“Perasaan itu nggak bisa dipaksa, Nania. Mati-matian pun kamu usaha, kalau pihak sono nggak punya rasa apa pun, ya bakalan gagal. Dan kalau udah kayak gitu, tolong jangan nyari kambing hitam. Mungkin aja Robin enek karena kamu terlalu over atau agresif. Introspeksi diri itu penting.” Dia menarik napas. “Sementara soal apakah aku suka atau nggak sama Robin, nggak ada kaitannya sama kamu. Jadi, aku nggak perlu ngasih jawaban apa pun.”
Ketika meninggalkan kamarnya, Vivian merasa kata-katanya sangat jahat. Namun dia menahan diri agar tidak berbalik dan meminta maaf pada Nania. Sesekali, gadis itu harus belajar untuk menerima kenyataan. Sayang, perasaan bersalah Vivian menyiksanya tatkala esoknya Nania dipastikan tidak bisa melanjutkan trekking karena terkena AMS.
“Jadi, Nania bakalan nunggu kita di Deurali?” tanya Rudi pada Ben.
“Nggak, Nania bakalan turun. Mungkin nanti kita akan ketemu dia lagi di Pokhara. Pravin
Robin tahu, semestinya dia tak boleh merasa senang karena Nania terkena AMS. Namun, nyatanya, dia merasa kebebasannya kembali karena gadis itu takkan melanjutkan trekking. Artinya lagi, selama sisa perjalanan yang masih berlangsung empat hari lagi, Robin akan terbebas dari gangguan Nania.Setelah berdiskusi panjang yang membuat mereka semua baru meninggalkan Deurali telat setengah jam dibanding jadwal yang seharusnya, Ben membuat pengumuman. Bahwa Pravin terpaksa tak bisa menemani mereka melanjutkan perjalanan. Karena sang guide bertugas mengantar Nania ke Kathmandu. Pasalnya, gadis itu memutuskan untuk pulang ke Jakarta lebih dulu.Nania sempat ditawari untuk dievakuasi dengan helikopter tapi dia menolak. Gadis itu beralasan dirinya masih sanggup untuk berjalan kaki. Robin, yang tidak ahli berpura-pura, hanya bicara beberapa patah kata pada Nania. Menunjukkan simpati karena gadis itu tidak bisa menuntaskan trekking-nya.“Hati-ha
Menurut opini cowok itu, Nepal adalah tempat wisata yang bisa membuat para turis merasa betah karena diterima dengan tangan terbuka. Akan tetapi, Nepal juga memiliki kelemahan. Dunia kuliner di negara itu sulit memuaskan lidah orang Indonesia yang terbiasa mencicipi makanan kaya bumbu dan cita rasa. Semua sajian yang pernah dirasakannya sejak menginjakkan kaki di Nepal, cenderung tawar.Dari tempat Robin duduk, puncak Machapuchare yang berada di sebelah kiri dan gunung-gunung di wilayah Annapurna Sanctuary di sebelah kanan, terlihat jelas. Di belakangnya, berjajar kamar penginapan yang terkesan bersih dan rapi. Kamar-kamar itu posisinya lebih tinggi dibanding halaman tea house. Dengan dinding putih dan pintu-pintu dicat warna ungu.“Pemandangannya luar biasa. Nggak tau harus ngomong apa,” ucap Denny. “Nggak sia-sia kakiku rasanya sampai mau patah selama empat hari ini,” imbuhnya berlebihan.“Soal pemandangan, aku setu
Ketika Robin mendapat kepastian bahwa Fida akhirnya diketahui keberadaannya –meski dalam kondisi tak bernyawa- cukup membuatnya lega. Karena itu berarti teman-teman dan keluarga gadis itu mendapat kepastian. Sehingga mereka tidak lagi bertanya-tanya tentang apa yang dialami Fida.“Paling nggak, sekarang kita tau apa yang terjadi. Nggak terus bertanya-tanya di mana Fida. Menyakitkan tapi juga melegakan,” ucap salah satu senior Robin.Dua minggu setelah dilaporkan hilang, seorang pekerja konstruksi menemukan jasadnya secara tak sengaja. Tubuh Fida dimasukkan ke dalam koper sebelum dikubur asal-asalan. Sepertinya ada hewan yang mengacak-acak kuburan dangkal itu hingga mencuat ke atas permukaan tanah. Namun keberadaan koper tampaknya sudah menghalangi hewan itu untuk memperparah kondisi jenazah Fida.Sedianya, para pekerja area konstruksi yang diperuntukkan bagi sebuah pusat perbelanjaan itu akan melakukan pengecoran setengah bulan silam. Namun ter
