Share

Windmill Village

Windmill Village, 23 Mei 2021.

Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.

Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.

Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.

Mobil-mobil yang berada di tepi jalan tersusun dalam keadaan tak rapi. Beberapa kendaraan roda dua, seperti motor dan sepeda tumbang di beberapa titik.

Suasana desa sepi dan sunyi. Tiada seorang pun yang tampak. Tak ada yang berani berkeliaran di luar rumah, kecuali mereka.

Ya, kecuali mereka, para makhluk pemangsa. Carnivore!

Raungan kelaparan terdengar. Suaranya serak, namun cukup keras. Bunyinya mampu membuat bulu kuduk berdiri. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa merinding.

Sekelompok Carnivore berkeliaran di jalanan desa. Mereka bergerak tak tentu arah dengan langkah kaku. Makhluk-makhluk itu berwujud dan berpakaian layaknya manusia, karna awalnya mereka memang manusia. Setelah melalui kematian, mereka bangkit, dan berubah menjadi makhluk pemangsa.

Kawanan Carnivore itu berpakaian kotor, bahkan ada yang compang-camping. Jenisnya wanita dan pria. Penampilan fisik semuanya sama seram.

Mata para Carnivore merah. Kulit mereka kelabu pucat dan penuh bercak darah, postur tubuh kurus, dan dua deret giginya tajam seperti taring.

Carnivore tersebar di mana-mana. Di jalanan, teras toko-toko kecil, taman desa, dan bahkan di dalam bangunan-bangunan yang pintunya terbuka pun ada mereka. Semuanya berjalan sambil memperdengarkan suara yang seram dan pilu.

Haus darah dan lapar akan daging, itulah yang selalu dirasakan para Carnivore. Bak kawanan hewan buas yang hidup di alam liar, mereka terus mencari mangsa untuk mengenyangkan perut.

***

Pekarangan depan rumah Steve Santana, Pelaksana tugas kepala desa Windmill Village, tergenang air dengan ketinggian satu jengkal. Rerumputan pendek yang tumbuh pada seluruh permukaannya terendam semua. Beruntung posisi rumahnya cukup tinggi dari permukaan tanah, sehingga bagian dalamnya tak kebanjiran.

Sinar matahari masuk melalui celah tirai jendela yang sedikit terbuka, dan jatuh tepat di atas wajah Alicia yang masih terlelap. Dia terbaring di atas sebuah kursi kayu bersandaran.

Tubuh Alivia Ena masih terbungkus pakaian kemarin, yaitu tank top dan celana panjang hitam. Sedangkan jaketnya yang berwarna hijau tua dijadikan selimut untuk menutupi perut dan pahanya. Sepatu bertalinya ditaruh dengan rapi di bawah kursi.

Tak lama kemudian, Alicia Eva membuka matanya perlahan. Dia kontan silau oleh cahaya matahari. Refleks dia memalingkan wajah dan menutup kembali matanya.

“Selamat pagi!”

Sapaan yang barusan terdengar membuat Alicia kembali melek. Dalam pembaringannya, dia menatap ke arah suara yang berada tepat di depan matanya.

Steve Santana duduk dengan posisi bersandar. Sebelah kakinya terangkat ke atas lutut. Tangannya memegang sebuah buku tebal yang terbuka. Dia tersenyum sambil beradu pandang dengan Alicia Eva.

Alicia Eva membuang napas pelan. Dia lalu membalas sapaan Steve. “Selamat pagi juga!”

Steve Santana masih sangat muda. Dia berumur 28 tahun. Parasnya tampan dengan tampilan kulit coklat muda. Rambut pendeknya bermodel jabrik, serasi dengan wajahnya yang lebar. Bola matanya hijau, berhidung mancung, serta bibirnya dikelilingi kumis dan berewok tipis rapi.

Tatapan Alicia Eva terus menempel pada pria gagah di hadapannya. Tanpa disadari pipinya merah merona. Tak bisa dimungkiri, naluri wanitanya bergejolak oleh ketampanan Steve Santana.

“Sepertinya tidurmu kurang nyenyak, ya?” tanya Steve. Dia menutup buku dan dilemparkannya ke atas meja. Suara timpuknya saat mendarat cukup keras. “Maaf! Fasilitas rumahku sangat kurang.”

Alicia Eva beranjak bangun sambil tersenyum. Dia menyingkapkan jaket hijau tua yang menutupi perut dan pahanya. Pistolnya yang terselip pada sarung di pinggang kanan kontan terlihat.

“SIG SAUER P226,” kata Steve Santana sambil menatap pistol hitam Alicia Eva. “Senjata yang cukup inovatif.”

