus mencoba mengingat arah jalan tadi. Tapi sejauh mata memandang ia tak juga menemukan orang. Ayu mulai menangis ketakutan. Suara krasak dedaunan dan semak belukar yang dia injak semakin menambah seram suasana. Belum desauan angin seperti bisikan mengerikan di telinganya.
"Ttolong ..!" Teriak Ayu parau karena air matanya yang tak berhenti mengalir. Ia membunyikan pluitnya. Namun suara angin kencang menyamarkan suara pluitnya yang kecil.
Ayu menangis. Ia duduk di tempat yang agak terang berharap ada seseorang atau group lain yang lewat. Ia teringat Irfan. Seandainya Irfan ada disini, pasti ia akan baik-baik saja. Irfannya selalu melindunginya dan menjaganya dari apapun. Hiikss.. Ayu menjerit memanggil Irfan dalam hatinya.
" A Irfan... tolongin Neng. Neng takut. Hikksss.." Entah berapa lama Ayu menangis diiringi suara angin yang berhembus kencang dan membuatnya kedinginan. Suara hewan yang entah apa, bersahutan membuat suasana semakin mencekam.
Terdengar suara semak-semak terbelah dan suara patahan daun membuat Ayu semakin menjerit membayangkan mahluk aneh yang akan segera muncul di depannya.
"Aaarggghhh .... jurig ... ! Tolong ... pruitttt ... pruiittt ..." Ayu refleks membunyikan peluitnya. Ia memejamkan matanya menghalau rasa takut yang makin menggila. Teriakannya semakin kencang saat tangan mahluk astral itu menyentuh bahunya.
"Neng, tenang. Ini Aa ... A Ifan !"
Perlahan Ayu membuka matanya. Ia mengbuskan nafas lega ketika benar Irfan yang berada di hadapannya. Ayu menjerit, memeluk Irfan kencang. Ia senang sekali akhirnya bisa menemukan orang ditengah hutan yang gelap gulita seperti ini.
"A Ifan, Desi ninggalin aku disini. Neng takut,” suara Ayu bergetar, ketakutannya belum sepenuhnya hilang.
"Sssttt ... tenang. Aa gak bakal ninggalin kamu, Aa akan selalu ada didekat kamu." Ujar Irfan balas memeluk Ayu, cintanya. Mereka berpelukan erat seakan enggan lepas.
"Bohong, katanya bakal selalu ada dekat Ayu, buktinya tadi gak ada?"
"Kan Aa jaga pos dulu. Tadi Aa punya feeling ga enak sama Neng. Ya udah Aa pura-pura ijin ke markas dulu bentar, padahal Aa nyariin kamu. Gak tahu kenapa Aa pengen lewat sini, pas banget kamu teriak-teriak minta tolong. Ternyata feeling Aa tidak salah. Kamu lagi butuh pertolongan disini." Irfan bertutur lembut membuat Ayu merona. Untung malam, jadi Irfan tak mengetahui wajahnya yang memerah.
"Terus, kenapa gak keluar dari tadi? Neng kan teriak udah lama."
"Sengaja. Biar Neng manggil Aa dulu. Biar Aa tahu sejauh mana Neng butuh Aa. Ternyata Neng gak bisa ngapa ngapain tanpa Aa, ya. Hehe ..."
Ayu memukul lengan Irfan, kesal mendengar ledekannya. Meski wajahnya malah merah merona membuat Irfan geli sendiri.
"Desi sengaja ya ninggalin aku?"
"Iya. Katanya biar kita pacaran. Udah lama kan kita gak jalan berdua. Kangen gak? Aku kangen banget."
Duh, Ayu merasa mukanya semakin panas. Ia berusaha melepaskan genggaman Irfan ditangannya, bermaksud mengipas-ngipas mukanya tapi Irfan malah balik menggenggamnya kencang.
"Jangan menjauh. Deketan sini ke Aa ..."
Ayu hendak berpaling karena malu saat memahami makna ucapan Irfan tapi Irfan menahan pipinya sehingga wajah mereka saling berhadapan. Ayu memejamkan matanya saat Irfan mendekatkan bibirnya, semakin dekat ... lebih dekat ... dan lebih ...
