Share

[003] Pengembara dan Bandit

"Apa kau tahu ke arah mana aku bisa ke Kerajaan Lotus?" tanya pria berjubah kepada–yang sepertinya–pemilik toko.

Seperti tersengat listrik, tubuhku merinding. Dari balik dinding toko yang telah tutup, di seberang toko yang dipenuhi orang-orang berbadan kekar–berwajah sangar, aku mendengar suara pria berjubah itu dengan jelas dan suara orang-orang yang berada di dalam toko ini sedang menertawakannya.

"Untuk apa kau ke tempat itu?" tanya sang pemilik toko.

"Itu–"

"Oh." Belum sempat ia menjawab, pemilik toko itu justru menyelanya. "Bukankah Kerajaan Lotus hanya bualan orang kota?"

Tak lama setelah ia berbicara dengan nada remehnya, semua orang yang berada di dalam toko itu pun tertawa. Mereka tertawa puas sambil menunjuk wajah pria yang baru saja mendatangi tempat tersebut, sedangkan aku yang mendengar tawa mereka menahan emosi karena ketidaksopanan mereka terhadap pengembara.

Ah, mengapa aku tersulut emosi?

"Cerita itu berasal dari kota, tapi kau tahu, bung ...."

Aku melihat pria tua itu bangkit dari duduknya, meninggalkan benda yang menghasilkan asap ke atas asbak kaca. Kakinya berjalan mendekati pria berjubah yang masih memegang tali kudanya.

Ia sampai di depan pria berjubah, lalu berkata dengan senyum meremehkan, serta mata membelalak. "Cerita itu hanya bualan orang kota agar anak-anaknya tidak berbuat jahat."

"Tidak ada yang namanya kutukan semacam itu." Lalu orang di sampingnya menambahkan perkataannya. "Kita hidup saja sudah merupakan kutukan."

Dia benar.

Menjadi manusia saja sudah merupakan penyakit. Dipenuhi rasa ego yang tinggi, gila akan tujuan, sosiopat, bahkan sakit hati yang berubah menjadi dendam.

Aku setuju dengan ucapannya.

Lalu, pria yang tubuhnya dipenuhi oleh daging itu memanggil pria berjubah dengan sebutan 'bung'.

"Hei, Bung!" Sambil melambaikan tangannya yang sedang memegang tulang–aku tidak tahu itu tulang apa–ke arah pria berjubah. Telunjuknya bergerak menuju kantung yang sedang bertengger di atas punggung kudanya.

"Lebih baik kau berikan sebagian keping koin yang kau bawa itu kepada kami," ucapnya.

"Ya. Kehidupan ini jauh lebih penting daripada mencari yang tiada." Sedangkan pria yang duduk di samping pemilik toko membenarkan ucapannya.

Dari kejauhan ini, aku dapat melihat pergerakan sang pria berjubah tersebut. Tubuhnya bergerak bersamaan dengan tangan yang sigap mengambil kantung yang baru saja ditunjuk oleh pria gendut tadi. Ia menyembunyikan kantung yang sepertinya dipenuhi oleh koin ke dalam jubahnya.

"Aku hanya menanyakan keberadaan tempat itu, tapi apa-apaan dengan jawaban kalian."

Sepertinya emosi pria itu memuncak. Nada suaranya saja sudah berubah menjadi dingin.

"Hei ...." Namun, pria yang seluruh tubuhnya diselimuti bongkahan daging itu tidak peduli dengan perasaannya. "Kami mengatakan ini demi kebaikanmu."

"Daripada kau menjadi gila seperti wanita tua itu."

Tiba-tiba pria cegukan mengikuti percakapan yang sudah tidak mengenakkan. Sembari cegukan, ia menunjuk wanita tua renta yang sedang berjalan tidak tahu arah di tengah jalan.

Karena terkejut melihat telunjuknya yang hampir mengarah ke tempat aku berdiri, spontan aku memundurkan langkahku seakan juga ikut melebur dengan bayangan.

Namun, aku mendengar suara orang-orang yang berada di dalam toko itu tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai, aku mendengar botol kaca saling beradu cukup keras.

Aku kembali memajukan langkahku. Mengingat pemabuk itu mengatakan seorang wanita tua renta sambil menunjuk ke arah jalanan.

Hal yang tidak terduga sukses membulatkan mataku. Pria mabuk itu membuang sisa roti di depan seorang wanita yang jalannya saja sudah terseok-seok.

"Hei, tua!" serunya. "Makan sampah itu!"

"Padahal itu masih layak dimakan." Sedang yang gendut itu cemberut melihat setengah roti dibuang ke tengah jalan.

