Share

[002] Hari Pertama

Aku membuka mata begitu mendengar suara kicauan burung yang membawaku keluar dari mimpi buruk. Cahaya matahari benar-benar menyambutku secara langsung. Aku bangkit dari tidur dengan tubuh terasa remuk.

"Apa barusan aku bermimpi?" Kutatap langit biru yang indah tanpa adanya awan. "Jangan-jangan aku berhasil melarikan diri dari "penjara itu"?" Tak kusangka kami berhasil. Pelarian yang sungguh menegangkan.

Aku bangkit dari tidur, membersihkan pakaianku yang kotor karena tanah, lalu menatap tanah becek–membuatku keheranan. Kemudian, aku menyadari bahwa aku telah berada di suatu tempat berupa gang yang terhimpit oleh dua bangunan tinggi.

"Ini ... di mana?" tanyaku pada diri sendiri. "Bukankah ... sebelumnya aku berada di dalam hutan?"

Hutan belukar di mana terdapat pohon-pohon menjulang, kini berubah menjadi gedung tinggi yang hampir berhimpit.

"Mungkinkah aku dibawa oleh pria itu?" gumamku.

Tubuhku hendak beranjak dari duduk, tetapi kepala ini tiba-tiba terasa pusing. Lantas, tanganku bergerak memegang kepala dan mengurungkan niat untuk berdiri.

"Di mana pria pemberontak itu?" gumamku sambil meringis. "Kepalaku terasa sangat sakit."

Mungkin, benturan yang tidak kusadari menyebabkan aku geger otak ringan. Kucoba untuk menenangkan diri, lalu menatap kedua kaki yang bersih dari luka sayatan, tetapi dipenuhi oleh lumpur. Itu membuatku keheranan, terutama pakaian yang saat ini kukenakan sangat berbeda dari pakaian tadi malam.

“Uh ....” Lagi-lagi aku meringis.

'Kenapa kakiku terlihat sangat bersih?' Kini, mulut tak sanggup untuk berbicara. Rasa sakit pada kepala membuatku kehilangan tenaga untuk berbicara. 'Bukankah seharusnya kaki ini penuh dengan luka sayatan dari duri semak-semak?'

Aku merasakan sesuatu yang aneh, bersamaan dengan keberadaanku di tempat yang tidak pernah kulihat. Mimpi tentang hari eksekusi membuatku nyaris mengeluarkan bola mata.

‘Jika betis ini tidak terluka ....’ Ah, aku teringat tentang novel yang pernah kubaca. ‘Tidak mungkin.’

Aku menggeleng dan kembali menjatuhkan pandangan ke betis yang sebenarnya putih, tetapi tertutupi oleh lumpur.

'Apa jangan-jangan kematian itu benar adanya?' pikirku lagi.

Tubuhku gemetar, rasa takut akan kenyataan yang mungkin benar adanya mulai menjalari akal pikiranku.

'Tidak mungkin aku mati karena dieksekusi, bukan?'

Terkesan konyol jika memang seperti itu.

Aku berharap bahwa tebakanku salah. Kucoba untuk bangkit, tapi tetap saja rasa sakit yang luar biasa pada kepala masih menggangguku.

Pada akhirnya, aku hanya bisa menengadah sambil berteriak, "Hei–!" namun, nasib sial menyapaku. Suaraku tercekat, lalu menghilang. Aku terkejut, karena tak pernah kualami suara menghilang walaupun hanya untuk memanggil seseorang.

Karena suara juga bermasalah, aku mengambil langkah terakhir. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. 'Aku harus mencari air!' pikirku kemudian. Aku harus memulihkan suara ini, lalu mencari pria itu, karena ia adalah jawaban bahwa kami berhasil kabur.

Untungnya, nasib baik berniat membantu wanita yang selalu ditimpa kemalangan. Mataku menangkap sebuah guci yang berada di sudut bangunan. Aku pun mendekati guci itu.

'Di dalam guci itu tentunya terdapat air!' pikirku mulai merasa senang.

Aku bangkit dari duduk sambil mengabaikan denyut dan dengung yang cukup mengganggu keseimbangan dalam berjalan. Dengan langkah yang gontai, kudekatkan tubuhku pada dinding agar tidak terjatuh.