Brak ...
"Yu, udah selesai belum bikin surat lamarannya?" Teriak Kirana sambil membanting pintu membuat jantung Ayu mau copot karena kaget. Ayu memegangi jantungnya yang nyaris terbang karena teriakan Kirana.
"Anjirr jantung Ayu mau kolaps ..." Ayu memekik, ia keget mendengar suara cempreng Kirana. Kampr*t lo Na ! Aa ... Neng kangen ! Hiikkksss ...
"Pasti ngelamun lagi kan? Waras oy ... yang lo pikirin, lagi ena-ena disono sama bininye!" Ledek Kirana, puas.
"Apaan sih? Siapa juga yang ngelamunin dia." Elak Ayu tak terima. Kenapa Kirana kalau ngomong suka bener sih.
"Mukanye keliatan sedihnye ... udah dong move on! Besok lo bawa tuh surat lamaran ke resto Meat&Meats. Pemiliknya temen deket pacar gue. Pacar gue udah nyeritain semua kisah hidup lo yang mengenaskan ke dia. Jadi lo tenang aja, lo pasti diterima. Soalnya tuh bos kasihan ama idup lo yang mengenaskan."
"Kirana ih, mulutnya pengen Ayu lakbanin." Ayu kesal karena Kirana terus meledeknya. Ia melempar gantungan baju kosong didalam lemari ke arah Kirana tapi Kirana dengan gesit menyingkir. Kirana balik melempar Ayu dengan baju kotornya yang tergeletak di kasur. Jadilah mereka saling lempar-lemparan baju membuat kamar yang baru Ayu rapikan jadi berantakan lagi. Poor Ayu!
~~~***~~~
~~~***~~~ Flashback on. Beberapa jam sebelum Ayu dan Zaki bertemu, Ayu dan kedua mertuanya tiba menjelang subuh di rumah sakit di mana Irfan dirawat. Namun Ayu auto pingsan saat melihat dari balik kaca, seluruh tubuh Irfan terbungkus perban seperti mummy. Kedua mertuanya panik. Untunglah, petugas rumah sakit dengan sigap membawa Ayu ke ruang pemeriksaan. Menurut salah satu saksi mata yang berada di tempat kejadian, truk bermuatan kosong itu memang sudah oleng dari kejauhan. Dari arah yang berlawanan, mobil carry dengan bak terbuka yang dikendarai Sunar dan Irfan melaju pula dengan kencang. Sehingga saat di belokan, mobil keduanya bertemu dan bertabrakan. Mobil Irfan terseret sampai beberapa meter sebelum akhirnya terguling di samping truk tersebut. Semua pengemudi mobil terluka parah karena benturan berkali-kali yang mengenai kepala mereka. Bahkan kenek supir truk itu meninggal di tempat. Seme
~~~***~~~ “Sudahh berkali-kali Aa bilangin, jangan makan sambal. Lihat kan, akhirnya sekarang lambungmu kena.” “Biarin, suka-suka lah. Ngatur aja.” “Sampai ada yang berani membicarakan Ayu lagi di belakangku, awas kalian!” “Udah Aa, jangan galak gitu. Mereka, kan, cuman ngomongin. Neng gak papa, kok,” “ Biarkan Neng, biar mereka tahu, Aa gak suka kamu jadi bahan gunjingan terus menerus.” “Makanya lain kali pamit kalau mau pergi kemana-mana, gak usah jaim. Jadi kalau kejadian motormu mogok lagi, pulsa habis, dompet hilang, Aa bisa langsung jemput kamu. Main kabur aja. Untung aja Aa pasang gps di ponselmu jadi bisa tahu kamu di mana.” “Kalau bilang dulu, bisa-bisa kamu larang. Males,” “Baru disenyumin aja geer banget. Tuh cowok cuman iseng. Jangan gampangan jadi cewek
