Share

Klien Istimewa

Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.

Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.

Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”

“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”

“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehilangan kontak sekian tahun.”

Alicia Eva menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Kedua pahanya disilangkan. Dia lantas melipat kedua tangannya di depan dada. Sambil mengangguk-angguk, dia tersenyum manis.

“Jadi bagaimana, Nona Alicia?” tanya Jeremy. Dia duduk dengan tegak. Kedua tangannya berada di atas paha. “Anda terima pekerjaan ini?”

“Aku berharap Nona Alicia tak menolak. Kami butuh pergerakan detektif hebat seperti Nona.” Profesor Adam memajukan tubuhnya. Rambut hitamnya yang setengah beruban tampak basah. Dia meraih cangkir di atas meja. “Reputasi dan kualitas kerja Nona sudah sering kami dengar.”

Alicia Eva tertawa sambil menggeleng. “Profesor Adam terlalu memuji.”

Profesor Adam mendekatkan cangkir ke bibirnya. Dia tersenyum, lalu menyeruput kopinya yang masih terasa hangat.

“Menuju suatu tempat dan mencari keberadaan seseorang, itu tugas yang paling sering kudapat,” ujar Alicia Eva. Dia juga majukan tubuh dan mengambil cangkir di atas meja. “Hanya saja, kali ini klienku dari pihak pemerintah, Badan Intelijen.”

Jeremy dan Profesor Adam saling menatap sejenak. Keduanya lalu tersenyum. Mereka melihat Alicia Eva meminum kopinya seteguk.

“Klien yang luar biasa. Aku tersanjung. Suatu kehormatan, Badan Intelijen percaya padaku,” puji Alicia seraya meletakkan kembali cangkir ke atas meja. Dia kembali memperlihatkan senyum manisnya. “Kapan aku bisa mulai bertugas?”

Pertanyaan Alicia Eva kontan menyenangkan hati Jeremy dan Profesor Adam. Senyum mereka melebar. Bahkan, Jeremy sampai tertawa renyah.

“Terima kasih, Nona Alicia Eva!” ucap Profesor Adam. Dia lalu menepuk bahu pria yang duduk di sampingnya. “Jeremy akan memberikan petunjuk soal pekerjaan ini.”

Alicia Eva mengangguk dan tersenyum. “Semoga kinerjaku tak mengecewakan.”

***

Hari semakin siang. Matahari pun naik kian tinggi. Posisinya kini berada tepat di atas kepala. Sinarnya begitu terik. Bayangan setiap orang dan objek jadi memendek. Langit yang terhampar luas hanya diselimuti sedikit awan putih. Warna biru mendominasi angkasa.

Di sebuah daerah pertokoan terjadi kekacauan. Hal yang serupa dengan hari kemarin terjadi lagi. Hanya saja, kali ini tak terlalu parah. Beberapa orang tumbang mendadak di teras toko-toko yang berderet. Kontan saja mereka meronta, menjerit, dan berguling di lantai sambil memegang kepala masing-masing.

Korban yang terjangkit virus COBRA-V bertambah lagi. Orang-orang yang berada di sekitar area pertokoan tak ada satu pun yang berani mendekat, apalagi memberi pertolongan pada para korban. Sebagian besar segera melarikan diri. Sebagian lagi terpaku dan menonton dari kejauhan.

Suara hiruk-pikuk dan jerit kesakitan para korban terdengar memilukan. Insiden itu terjadi di pinggir jalan raya. Deru mesin-mesin kendaraan dan bunyi klakson yang saling bersahutan membuat suasana kian bising.

Tak lama kemudian, pertolongan datang. Beruntung jalan raya tidak terlalu padat, sehingga tim medis bisa tiba di lokasi kejadian dengan lancar. Empat unit ambulans berhenti dan berderet di tepi jalan. Raungan sirenenya terdengar keras.

Para petugas berpakaian serba putih segera turun dari keempat ambulans. Mereka bergerak cepat menangani para korban. Tanpa menunggu, orang-orang yang sedang meronta itu diberi suntikan penenang. Setelah tak sadarkan diri, mereka langsung dinaikkan ke atas tandu dan langsung dimasukkan ke dalam ambulans.

Aksi cekatan tim medis menjadi tontonan khalayak ramai. Suara hiruk-pikuk terus terdengar. Mereka saling berkomentar satu sama lain. Insiden itu membuat takut para warga kota. Bagaimana tidak? Bisa saja mereka yang sedang menonton itu menjadi korban berikutnya.

***

Alicia Eva dan Jeremy melangkah pelan. Mereka berjalan melintasi lapangan parkir Markas Intelijen. Keduanya pada posisi sejajar. Di sisi kiri dan kanan mereka berderet mobil-mobil yang tersusun rapi.