Aku berhasil mendekati guci tersebut dan hendak mengambil air dengan kedua telapak tangan. Namun, belum sempat aku mengambil air yang berada di dalamnya, mataku sukses melebar menatap wajah yang berada di pantulan air tersebut.

"A–!" Aku nyaris berteriak, tetapi berakhir dengan tersungkur ke belakang.

Aku terkejut bukan main pada pantulan wajah tersebut, lalu meremas tanah basah yang sedang kududuki sambil berkata, "Wa–wajah siapa yang ada di dalam air itu!?"

Lucu sekali, kali ini suaraku dapat keluar dengan mudahnya.

"I–itu ...." Suaraku menjadi parau, tubuhku gemetar hebat melihat wajah seseorang berada di pantulan. Wajah yang sedikit mirip denganku, tetapi warna mata serta kulitnya berbeda.  "Apa ini semua hanya mimpi?!" Dugaan itu terbesit di benakku.

Spontann, kupegang wajah yang terasa dingin, lalu mencubit pipi cukup keras sampai membuatku menjerit kesakitan. "Ternyata ini bukan mimpi." Mataku pun membelalak.

Tak mempan hanya mencubit pipi, kualihkan pandangan pada rok yang sedang tersibak menampakkan betis putih pucat. Setelah itu, tangan ini bergerak meraih rambutku.

"Aku ... aku berada di tubuh orang lain?!" simpulku, masih tidak percaya. "Ti–tidak mungkin ...."

Namun, bayangan tentang eksekusi mati kembali menghantuiku. Sensasi mengerikan ketika kepala dan tubuh terpisah benar-benar membuat trauma baru pada diriku.

"Apa ini artinya aku telah mati dieksekusi?" Aku menduga-duga. "Lalu, apa artinya dengan tubuhku saat ini?"

Tidak ingin banyak bicara, aku bangkit dan kembali membersihkan rok yang semakin kotor, lalu memantapkan hati untuk kembali mendekati guci berisi air tersebut. Aku berpikir bahwa mungkin saja mataku salah melihat.

Aku menatap pantulan air. Namun, kenyataan tidak mengikuti ekspektasi. Mataku membelalak dan mata di pantulan itu pun ikut membelalak.

"Ini ...." Aku sungguh ketakutan setelah melihat kenyataan di depan mataku. "Wajah ini ...."

Kulit putih pucat yang memang sama dengan kulitku, tetapi mata merah delima bertolak belakang dengan iris mata biru permata milikku saat ini. Aku mengalihkan pandangan untuk menatap rambut cokelat mahoni yang indah terurai kaku sampai ke pinggang. "Warna rambutku sebelumnya berwarna emas ...."

Ini bukanlah tubuhku.

Aku mendorong tubuhku ke belakang, lalu menyandar ke dinding yang berada di belakangku. Aku mulai membayangkan seluruh kejadian selama aku hidup, tawa miris pun keluar dari bibir kecil ini. Seakan menolak pada kenyataan yang tidak masuk akal.

"Apa-apaan ini .... Setelah mengalami masa-masa sulit, lalu kini aku berada di dalam tubuh orang yang tidak kukenal ...."

Sungguh! Tidak masuk akal!

"Eksekusi mati yang aku anggap mimpi ternyata bukanlah mimpi?" Tawaku semakin menjadi. "Dan sekarang? Sekarang aku berada di dalam tubuh orang yang tidak kukenali–"

Aku menghentikan ucapanku, lalu menunduk. Rasa frustasi benar-benar menjalari akal sehatku. Jika saja kuteruskan, aku pasti sudah menjadi gila.

Tangan ini–tangan dari sebuah raga yang tidak kuketahui–bergerak untuk menampar kedua pipi. Aku tidak ingin mengatakan bahwa tubuh ini adalah milikku.

"Apa mungkin ini artinya aku diberi kesempatan untuk hidup menjadi lebih baik, atau ini cara Tuhan untuk memberikanku kesempatan …."

"Hei, jalang!"