“Dan juga enak dipakai,” sambung Alicia Eva. “Cukup ringan, tapi kuat.”

Steve Santana tertawa kecil. Wajahnya kian tampan. “Tapi terlalu bahaya dipakai oleh wanita.”

“Aku punya surat izin kepemilikan,” ujar Alicia yang sudah pada posisi duduk. Dia mengusap wajah, lalu menyibakkan rambutnya. “Sepertinya kau mengerti banyak soal senjata api.”

Steve Santana tertawa kecil. Dia menggeleng. “Hanya sekedar mengerti sedikit. Tapi aku tak punya keinginan memilikinya.”

Alicia Eva memindahkan tatapan pada meja rendah yang memisahkannya dengan Steve. Dia atas sana, selain ada buku tebal, juga tersaji dua cangkir kopi, dan setumpuk map kertas setinggi satu jengkal.

“Semalam aku sudah membongkar lemari arsip.” Steve menegakkan duduknya. Dia lalu memukul pelan tumpukan map kertas. Debu dari sana kontan menyebar sedikit. “Data orang yang kau cari tidak ada.”

Alicia kembali menatap Steve. Keningnya berkerut. “Kau lembur? Tak tidur semalaman?”

“Hanya dua jam.” Steve Santana menghela napas. Diangkat tangannya dari atas tumpukan map, lalu meraih cangkir yang berisi kopi. “Tapi nyenyak dan cukup.”

Alicia Eva menunduk dan membuang napas.

Steve dan Alicia berada dalam sebuah ruang yang cukup luas. Keempat sisi dinding, lantai, dan langit-langitnya terbuat dari kayu. Lampu yang semalam terang benderang telah dimatikan. Kini, cahaya matahari yang menembus masuk melalui ventilasi dan celah tirai jendelalah yang menjadi penerang.

“Profesor Raffie, orang yang kau cari,” ujar Steve Santana sambil mengangkat cangkir, bersiap menyeruput isinya. “Sepertinya dia memang penduduk Windmill Village. Namanya terdengar tak asing. Tapi datanya tak kutemukan.”

Alicia Eva merasa kecewa mendengar ucapan Steve Santana. Dia melihat pria tampan itu meminum kopinya.

“Atau mungkin data-datanya telah musnah,” lanjut Steve. Dia meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja, lalu kembali menyentuh tumpukan map, dan menepuknya pelan. “Setahun yang lalu kantor desa kebakaran. Hanya data-data ini yang tersisa. Kepala desa meninggal. Dia ikut terbakar.”

Semalam, sebelum tidur, Alicia telah menceritakan maksud kedatangannya ke Windmill Village adalah untuk mencari Profesor Raffie. Steve pun berjanji akan membantunya. Karna itu, saat Alicia tertidur, dia pun mencoba membongkar lemari arsipnya.

“Kalau boleh tahu, apa tujuanmu mencarinya?” Steve Santana kembali pada posisi duduk bersandarnya. “Dari semalam, pertanyaan itu belum kau jawab.”

Alicia melirik ke arah lain. Dia sedikit tertunduk. “Aku ....”

“Mungkin pria itu mantan suaminya.”

Alicia Eva dan Steve Santana menoleh bersamaan ke sudut ruangan. Di sana ada Jason yang sedang duduk di atas kursi goyang. Seperti biasa, dia terkekeh. Giginya yang sedikit ompong pun tampak.

Alicia Eva tersenyum kecut dan lantas memalingkan wajahnya dari Jason.

“Sejak kapan kau bangun?” tanya Steve Santana dengan nada judes. Sepertinya dia kurang menyukai Jason. “Ada baiknya kau tidur kembali.”

Jason terkekeh lagi. Tatapannya terfokus pada Alicia Eva, terutama pada bagian lengannya yang berkulit putih mulus.

“Sudahlah! Jangan pedulikan dia.” Steve Santana mengembalikan perhatian pada Alicia Eva. “Sampai mana tadi?”

“Maaf! Aku tak bisa mengatakan tujuan pencarianku,” ujar Alicia Eva. Dia menatap lekat wajah tampan Steve.

Steve Santana mengangguk. “Tak masalah. Wanita memang selalu punya rahasia.”

“Dan keinginan kuat untuk bercinta,” sambung Jason yang kemudian terkekeh. Dia menggerakkan kursi goyang. Suara derit kayu terdengar. “Gelora batin yang terpendam.”

Wajah Alicia Eva memerah. Dia melirik Jason dengan sinis. Karena resah dengan tatapan penuh hasrat pria paruh baya itu, dia lantas memakai jaketnya. Lengan dan bahunya tertutup kembali.

