Cucu yang Dibedakan
Part 2*Aku membelai tangan keriputnya yang begitu lemah. Ia kembali ingin meraih wajahku, menghapus air mata yang mengalir di sana. Kulihat ia juga menangis. Aku mencoba meredam rasa haru dalam hati. Tangisan yang ditahan itu semakin sesak, aku tak mampu mencegahnya. Aku menangisi dengan tersedu-sedu, seolah luka masa lalu sudah menemukan obatnya hari ini.Beberapa menit kami tenggelam dalam rasa haru masing-masing. Lalu, aku menghapus sisa basah di wajah nenek.Aku bangkit dari ranjang tua itu.Melangkah ke meja di mana aku letakkan beberapa makanan, obat dan popok dewasa yang ia butuhkan. Menurut yang dikatakan Farah, Nenek sering pipis di tempat tidur. Kalau siang ingin buang air besar, jika merasa sedikit bertenaga, ia akan keluar, karena kamar mandi di rumah nenek ada di belakang rumah. Lumayan jauh jika dibandingkan dengan tenaganya sekarang.
“Nenek sanggup mandi sekarang? Merasa sejuk? Atau Sekar lap aja pakai kain basah?” Aku menawarkan nenek untuk mandi. Melihat tubuhnya sudah terlalu kumal dan bau.Nenek menggeleng, “nenek malahan gerah sekali, Nak.” Aku tersenyum. Keinginan untuk memandikan sang nenek disambut baik olehnya. Tak menunggu waktu yang lama, aku terus memapah nenek untuk menuju sumur di belakang. Nenek sudah begitu kurus sejak sakit-sakitan. Syukurnya, nenek masih bisa dipapah tidak sepenuhnya harus menggunakan tenagaku, hanya saja keadaan cukup lemah. Maklum saja usianya sudah tujuh puluh lima tahun dengan sakit layaknya yang dialami orang dalam usia senja. Batuk, sakit lutut, sakit pinggang, pendengaran dan penglihatan yang menurun.Sampai di sumur yang dindingnya terbuat dari tirai yang sudah agak mengelupas itu, aku mendudukkan nenek di sebuah kursi rendah. Lalu, aku menimba air untuk dimasukkan ke dalam baskom untuk mempermudah.Aku mulai membasahi tubuh sang nenek yang dibalut kain sarung untuk basahan. Sambil memandikan, sesekali aku bercerita tentang kehidupannya di kota. Juga kehidupan dan pengalaman pernah memandikan ibu dulu.Nenek tampak menanggapi, tapi bukan dengan jawaban panjang lebar. Hanya anggukan dan senyuman tulus yang terlihat dari wajah keriputnya.“Dulu, kan, Nek, ibu tuh tiap hari minta dimandiin. Gerah katanya di kasur terus.” Aku menggosok dengan lembut tubuh sang nenek, untuk mempermudah air meresap ke tubuh itu.Nenek tampak diam, ia terlihat menunduk. Lalu menatapku dengan sorot yang tak bisa diartikan.“Ibumu orang baik.” Mendengar kalimat itu, aku menjadi salah karena sebenarnya kami sedang sama-sama mengingatkan tentang luka.Aku mengganti topik. Aku tak ingin nenek memikirkan banyak hal tentang masa lalu. Biarlah semua menjadi kenangan dan pelajaran.Aku melihat sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak yang dipaku pada batang pohon, gunanya untuk menaruh sabun, odol dan sikat gigi.“Eh, Sekar lupa. Nenek kan udah nggak pernah ke pasar ya. Bentar ya, Sekar ambilin sabun. Udah disiapin sama Simbok tadi di rumah.” Aku menjelaskan pada nenek. Sebelum berangkat, aku sudah memikirkan apa yang kiranya perlu dibawa dan dibutuhkan oleh nenek.“Nenek jangan bangun. Licin, bahaya. Tetap di kursi ya.” Aku khawatir.Nenek hanya mengangguk, sekilas kulihat ia menatap kepergianku, lalu kembali menunduk tanpa bicara lagi. Aku datang kembali dengan sabun di tangan. Segera saja kutuangkan sabun itu ke dalam telapak tanganku, lalu menggosok pada tubuh nenek dengan lembut. Sengaja tidak memakai sabut karena sentuhan tangan tentu lebih lembut untuk kulit tua itu.Aroma bunga tercium di hidungku. Setelah ini nenek pasti lebih segar dan bisa tidur nyenyak. Aku segara membilas tubuh itu, karena wajahnya sudah terlihat kedinginan.*Hari telah senja saat aku membersihkan rumah nenek. Rasa lelah menyetir dari Jakarta ke Bandung seolah lenyap begitu saja, melihat rumah yang terlalu berantakan membuatku tak bisa tenang. Nenek sudah tertidur setelah aku menggantikan baju, memakai popok dan mengganti sprei di kasurnya. Kubiarkan wanita itu istirahat.Ruang terlihat begitu berdebu, berbeda dengan saat terakhir kali kami berkumpul di sini ketika lebaran. Ruang tengah, dapur semua dipenuhi debu dan menjadi sarang laba-laba.