Aku cegukan mendengar suara wanita yang jaraknya cukup dekat dariku. Spontan menoleh ke sumber suara, mata ini menangkap wanita berusia sekitar 30 tahun dengan badan kekarnya dan wajah penuh emosi.

Pintu yang berada di belakangnya ditutup dengan keras hingga membuatku terlonjak kaget. Ia mendekat dengan menghentakkan kakinya ke atas tanah yang becek.

"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini!?" bentaknya. Lantas, aku celingak-celinguk jikalau wanita itu ternyata sedang berbicara dengan orang lain. Namun, tak satu pun manusia berada di gang sempit ini, kecuali aku yang bersemayam di tubuh orang lain dan juga wanita berbadan kekar nan sangar.

"Apa yang kau lihat, jalang!" Perkataannya sungguh kasar.

Aku menoleh ke wanita itu, lalu mundur untuk menjauhinya.

"Tidak sopan!" ucapnya kemudian, padahal dia yang tidak sopan. "Rupanya kau sudah berani mempermainkanku! Apa kau bernyali untuk mati!?"

Dia menarik kerah bajuku begitu berhasil mendekat. Aku tercekik karenanya. "S–siapa Anda!?"

"Bahkan kau berpura-pura tidak mengenaliku!?" Wanita itu semakin naik pitam. "Tak ada gunanya kau hidup, akan lebih baik kau mati saat tertabrak kereta kuda waktu itu!"

Napasku terasa sesak, aku meronta untuk dilepas. Namun, wanita itu semakin mencengkram dengan erat kerah bajuku. Sungguh, dunia baru ini membuat otakku tidak dapat bekerja dengan baik!

"Bukannya membantu, malah seenaknya berleha-leha di belakang!"

Setelah mengeluarkan umpatan tidak mengenakkan, ia melepas cengkramannya pada kerah bajuku. Ah, tidak lupa juga ia menghantam tubuhku ke dinding–cukup keras sampai aku meringis kesakitan. Alhasil, membuat napasku tidak beraturan dan terbatuk-batuk.

"Tak usah banyak gaya!" bentaknya. "Setelah ini, kembali bekerja! Sudah berapa lama aku membiarkanmu tidur di belakang?!"

Terbangun setelah mengalami kematian yang tragis, berada di tubuh orang yang tidak dikenal, tetapi memiliki wajah yang hampir mirip denganku, setelah itu disambut dengan kasar oleh wanita yang bahkan aku tidak mengenalinya. Apalagi penderitaan yang akan mendatangiku?

Wanita dengan lengan perkasa itu mendorongku hingga terjatuh. Dia membalikkan tubuh dengan kepulan asap keluar dari hidungnya, lalu memasuki gedung tanpa sepatah kata untuk meninggalkanku. Ah, ia menutup pintu itu dengan kasar untuk kedua kalinya.

Pada akhirnya, aku hanya menatap pintu itu dengan terheran-heran, "Apa-apaan dengan wanita itu?" Aku menepuk-nepuk dada yang berdetak tidak karuan. "Apa kehidupanku akan dimulai dengan penderitaan seperti dulu?"

Helaan napas keluar dari bibirku, aku bangkit dari duduk. Ini sudah ketiga kalinya aku duduk di atas tanah becek dan semakin lusuhlah pakaianku. Setelah itu, aku menatap kedua tangan yang pucat seperti tak ada darah yang mengalir dengan baik.

"Mungkin, sebaiknya aku mencari identitas pemilik tubuh ini." Aku memutuskan sebelum masalah lain ikut berdatangan. "Aku harus mencari tahu bagaimana bisa aku hidup kembali dengan keadaan tubuh seperti ini." Diri ini bertekad.

Niat untuk mengikuti perintah wanita sangar itu sekejap menghilang, kuikuti perasaanku untuk pergi ke luar dari gang yang hanya terkena sedikit cahaya matahari. Tidak lupa untuk menempelkan bahu ke dinding karena aku baru menyadari bahwa rasa sakit di kaki ternyata tidak dapat ku tahan.

Tak lama–berkat kegigihan untuk terus berjalan sampai ke ujung gang, aku menemukan sebuah pemandangan yang mengenaskan.

"Tempat ini ...." Mataku membelalak, kaget.