"Kau ingin memakannya?" tanya pemabuk itu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat.

Dalam sekejap, toko tersebut kembali riuh. Tawa mereka yang tidak terkendali benar-benar memekakkan telinga, bahkan sebagian ada juga yang menghina wanita tua tersebut.

Aku menggeram, tetapi tidak ada yang dapat kulakukan hingga wanita tua renta yang seharusnya sudah menjadi nenek-nenek itu pergi dalam perasaan yang hancur.

'Malang sekali nasib nenek itu.' Ingin rasanya aku membantu, tetapi kaki ini melarang untuk bergerak.

"Memperlakukan orang tua dengan cara yang tidak layak." Pada akhirnya, aku hanya bisa bergumam. "Sikap mereka jauh lebih busuk dari setan."

Di atas setan.

Bahkan, untuk wanita yang semasa hidupnya dikurung masih memiliki simpati.

"Berani sekali memperlakukan wanita dengan rendah seperti itu."

Suara itu berasal dari pria yang mengenakan jubah. Terkesan dingin bersamaan dengan ancaman. Aku mengangkat wajahku untuk melihat pria tersebut yang tertutup oleh kudanya. Sedangkan wanita tua yang dihina tadi berlalu dengan menundukkan kepalanya.

Semua orang terdiam, mengabaikan bahan hinaan mereka.

'Apa aku harus membantu wanita itu?' pikirku, mulai dilema.

Namun, ku urungkan niat untuk kesekian kalinya untuk membantu wanita tersebut. Aku memilih bersembunyi dari balik dinding toko yang telah tutup secara permanen dengan perasaan campur aduk. Ya, rasa sesal.

"Apa-apaan yang kau katakan tadi?" Aku melanjutkan kegiatanku, mendengar pembicaraan dua orang yang satunya memiliki harga diri dan yang satunya lagi suka menghina.

"Setan saja masih memiliki perasaan untuk berbuat jahat ...." Dan ternyata pria berjubah itu memilih untuk mengungkapkan perasaannya. "Tapi kalian semua melebihi setan. Kalian pantas dikatakan sebagai setan dari setan."

Ah, benar. Setan dari setan adalah julukan yang cocok untuk orang-orang yang berada di toko tersebut.

"Apa maksudmu mengatakan itu?" Tentunya, ada yang menolak julukan yang diberikannya. Salah satunya ialah pemabuk tadi yang telah melakukan aksi jahatnya kepada manusia yang tidak bersalah.

Mendengar nada emosi dari pemabuk itu, suasana menjadi mencekam. Tak ada yang berbicara, bahkan berbisik saja tak ada yang berminat. Tatapan mereka tertuju pada pendatang itu, lalu–

BRAK!

Aku terkejut mendengar suara gebrakan  meja yangcukup keras.

"APA MAKSUD KAU MENGATAKAN KAMI SETAN MELEBIHI SETAN?!"

Meskipun tercengang dengan julukan yang diberikan oleh pria itu, pria kekar tersebut memilih untuk menggebrak meja di depannya. Aku terperanjat kaget, meskipun dari kejauhan melihat api membara di setiap orang-orang yang dihina pria berjubah.

"Bukankah itu benar?" tanya pria berjubah. Dia benar-benar memiliki jiwa yang tenang meskipun suasana sudah seperti kobaran api.

"Seseorang yang memperlakukan manusia lain dengan kasar lebih pantas disebut setan yang selalu menggoda manusia."

'Dia sungguh mengatakan itu!?' pikirku.

Berkali-kali aku tercengang mendengar perkataan yang sesuai dengan isi hati, berkali-kali pula orang yang berada di dalam toko itu merasa geram. Aku hanya bisa mengharapkan keselamatan pria penuh nyali tersebut.

"Wow," ucap pemabuk, sambil menatap sinis padanya. "Mulutmu sama saja seperti wanita. Bicara omong kosong, tapi fisik tidak berguna."

Sang pria berjubah itu menghela napasnya. Meskipun wajahnya ditutupi oleh kain, tetapi mata dan pergerakan tubuhnya dapat dibaca.

"Tidak ada gunanya bertarung dengan pria berbadan kekar tapi otak kosong," ucapnya. "Lebih baik aku bertarung melawan babi hutan."

"BERANI SEKALI KAU!?" Alhasil, mengundang amarah pria berbadan kekar tersebut. Kali ini, semua orang pastinya kehilangan kesabarannya.

Dia sungguh memiliki nyali yang luar biasa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Subadiyah
semakin seruu ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status