Share

Kemana

Papa Lianne menatap Lianne yang tertunduk di kursi bersebrangan dengannya. Ada sedikit kemarahan yang ingin ia luapkan untuk anak gadisnya yang sudah mulai beranjak dewasa.

"Papa mendapatkan laporan, kau sering tidak berada di rumah dan bahkan menginap entah dimana, benarkah begitu?" tanya papa Lianne dengan intonasi yang masih datar.

Lianne menatap wajah ayahnya, baru saja sehari di rumah papanya sudah menunjukkan wajah tak empati. "Iya, pah," pelannya, tapi ia sungguh ingin menatap tajam mata ayahnya karena sebenarnya ia juga telah kehilangan empati untuk papanya yang selalu sibuk.

"Lianne, kau tak merasa bersalah? Apakah itu wajar?" ujar papanya dengan sedikit keheranan, Lianne tampak santai mengatakannya. "Dan kenapa kamu menatap papa seakan mau melawan papa?"

"Bagaimana menurut papa? Apakah Lianne putri yang menurut atau putri yang melawan? Apakah papa tahu?" sergah Lianne tanpa rasa takut.

Papa Lianne menghela napas. Heran dengan tingkah Lianne yang tiba-tiba berubah. Ada apa sebenarnya? 

"Lianne? Bicaramu sangat kasar!" bentak papanya.

Lianne melengos, ia memang ingin papanya tahu bagaimana perasaannya sekarang ini.

"Sudahlah, Pa. Setelah lulus ini, Lianne akan bertemu ibu dan tinggal di rumah ibu. Papa tak perlu mengurusi Lianne. Lagipula Kakak juga akan pulang ke Indonesia, Lianne yakin Kakak juga membeli rumah sendiri dan Lianne akan tinggal bersama kakak," katanya sambil beranjak dari hadapan Lianne.

"Berhenti disitu! Papa belum selesai bicara!"

Lianne menghentikan langkahnya, tapi ia tak membalikkan tubuhnya apalagi duduk seperti tadi.

"Kamu belum menjawab pertanyaan papa, dimana kamu sering bermalam akhir-akhir ini?"

Lianne tahu, pertanyaan ini pasti akan terjadi. Akan tetapi ia sangat ingin merahasiakan yang sebenarnya.

"Hanya teman," ujarnya singkat.

"Teman? Teman seperti apa maksudmu?" cecar papanya. "Yang jelas kalau bicara Lianne, teman lelaki  atau wanita, teman sekolah atau teman les, siapa namanya? Sebutkan."

Lianne berbalik, kembali menatap ayahnya. "Apa itu penting, Papa? Selama ini aku tampak baik-baik saja bukan?"

"Lianne?!" Papanya yang geram mulai mengangkat tangannya, tapi ia menahan dirinya saat melihat putrinya seakan malah memasang wajahnya.

"Kenapa papa berhenti? Lakukan saja kalau papa mau memukulku," ujarnya pelan, tapi setitik air mata meleleh di sudut matanya.

"Lianne, seorang papa tentu saja mementingkan putrinya, itulah sebabnya Lianne harus menceritakan apa saja yang Lianne lakukan."

"Itu tidak akan terjadi lagi, Pa. Aku sudah bisa mengatasi hidupku sendiri. Sebentar lagi Lianne juga lulus, jadi tugas papa menjagaku sudah selesai. Lianne akan bersama ibu di desa." Lianne memutuskan hal semacam itu tanpa memikirkan apapun. Yang paling ia rasakan adalah kebosanan hidup bersama papanya.

"Tidak, lebih baik persiapkan dirimu untuk kuliah di Australia. Papa akan persiapkan semuanya." 

Lianne makin tak mengerti, kenapa papanya melarang dirinya bertemu dengan mama kandungnya sendiri. Bukankah perceraian itu urusan mereka? Lianne akan mencoba untuk tak perduli dengan hubungan kedua orang tuanya. Akan tetapi dirinya sungguh merindukan ibunya.

"Papa, Lianne tak akan kemana-mana, Lianne akan tinggal di kampung bersama Mama. Toh mama juga bisa hidup tenang di sana."

"Lianne, mamamu juga sudah menikah lagi dengan orang desa, dan sekarang mungkin sudah memiliki anak," ujar papanya pelan.

Lianne mendengar dengan jelas perkataan papanya, tapi kenapa ia merasa tak percaya dengan kalimat yang baru didengarnya?

Hatinya meronta dan ingin menjerit. Bahkan ia seperti seorang anak yang tak diinginkan siapapun diantara kedua orang tuanya. Haruskah dirinya hanya bisa  menerima saja perasaan luka ini tanpa bisa menolak? 

Lianne mengepalkan tangannya, lalu perlahan menatap papanya tajam.

"Baiklah, aku tahu sekarang, aku harus menjadi diriku sendiri papa. Aku tak akan kembali ke tempat mama, tapi aku juga tak ingin kembali untuk papa. Mulai sekarang, biarkan Lianne menentukan hidup Lianne sendiri."

Lianne melangkah pergi dengan air mata yang berlinang, hatinya sakit dan perih mendengar semua itu.

"Apa yang harus aku lakukan?" lirih Lianne terisak. "Apa semua ini adalah bagian yang pantas untuk aku terima? Salah apa aku sehingga mereka semua meninggalkan aku?" isaknya makin dalam.

Ia melihat arlojinya yang menunjukkan pukul delapan malam. Ini adalah waktu dimana Mama dan papanya hendak makan malam. Benar saja, ketukan dari papanya mulai terdengar.

Lianne berpura-pura tidur, ia tak mau bertemu dengan mereka malam ini. Tak lama kemudian handle pintu diputar, dan papanya melongok melihatnya. Sedetik kemudian pintu itu tertutup kembali.

Lianne mengetik sebuah pesan.

__Jemput aku di halte bus dekat rumahku sekarang juga__

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status