“Lalu apa rencanamu selanjutnya, Nona Eva?” tanya Steve Santana. “Maaf jika aku tak dapat membantu banyak.”

“Pencarian manual,” jawab Alicia Eva sambil menaikkan resleting jaketnya. “Aku akan mengelilingi desa ini.”

“Apa?” Kening Steve Santana mengerut cepat. Dia memicingkan matanya. “Jangan bercanda!”

Jason meledakkan suara tawa. Dia terkekeh dengan keras sambil terus menggerakkan kursi goyangnya. Bunyi derit kayu terdengar terus-menerus.

“Pelankan suaramu!” seru Steve sembari mengacungkan jari telunjuknya pada Jason. “Atau kulempar kau keluar!”

“Aku hanya mau memberi sedikit nasehat pada Nona cantik ini,” ujar Jason. Seolah tak mengindahkan peringatan Steve, dia cengengesan. “Ini demi keselamatannya juga.”

“Ya, tentu saja kita harus menjaga tamu.” Steve Santana membuang napas kasar. “Kau ada benarnya juga kadang-kadang.”

Alicia Eva menatap Steve dan Jason bergantian.

“Kau yakin ingin mengelilingi desa ini, Nona cantik?” Jason menegakkan duduknya. Dia bersiap turun dari kursi goyang. “Kalau begitu, kau harus melewati halangan dari para Carnivore.

Carnivore? Makhluk pemangsa itu?” tanya Alicia Eva.

“Tepatnya makhluk yang kau tembak di area pekuburan.” Jason telah turun dari kursi goyang. Dia berdiri sambil merapikan jaket lusuhnya.

“Ada baiknya kau urungkan niatmu,” sambung Steve Santana. “Pulanglah! Daerah ini tak aman bagimu.”

“Tidak! Aku tak akan pulang dengan tangan hampa.” Alicia Eva menatap lurus. Wajah Steve terlihat berekspresi serius. “Yang kalian sebut Carnivore itu, sebenarnya ada berapa jumlah mereka?”

“Yang jelas kau tak akan bisa menghitungnya dengan jarimu,” Steve Santana melipat kedua tangannya di depan dada. “Kemungkinan ratusan.”

“Dan mereka tersebar ke seluruh desa,” sambung Jason sambil melangkah. Sesampainya di kursi panjang tempat Steve berada, dia duduk di sampingnya. Wajahnya lalu menyeringai. “Siap menerkam dan mencabik-cabik tubuh mulusmu.”

“Bukankah kemarin kau berkeliaran?” tanya Alicia Eva. “Sendirian pula. Apa itu bukan tindakan bahaya?”

“Anggap saja aku sedang beruntung waktu itu,” tanggap Jason. “Tapi jika tidak, maka bersiaplah kau kehilangan organ-organmu.”

“Cukup, Jason!” Steve Santana menepuk keras bahu Jason. “Jangan menakuti orang!”

“Aku sama sekali tak takut, Pak Pelaksana tugas kepala desa!” seru Alicia Eva.

“Panggilanmu terlalu formal,” ujar Steve Santana. “Cobalah lebih santai.”

“Baiklah! Baiklah!” Alicia Eva mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. “Bisa beritahu aku? Sebenarnya Carnivore itu makhluk apa? Dari mana asal mereka? Dan apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini?”

Steve Santana dan Jason saling menatap sejenak. Seperti biasa, Jason terkekeh. Steve tetap berekspresi datar.

“Satu lagi,” tambah Alicia Eva, “apa semua ini ada hubungannya dengan wabah COBRA-V?”

“Pertanyaan-pertanyaanmu tak adil bagiku,” kata Steve seraya bangkit berdiri. “Satu pertanyaanku tadi tak kau jawab.”

“Pria jarang punya rahasia,” ujar Alicia. Dia menyibakkan rambutnya. “Aku harap kau juga begitu.”

“Ya, kau benar!” Steve Santana tertawa kecil. Dia berdiri sambil berkacak pinggang. Tubuhnya tinggi dan tegap. “Aku memang tak suka menyimpan rahasia.”

Jason tak memedulikan kedua orang di dekatnya. Dia duduk bersandar sambil memejamkan mata. Dalam waktu singkat, dia pun terlelap. Suara mengoroknya terdengar bindeng.

Alicia Eva tersenyum manis. Dia menatap Steve Santana tanpa berkedip.

“Baiklah, Nona Eva. Aku akan ceritakan padamu. Anggap saja ini sebagai oleh-oleh tanpa wujud dari desa ini.”

“Terima kasih, Pak pelaksana!”

“Ya!” Steve Santana mengangguk. “Panggilan itu lebih baik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status