Aku juga membersihkan lantai yang penuh dengan kotoran kiri mengering itu. Aku menyediakan satu baskom kecil yang berisi pasir, agar saat nenek ingin meludah, ia bisa meludah ke sana.Nenek terlihat nyaman beristirahat di kamar yang telah kubersihkan. Katanya nenek ingin tidur di kamar panggung, jadi aku memapahnya untuk menaiki lima anak tangga. Kamar yang tak lagi seperti dulu, karena beberapa bagian dinding telah mengelupas. Rumah ini bentuknya semi permanen dengan dua kamar, ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Sementara kamar mandi, ada di belakang rumah seperti kebanyakan rumah di desa.Setelah memastikan semua bersih, aku mengecek ke kamar, ingin mengajak nenek makan. Tadi sudah kutawari katanya nenek akan makan sebentar lagi, setelah dimandikan ia merasa lelah. Ya, tenaga orangtua dipakai sedikit saja sudah terasa lelahnya.Saat aku datang, nenek sudah bangun ternyata. Ia masih terlihat cantik dan wangi, karena setelah mandi tadi, aku pakai bedak di wajahnya. Tak lupa juga menyisir rambutnya yang telah memutih. Ia kembali meminta untuk tidur di ranjang di ruang tengah. Sebuah ranjang kecil yang selama ia sakit lebih sering tidur di sana. Aku kembali memapahnya turun dari kamar panggung. Nenek berbaring di ranjang.“Sekar siapin ya, Nek.” Aku membuka satu bungkus nasi yang kubeli di jalan. Nasi rendang yang sering kubeli saat masih tinggal di desa. Rendang favorit, kubeli saat punya uang lebih.Dalam baringnya nenek mengangguk. Membiarkan aku untuk menyuapinya. Namun, saat ia melihat ke arah tanganku, tiba-tiba sorot matanya menjadi redup.“Rendang?” tanya nenek.“Iya.” Aku menjawab agak ragu. Bagaimana bisa aku tidak berpikir bahwa nenek mungkin sudah tak bisa memakan daging, atau sesuatu yang pedas. Itu pasti tidak baik untuk kesehatannya.“Nenek enggak bisa makan ya?” tanyaku menyesal.
Nenek hanya diam tak menjawab. Matanya sibuk memperhatikan daging rendang yang aromanya begitu menggoda. Lalu, kulihat ia menangis entah sebab apa. Tiba-tiba rasa sesal dalam hatiku makin meninggi. Orang bilang, pikiran orang yang sudah tua lebih sensitif, lebih cepat sedih dan baper. Mungkin nenek sedih karena dulu ia amat menyukai daging rendang dan sekarang sudah tak bisa menikmatinya.
Sisa-sisa giginya tak lagi mampu mengunyah daging yang penuh serat itu.
Aku tiba-tiba saja teringat pada sejarah bakso yang pernah kubaca di internet. Mungkin hari ini sejarah itu terulang untukku. Aku ingin bangun untuk menuju rak piring, mencari ulekan dan ingin mengulek beberapa potong daging agar tetap bisa dinikmati oleh nenek. Namun, tangan tua nan keriput itu menahanku. Aku kembali menatapnya dengan raut wajah bertanya kenapa. Lagi-lagi kulihat wajah itu basah dengan air mata.“Nenek tidak ingin memakannya.”“Kenapa?” tanyaku. “Sekar akan mengulek dagingnya, Nek. Biar mudah dikunyah.”Nenek tetap menggeleng. Aku jadi bingung ada apa sebenarnya. Apa karena larangan dokter atau semacamnya, tapi siapa yang selama ini pernah membawa nenek ke dokter. Bahkan anak-anaknya seolah menganggap perempuan tua itu telah mati.Selama ini yang kutahu dari Farah, hanya ia dan tetangga yang peduli pada nenek. Mereka berjadwal membagikan makanan untuk nenek. Juga menjaganya saat siang saja, atau malam saat nenek meminta untuk ditemani. Selebihnya Farah yang sering bersama nenek. Farah, seorang janda yang dulunya satu kelas denganku, sahabatku. Ia kehilangan suaminya karena kecelakaan saat bekerja. Suaminya tak meninggalkan apa pun untuknya, tidak harta, tidak juga anak. Sebab itu, ia berjuang dengan hidupnya sendiri. Pun sampai sekarang ia tidak menikah lagi.Namun, entah ke mana perempuan berusia sebaya denganku itu sekarang. Sejak aku tiba tadi siang, ia belum terlihat. Kata nenek, sekarang lagi musim sawahan. Jadi, kemungkinan besar Farah masih di sawah.“Nenek sakit.” Panggilan telepon dari Farah membuat dadaku sesak. Ia memintaku untuk kembali ke desa, itu berarti ada situasi yang sangat genting. Aku pikir selama ini, nenek tidak membutuhkanku. Aku pikir perempuan tua itu aman karena tinggal di dekat anak-anaknya.“Sakit apa?” tanyaku melalui sambungan telepon.“Sakit orangtua, Sekar. Paling kentara batuk. Kadang sampai jungkir balik pas batuk, sakit dada katanya.” Tak terasa air mataku merembes begitu saja.“Paklekku kan ada.” “Anu, Sekar.”“Anu apa?” Aku ingin Farah memperjelas.“Setelah lebaran terakhir, dan pindah rumah mereka tak ada yang datang. Kalila dan Karina juga.”Aku terisak. Pikiranku makin jauh saat itu. Andai Farah telepon siang hari, mungkin aku akan segera meluncur ke Bandung. Lagi pun, suamiku sedang bekerja di luar negeri, aku akan izin padanya.Lamunanku seketika terhenti saat Nenek kembali berkata.“Andai waktu bisa diulang, nenek tidak akan memberimu rendang basi saat itu.”Nenek berkata pelan dan lirih, hampir seperti orang berbisik disertai tangisan.
Aku yang masih berdiri, menoleh pada nenek. Lalu, kembali duduk dengan mata yang berkaca-kaca. Tanganku menggenggam tangan keriput itu, mencoba meredam sesak yang mungkin tengah hinggap di hatinya.Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p