~~~***~~~ Semilir angin yang sejuk berhembus menerbangkan dedaunan pohon mangga yang banyak tertanam di depan rumah. Malam menjelang, namun suara deru kendaraan yang hilir mudik di depan rumah besar berhalaman luas itu tak jua berhenti. Sesekali orang yang lewat menyapa sang pemilik rumah yang sedang merokok sambil menatap kolam ikan miliknya. Setelah rokoknya tinggal sedikit, ia membuang puntung itu. Lalu ia memasuki rumahnya menuju ke ruanh makan. Perutnya sudah merintih minta diisi. Sesampainya di meja makan, ia membuka tudung saji itu dengan kening mengernyit. “Neng ..!” lelaki berkulit sawo matang itu memanggil sang pujaan hati. Perempuan cantik berambut sepinggang yang dipanggil Neng itu mendekat dari arah kamar. Ditangannya menggenggam ponsel berwarna perak. Raut wajahnya merengut karena tidak suka kesenangannya terganggu. “Apa sih? Ganggu aja.” “Maen ponsel m
~~~***~~~ Ayu tiba di kampungnya nyaris menjelang tengah malam di saat semua orang sudah tertidur lelap. Rasanya ia ingin cepat masuk kamar tapi Irfan menahannya di depan rumah. Katanya dia ingin berduaan dengannya. Huh, Ayu segan rasanya menghabiskan waktu hanya berdua saja dengannya meskipun itu hanya semenit. Irfan memilin-milin rambut Ayu di jarinya pelan, imbuhnya," kamu aku pingit. Jangan keluar rumah atau pergi kemana pun. Kalau aku tahu kamu pergi keluar rumah, kamu aku pingit di rumahku. Mau?" Ayu memalingkan wajahnya jengah.Lihat kan, dia selalusaja seperti ini dari dulu. Bagaimana ia menjalani hidupnya dengannya nanti? Bisa-bisa ia gila. "Kamu denger Aa gak Neng?" bahkan dalam keadaan tubuhnya penuh memar, akibat perkelahiannya tadi, tak mengurangi sedikitpun sifat posesifnya. Dasar laki-laki gelo! Bukannya memikirkan sakitnya, malah mikirin Ayu dan melarangnya ini itu.
~~~***~~~ Udara pagi itu bersinar cerah. Tak biasanya hari itu tidak turun hujan. Setelah seminggu berturut-turut hujan, pagi ini mentari tersenyum cerah. Menyapa insan dibumi yang sedang sibuk menjalankan aktivitasnya. Di sebuah bangunan sederhana, di mana terdapat enam pintu kost, kesibukan terlihat nyata disana. Satu persatu penghuni kos itu pergi. Ada yang mengenakan seragam kantor, sedang menaiki ojek online pesanannya, ada yang sudah pergi menaiki kendaraannya sendiri, dan ada yang mengenakan seragam kampus, yang dijemput temannya untuk pergi ke kampus bersama. Hingga kini hanya tersisa satu pintu terbuka. Sebuah mobil lossbak berhenti di depan koss Ayu yang sepi. Dua orang pria turun dari sana. Mereka tampak mengobrol dan mengetuk pintu pagar. Tak lama penghuni kos yang terakhir keluar dan membukakan pintu pagar koss. Penghuni kos terakhir itu adalah Wina, tetangga samping kos Ayu. Wina dan oran
~~~***~~~ Siang ini bersinar terik dan sinar radiasinya menusuk kulit. Beberapa orang yang sedang berada di luar ruangan mengeluhkan panasnya terik mentari yang belakangan ini sering sekali mereka alami. Sehinggga mereka bergegas mencari tempat untuk berlindung dari sengatan mentari tersebut. Di salah satu resto dalam mal, tampak Desi sedang menyantap makanannya itu dengan hati dongkol. Bagaimana ia tidak dongkol, Sudah 2 jam ia menunggu notif di ponselnya, berharap ada pemberitahuan uang masuk dari Dicky. Siang ini Dicky berjanji akan mentransfer uang 100 juta supaya dia tidak menyebarkan fhoto-fhoto tidak senonoh Irfan dan Ayu. Namun sampai ia selesai makan pun, tak jua ada pesan masuk. Awas saja kalau sampai mereka ingkar, dia akan menyebarkan foto itu di sosmed juga. Batinnya dalam hati. Desi menggeram kesal saat kembali menelpon mantan mertuanya tapi selalu tulalit. Ia kesal. Apa mantan m