Berjuang sampai jadi orang yang paling dia sayang
***
Nadi mengetuk pintu sopan, seluruh perhatian murid teralihkan ke arahnya. Bu Ida memincingkan matanya menatap dasi yang melingkar rapi di lehernya.
"Nyolong dimana kamu?" tanya bu Ida tak pakai hati. Membuat seisi kelas menahan tawanya.
Nadiv mendecih kemudian mengelus dadanya sabar. "Ya saya beli lah bu, masa iya nyolong," ucapnya berbohong. Masa iya harus jujur? Bisa-bisa semua penghuni kelas tertawa ngakak kalau tahu itu dasi milik Rallin. Gadis yang selalu dihindarinya.<
Kadang yang memilih pergi bukan karena bosan, tapi karena terlalu lama diabaikan***"Lo kalo goblok kebangetan sih," ejek Sendi sambil merapikan anak rambut Rallin lalu menyelipkannya ke belakang telinga."Kan gue gak tega kalo misalnya Nadiv yang di hukum," ucap Rallin sambil mengerucutkan bibirnya."Dia udah biasa di hukum. Jadi gak masalah lah," kata Sendi lagi."Bodoamat lah ya yang penting kesayangan gue hari ini gak di hukum," kata Rallin dengan senyum berbinar. Setidaknya ia bisa sedikit berguna untuk Nadiv."Jangan terlalu bucin, Lin. Inget, dia udah ngebucinin orang lain." ucapan Sendi mampu membuat Rallin tertohok.Rallin reflek menolehkan kepalanya menatap Sendi garang. Dengan gerakan cepat ia memukul Sendi dengan beringas."
Aku pernah mencintai seseorang begitu dalam sampai akhirnya aku kepleset, jatuh, kejedot, dan nyungseb:)***Rallin membenarkan rambutnya yang berantakan di terpa angin. Matanya memandang jauh keramaian kota malam ini dari atas balkon kamarnya. Ia sendiri memutuskan untuk pulang meskipun Maudi sempat menahannya untuk tetap tinggal di apartemen. Bukannya ia tidak menghargai kebaikan Maudi. Hanya saja, ia masih ingin meluruskan apa yang salah dirumah ini.Rallin memegang erat teralis besi pembatas balkon. Menghela nafas berat lalu menghembuskannya dengan perlahan. Berharap beban yang selama ini dipikulnya sedikit luruh. Kemudian gadis berombre ungu itu menutup kelopak matanya yang sayu. Pikirannya kembali melayang tentang berhentinya ia memperjuangkan Nadiv, lelaki yang selama ini selalu diminta kepada Tuhan untuk menjadi jodohnya.
Aku masih mencintaimu, hanya saja aku berhenti mengejarmu***BRAK!!Empat orang yang tengah duduk mengelilingi meja itu terperanjat kaget saat salah satu dari mereka menggebrak meja. Lelaki yang menggebrak meja itu hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menatap layar ponselnya. Dengan ekspresi takjub yang terkesan berlebihan dengan mulut yang menganga."Wagelaseh!!! Demi apa lo komen kayak gini di postingan Rallin?!" pekiknya histeris.Didan, lelaki yang telah membuat kehebohan itu tidak habis fikir. Ia membaca berulang kali komentar Nadiv di postingan Rallin. Ini untuk pertama kalinya loh Nadiv mau komen di postingan Rallin. Biasanya mah boro-boro. Mau di mention sebanyak apapun gak pernah di respon."Iya, anjir. Tumbenan amat. Kesambet apaan lo?"
Gimana kalo ternyata orang yang lo hancurin hatinya adalah orang yang hidupnya bener-bener penuh dengan kehancuran?- Henggar Pranadipta***"Pagi-pagi dapet pemandangan seger gini bikin semangat belajar gue makin membara," celetuk Didan kala melihat Rallin yang baru saja memarkirkan mobilnya. Gadis itu tampak membawa gitar di tangannya.Sementara Nadiv yang berada disamping Didan hanya berdecak kesal. Kenapa di dunia ini seolah-olah hanya berisikan Rallin. Apapun yang di bahas pasti ujungnya ke Rallin juga. Nadiv sampai bosan mendengarnya.Didan melirik Nadiv sebentar. "Ya, gue kek gini cuma mau bikin lo sadar aja, sih. Dan bikin lo bisa buka mata lebar-lebar buat liat mana yang baik dan mana yang bu
Ingin bersikap sok gak peduli, tapi tetep aja kepikiran- Nadiv Dirgantara***Keadaan kafe yang bernuansa out door ini sangat ramai. Mengingat kafe ini baru beberapa hari yang lalu di buka. Dekorasi nya sederhana namun menarik. Dengan beberapa lampion yang di gantung di masing-masing sudutnya. Ada juga beberapa tanaman bunga yang tertata rapi disana. Dengan kursi yang terbuat dari kayu gelondongan yang di potong bulat. Menambah kesan alami di kafe ini. Juga banyaknya pohon-pohon yang cukup rindang membuat kafe ini teduh tanpa adanya atap buatan. Namun jika kondisi hujan, kafe ini juga menyiapkan tempat in door. Jadi para pengunjung tidak perlu khawatir.Tepat di meja nomor 28, ada dua pasang remaja dengan seragam putih abu-abu nya tengah sibuk
Move on itu pilihan. Gagal move on itu cobaan. Pura-pura move on itu pencitraan**Dua tahun yang lalu...Seorang gadis berseragam putih biru tengah berlarian mengelilingi lapangan lantaran ia mendapat hukuman dari guru karena terlambat sekolah. Raut wajah gadis itu terlihat masam. Sesekali tangannya menyeka keringat yang mulai berjatuhan di pelipis dan dahinya. Bibir mungil nya itu menggerutu. Seolah tengah mengomeli sesuatu."Coba aja tadi Rehan mau bareng gue, kan gue gak akan telat," kesalnya jika teringat dengan Rehan yang menolak untuk berangkat bersama. Lelaki itu beralasan kalau ia akan menjemput temannya."Ck! Temen lebih penting daripada adiknya sendiri," decaknya lagi."Woi!" teriak seseorang yang mampu mengalihkan perhatian gadi
Aku mencintaimu tanpa berfikir jika takdir ku adalah kehilanganmu- Nadiv Dirgantara H.***"Ke kantin dulu, ya?" ajak Adelia yang langsung di anggukk oleh Nadiv."Kita duduk disana aja, ya?" ajak Nadiv kala melihat bangku kosong di ujung dekat stand. "Ayo," lanjutnya sambil menarik pelan lengan Adelia.Namun dikejutkan dengan hempasan yang cukup keras. Nadiv menoleh, menatap Adelia bingung. "Kenapa?" tanyanya."Kita putus!" ucap Adelia lantang membuat seluruh murid yang ada di kantin memusatkan perhatiannya kepada mereka.Nadiv ter
Lain kali jangan kenal cinta, ribet anjing***Henggar terdiam sebentar. Menyusun beberapa kalimat yang mungkin tidak akan melukai sahabatnya itu. Sementara Nadiv, lelaki itu setia menunggu jawaban dari Henggar. Demi apapun, ia yakin kalau kedua manusia itu memiliki hubungan."Gue gak pernah ada hubungan sama dia," jawab Henggar tenang.Nadiv memincingkan matanya. Sedikit tidak percaya dengan jawaban Henggar. Terlebih sikap Adelia tadi yang memang benar-benar menyatakan kalau mereka memiliki kedekatan.Henggar menghela nafas panjang. Merasa terintimidasi dengan tatapan tak percaya dari Nadiv. "Gue gak bo