Vivian merasa sesak napas karena begitu penasaran. Dia sangat ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Robin hingga cowok itu sudah menjadi pecandu alkohol sejak berusia sebelas tahun? Selain itu, dia juga hendak bertanya apakah sampai saat ini cowok itu masih kecanduan? Akan tetapi, tentu saja tidak etis mengajukan sederet pertanyaan saat mereka akhirnya menginjakkan kaki di titik Annapurna Base Camp.Sesi foto pun dimulai. Semua berlomba-lomba berpose di bawah papan-papan petunjuk yang menegaskan mereka sudah tiba di Annapurna Base Camp, dengan latar belakang gunung-gunung bersalju. Setelahnya, rombongan itu memutuskan untuk memasuki ruang makan luas milik salah satu tea house.Udara di luar begitu dingin hingga terasa menusuk ke tulang. Padahal, Vivian sudah melindungi sekujur tubuhnya semaksimal mungkin. Gadis itu mengenakan kaus tebal lengan panjang yang dilapisi down jacket serta sepasang sarung tangan. Juga topi dan penutup telinga. Dia memang t
Mungkin Robin kaget mendengar kata-katanya. Namun cowok itu tidak menunjukkan perasaannya di depan Vivian. “Oh, itu. Apa yang mau kamu tanyain?”Merasa mendapat angin, keberanian Vivian pun menggandakan diri. “Serius kamu kecanduan alkohol sejak berumur sebelas tahun?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara gadis itu tetap direndahkan karena dia tidak mau ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di sebelahnya, Robin mengangguk.“Iya, serius. Ngapain aku ngarang untuk hal kayak gitu? Bukan hal yang oke untuk dipamerin,” balasnya. Robin melipat tangannya di atas meja. “Pasti sekarang kamu jadi pengin tau apa penyebabnya,” dia menebak.Pipi Vivian mendadak terasa hangat. Namun dia mengangguk jujur. “Iya. Mau cerita?”Hanya ada jeda sekitar tiga detik sebelum Robin mulai buka mulut. Diawali dengan kematian ibunya yang mendadak sekaligus membongkar kenyataan bahwa ayah yang dikiranya sudah meninggal ternyata m
“Aku pengin tau apa aja yang kamu lakuin di tempat rehab. Boleh?” Vivian bicara lagi. Dia baru saja meneguk cokelatnya yang sudah hangat.Tawa Robin terdengar. “Dari tadi kayaknya kamu hati-hati banget mau nanya. Takut aku tersinggung atau apalah. Iya?”“Iya, dong. Takutnya kamu malah nggak mau cerita karena ngerasa aku terlalu bawel atau tukang ikut campur,” Vivian menyeringai. Kini, dia merasa lebih santai untuk mengajukan berbagai pertanyaan karena tampaknya Robin tidak merasa keberatan.Robin tidak langsung merespons karena Ben mengumumkan mereka akan kembali ke MBC maksimal satu jam lagi. Tidak ada yang mengisyaratkan keberatan. Sementara itu, sekelompok orang bergabung di ruang makan. Mereka membuat suasana kian riuh dengan obrolan tentang betapa indahnya tempat itu.“Di tempat rehab, para pecandu biasanya ngelakuin banyak hal. Dulu, aku ngejalaninya dengan setengah hati. Aku nggak pernah beneran pengin semb
“Pernah, berkali-kali malah. Tapi sampai sejauh ini aku bisa bertahan. Pokoknya, aku selalu berusaha menyibukkan diri. Supaya nggak punya waktu mikirin soal minuman lagi.” Cowok itu mengangkat gelas kopinya. “Lima tahun terakhir ini aku cuma minum macam-macam kopi.”“Wah, kalau gitu nanti kamu harus datang ke toko roti papaku. Kami juga nyiapin kopi aneka rasa. Kebanyakan idenya dari aku,” ungkap Vivian dengan bangga. Gadis itu tertawa geli karena kata-katanya sendiri. “Toko roti papaku namanya Super Bakery. Aku jamin, kami akan nyiapin kopi-kopi enak yang rasanya unik.”Robin memandang Vivian dengan penuh ketertarikan. Alisnya terangkat. “Serius?”“Apanya?” balas Vivian bingung.“Itu, kopi enak dan rasanya unik?”“Yup!” tegas Vivian, diikuti dengan anggukan mantap sebagai penegasan.Seperti kata-kata Ben, perjalanan pulang ke tea house d
“Nggak usah ngerasa bersalah, Bin. Tante Diana itu memang jahat, kok! Tega banget bikin anak umur sebelas tahun sampai kecanduan alkohol.” Gadis itu menghela napas. “Aku simpati sama kamu, bukan kasian lho ya. Jangan salah paham. Aku tau gimana rasanya ditolak sama orang-orang yang seharusnya jadi yang terdekat sama kita,” gumam Vivian.Gadis itu mungkin tidak akan tahu seperti apa penderitaan yang harus dilewatkan oleh Robin. Namun dia memiliki pengalaman yang bisa dibilang cukup mirip dengan apa yang dilalui oleh Robin di masa remajanya.Robin tertawa tapi terdengar pahit. “Oh ya? Memangnya kamu punya pengalaman buruk apa? Aku kok nggak percaya.”Vivian berhenti. Robin pun ikut-ikutan. Rudi dan Carlo melewati mereka, sibuk mengobrol tentang rencana untuk mendaki Rinjani akhir tahun ini. Gadis itu menatap Robin dengan serius. “Aku saranin, kamu harus percaya.”“Oh ya? Harus ada alasannya dong, Vi.&rdq