Terlihat pemandangan berupa rumah-rumah tidak terurus, lalu gedung tua yang terlihat sebentar lagi akan runtuh. Jalanan yang rusak–tak layak untuk dilewati itu–tetap digunakan oleh segelintir orang yang memiliki gerobak, sedangkan beberapa orang lainnya memilih untuk bermenung di depan rumah masing-masing.

Sekarang, mataku lebih tertarik untuk melihat toko kumuh yang dipenuhi oleh orang-orang berwajah kasar sedang duduk sembari menyesapi kopi dan menghirup batang yang mengeluarkan asap.

"Tempat ini tak layak untuk dihuni," gumamku pelan, ketika menyimpulkan keadaan seperti apa yang sedang mereka lalui. "Tempat ini terlihat seperti kota yang tertinggal."

Kini, aku hidup kembali dengan tubuh yang entah siapa pemiliknya dan juga ... ditempatkan di sebuah kota yang mengenaskan. Apa ini pantas kudapatkan setelah menjalankan kehidupan yang menyedihkan?

"Aku diberikan kesempatan, tapi kenapa aku harus hidup di tempat seperti ini?" Aku merasa sedikit kecewa. "Tapi, apa benar ... aku diberi kesempatan untuk hidup lebih baik?"

Pada akhirnya, aku menjatuhkan pandangan ke jalanan sepi. Suara derap langkah kaki kuda menarik perhatian orang-orang sekitar–termasuk aku–itu karena tak ada satu pun orang yang memiliki kuda. Kuda merupakan alat transportasi elit di kehidupanku yang dulu dan mungkin saja di tempat ini juga termasuk elit.

'Siapa itu?' pikirku.

Namun, melihat seseorang itu mendekat ke arahku, tubuh ini spontan bersembunyi ke balik gedung. Tidak tahu mengapa, tetapi naluriku meminta untuk segera bersembunyi dari penunggang kuda itu.

Aku terus menyaksikan kuda yang melaju dengan lambat secara seksama, lalu kembali melihat seseorang yang menungganginya. Rasa penasaranku akan seorang nan misterius dengan jubah dongker yang dikenakan, menutupi kepalanya, dan bahkan mulutnya ditutupi oleh kain. Mungkin saja ia menyembunyikan identitasnya guna menjalankan sebuah misi.

"Jubahnya terlihat sangat elit," gumamku. "Mungkin saja ia seorang bangsawan yang sedang menjalankan misi dari sang raja."

Tebak-tebakan muncul di otakku. Entah apa yang membuat rasa penasaranku ini bergejolak, kakiku pun mencoba melangkah tanpa suara. Kuabaikan teriakan wanita berbadan kekar itu, dan berjalan mendekat ke arah di mana kuda tersebut akan berhenti. Tepat di depan sebuah toko yang tadi kulihat, pria itu memberhentikan kudanya. Orang-orang di dalam sana menatap lelaki itu penuh rasa iri.

"Dia benar-benar memiliki nyali yang besar," pujiku, setelah melihat badan orang-orang yang singgah di toko itu memiliki badan kekar dan wajah sangar. Sedangkan dia ... maaf, badannya tidak sekekar mereka.

Perasaan cemas yang sia-sia menggerogotiku. Aku berharap dirinya tidak mengalami masalah yang cukup sulit. Aku yakin, orang yang berada di dalam toko bukanlah manusia biasa nan ramah-tamah, kemungkinan besar mereka sekelompok bandit yang menguasai tempat ini.

'Apa aku harus ke sana?' pikirku, mulai merasa labil untuk menentukan pilihan. 'Tapi, aku telah terlanjur mengikutinya.'

Katakan saja aku konyol.

Kini aku berhasil berdiri di samping toko, bersembunyi dari balik dinding untuk mendengar percakapan apa yang sedang berlangsung.

"Permisi." Apa yang sedang aku lakukan di tempat ini?

"Apa kau tahu ke arah mana aku bisa ke Kerajaan Lotus?"

Aku tersentak. Dari sekian banyak kejadian dan juga permasalahan-permasalahan yang ada di dunia, mengapa aku harus mendengar nama kerajaan itu di saat hari pertama aku bereinkarnasi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status