“Maaf, Pak Jeremy,” kata Alicia sambil bergerak maju. “Boleh aku tanya satu hal?”

“Tentu saja, Nona,” tanggap Jeremy. Dia menoleh menatap Alicia sejenak. “Silakan!”

“Markas kalian sangat besar. Aku yakin, agen kalian juga sangat banyak dan berpotensi,” ujar Alicia Eva. Angin berembus pelan. Rambut pendek sebahunya yang berwarna coklat bergerak. “Tapi kenapa masih menyewaku untuk misi ini?”

Jeremy tertawa pelan. Dia berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. “Sebenarnya misi kali ini bersifat rahasia. Bahkan orang dalam kami tidak semuanya tahu.”

Alicia Eva mengangguk-angguk. Dia sampai di tempat mobil jip hitamnya terparkir. Kontan saja langkahnya berhenti.

“Selain aku dan Profesor Adam. Ada empat orang lagi yang tahu,” lanjut Jeremy. Dia juga menghentikan langkahnya. “Yaitu Pak Presiden, Menteri kesehatan, serta kepala polisi, dan kepala militer.”

Alicia Eva menyandarkan punggung pada bagian belakang mobilnya. Dia serius menyimak perkataan Jeremy.

“Ada pertanyaan lain lagi, Nona?”

Alicia Eva menggeleng sambil tersenyum.

“Baiklah, Nona Alicia Eva, atas nama Badan Intelijen, kuucapkan selamat bertugas!” Jeremy mengulurkan tangannya. “Uang muka telah kami kirim ke rekening Anda barusan.”

Alicia Eva beranjak dari sandarannya. Dia menyambut tangan Jeremy. Mereka bersalaman dan saling menatap lekat.

“Terima kasih, Pak Jeremy!” ucap Alicia Eva. “Senang bekerja sama dengan kalian.”

“Sama-sama, Nona Alicia!” balas Jeremy. Dia melepas salamannya. “Kami menunggu kabar baik dari Anda.”

Alicia Eva mengacungkan jempol dan tersenyum. Setelah itu, dia balik badan dan bergegas masuk mobil jip hitamnya.

***

Situasi di pusat kota belum sepenuhnya stabil. Sebagian orang yang mendadak terjangkit virus COBRA-V sudah dievakuasi setelah diberi suntikan penenang. Namun, di tepi jalan, teras pertokoan, dan tempat-tempat umum lainnya, masih banyak korban yang tergeletak. Ada yang meronta dan menjerit, ada pula yang sudah tak sadarkan diri.

Arus jalan raya yang semula lancar pun menjadi macet. Suara klakson yang membisingkan telinga berkumandang. Raungan sirene ambulans para tenaga medis pun ikut membahana di angkasa.

Mobil Alicia Eva ikut terjebak dalam kemacetan. Bis yang berada di depan jipnya menghalangi pandangan. Dia menarik napas, mengembuskannya, lalu menyibakkan rambutnya.

“Seharusnya aku pulang lebih cepat,” gumam Alicia Eva. Satu tangannya berpegangan pada kemudi, sedang yang satu lagi memijat kening. “Pembicaraan di Markas Intelijen terlalu lama.”

Alicia Eva menoleh ke samping. Dia melihat orang-orang berlarian di trotoar. Beberapanya berteriak. Keningnya kontan mengerut.

Seorang pria tiba-tiba tumbang ke atas trotoar saat sedang berlari. Dia kontan memekik kesakitan sambil memegang kepalanya. Badannya berguling-guling dalam pembaringannya.

‘Siapa pun bisa jadi korban virus ini,’ batin Alicia Eva sambil menatap pemandangan yang tak mengenakkan di luar sana. Dia lalu tertunduk dan menghela napas. Matanya terpejam. ‘Aku pun bisa saja jadi korban berikutnya.’

***

Angkasa kembali memperlihatkan wajah gelapnya. Seperti malam-malam sebelumnya, Southland City sepi. Jalan raya yang lebar tak dipadati kendaraan. Sesekali hanya ada satu atau dua mobil maupun motor yang melintas .

Virus COBRA-V benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk bumi. Pandemi yang mendunia itu telah memakan banyak korban.

Sebuah apartemen berlantai 12 yang tak jauh dari pusat kota juga menampakkan suasana sunyi. Lapangannya yang luas hanya terparkir beberapa kendaraan. Cahaya dari tiang-tiang lampu yang berdiri di setiap sudut tak terlalu terang.

Alicia Eva tinggal di lantai ke sepuluh. Sebuah koridor panjang berada di lantai tersebut. Pencahayaan di sana cukup terang, lain dengan di luar sana. Pintu-pintu yang berderet di kedua dinding koridor tertutup semua.

Di atas sebuah meja kerja terletak seunit laptop. Posisinya terbuka dan layarnya menyala. Di sampingnya ada secangkir susu yang masih berasap. Sepiring biskuit dengan taburan keju pun ikut tersaji di sana. Seseorang siap-siap mengerjakan tugas sambil menikmati camilan lezat itu.

Alicia Eva baru saja memasuki kamarnya. Dia berjalan menghampiri meja kerjanya. Sesampainya, dia langsung menarik kursi kayunya, lalu segera duduk. Baru saja pinggulnya mendarat, dia sudah menyambar sepotong biskuit. Makanan ringan itu habis dalam dua kali gigitan.

Sambil mengunyah biskuit yang memenuhi rongga mulutnya, mata Alicia Eva terfokus menatap layar laptop. Tangan kirinya dinaikkan ke atas meja, sikunya menjadi fondasi, dan dagunya pun ditopangkan pada telapak tangannya.

Layar laptop menampilkan foto seorang pria tua berkacamata dengan pakaian serba putih. Baik kemeja, jas yang melapisinya, serta dasi yang melingkar pada krah bajunya pun putih.

Rambut putih pria itu begitu tipis dan sedikit, sehingga kulit kepalanya terlihat jelas. Wajahnya yang tersenyum ramah memperlihatkan sedikit keriput dan mata sipit. Di bawah foto itu tercantum biodata pemiliknya.

Alicia Eva menurunkan sedikit tatapannya. Layar laptopnya berukuran cukup besar. Dia membaca dalam hati apa yang tercantum di sana.

Nama                   : Profesor Raffie

Tanggal lahir       : 21 Maret 1961

Tempat lahir        : Windmill Village

Pekerjaan             : Ilmuwan, Dokter, Guru.

Alamat                 : Tidak diketahui

Profesor Raffie, dialah pemilik foto dan biodata yang tertera pada layar laptop. Dia juga merupakan orang yang dicari Badan Intelijen, dan Alicia Eva yang ditugaskan untuk melakukan pencarian atas dirinya.

Alicia Eva menegakkan duduknya. Dia meraih cangkir dan menyeruput susunya. Sambil fokus memandangi layar laptop, dia teringat percakapannya dengan Profesor Adam di Markas Badan Intelijen tadi pagi.

Profesor Raffie adalah sahabat dan senior dari Profesor Adam. Mereka telah terpisah sekian tahun. Kehilangan nomor kontak telepon membuat komunikasi keduanya terputus dalam jangka waktu lama.

Profesor Adam, yang merupakan ilmuwan Badan Intelijen, sedang berusaha menciptakan vaksin virus COBRA-V. Namun vaksin ciptaannya belum sempurna, sehingga tak layak dipakai.

Berbagai upaya telah Profesor Adam dan Badan Intelijen lakukan untuk melakukan penyempurnaan vaksin. Namun, sekian lama berlalu, hasilnya nihil.

Ketika hampir putus asa, Profesor Adam teringat pada sahabat lamanya, Profesor Raffie. Dia diyakini mampu menyempurnakan vaksin COBRA-V tersebut.

Karena misi pencarian dan penyempurnaan vaksin bersifat rahasia, maka pihak Badan Intelijen memutuskan untuk memakai orang luar, yaitu Alicia Eva.

Petunjuk pencarian Profesor Raffie sangat minim. Keakuratannya pun diragukan. Yang Profesor Adam yakini, sahabatnya itu tak akan pernah meninggalkan tanah kelahirannya, Windmill Village.

Profesor Adam mengatakan, kemungkinan besar Profesor Raffie masih berada di Windmill Village. Hanya saja, alamat tempat tinggal pastinya di desa itu tidak diketahui.

Alicia Eva telah selesai mempelajari data-data Profesor Raffie. Kurangnya petunjuk akan membuat dia bekerja dan berpikir lebih keras. Namun, bagi dirinya hal itu bukan masalah besar. Dia adalah detektif swasta dengan jam terbang tinggi. Melacak jejak dan melakukan pencarian merupakan keahlian yang wajib dimiliki detektif.

Alicia mendekatkan cangkir ke mulutnya. Saat bibirnya menyentuh sisi cangkir, dia baru menyadari isinya telah habis. Dirinya lalu tersenyum dan menggeleng.

Beberapa hari lagi Alicia Eva akan mulai menjalankan tugas dari Badan Intelijen. Dia memutuskan untuk tidur lebih awal. Mulai besok, dia ingin mempersiapkan segalanya.

Setelah mematikan laptopnya, Alicia berdiri. Cangkir kosong dan biskuit yang masih tersisa beberapa potong dibiarkannya tetap berada di atas meja.

Windmill Village,” gumam Alicia sambil beranjak. Dia melangkah meninggalkan kursinya. “Nama yang indah. Aku penasaran, secantik apa desa itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status