Masuk"Pak Arhan, aku butuh perlindungan... izinkan aku jadi orangmu!" "Manfaat apa yang bisa saya dapat?" "Aku bersedia menemani Anda sampai tua!" Arhan menyeringai. Dia menatap Ziana dengan senyum mencibir. "Hmm, tapi saya tidak suka gadis kecil yang bodoh." Ziana cemberut, dia yakin Arhan pernah mengutuk sikap lugu Ziana yang sering kali dibodohi dan dimanfaatkan. "Aku bisa belajar untuk lebih pintar. Bagaimana jika memulai dari sekarang?" Ziana menjatuhkan dirinya tepat di pangkuan Arhan. Tersenyum menggoda dan mengerlingkan matanya yang bening dan jernih seperti kilau bintang. "Yakin? Sekali berniat ... kamu tidak bisa lepas." Arhan merangkulkan tangannya di pinggang gadis itu, seperti sebuah kungkungan rantai yang tidak bisa lagi terlepas jika targetnya sudah berhasil direngkuh. "Aku tidak akan goyah lagi, jadi bagaimana ... apa Anda bersedia memungutku?" ***RatuAs Ziana, gadis muda yang berasal dari panti, tidak berpengalaman dan tidak punya koneksi. Terlahir dengan kecantikan malah membuat Ziana lelah dijadikan objek permainan dan dimanfaatkan banyak orang. Dia ingin menghindar dari banyak lelaki yang menawarkan manisnya cinta dengan sejuta lukanya, tapi untuk gadis rapuh sepertinya bahkan menghindar satu langkah saja tak mampu. Dia pun berpikir untuk mendekati lelaki berkuasa, lelaki yang dingin, tegas, dan tidak pernah tergoda oleh pesonanya. Ziana hanya ingin diselamatkan, namun siapa sangka jika lelaki itu memberikan lebih--keamanan, kenyamanan, dan rasa yang berbeda dari pesona seorang lelaki dewasa?
Lihat lebih banyak"Lap, sepatuku!" titah seorang pemuda yang baru saja keluar dari aula pesta setelah menghampiri seorang gadis yang berjalan di pinggiran kolam bernama Ziana.
Ziana tertegun. Dia diam sesaat, lalu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang selain dia yang berdiri di sana. Tempat itu sepi, berbeda dengan aula pesta ulang tahun yang berada di rumah besar itu. Ziana menyingkir dari keramaian karena sadar pesta ulang tahun sahabatnya sangat mewah, dihadiri oleh banyak muda-mudi dengan pakaian yang mahal, berbanding terbalik dengan penampilan Ziana yang hanya memakai gaun sederhana, itu pun dia dapat dari meminjam teman. Ziana tidak mau membuat sahabatnya--Sandra--merasa malu. Dia berniat ingin menemui dan memberikan Sandra hadiah saat acaranya nanti selesai. Jadi Ziana menunggu di samping rumah, di mana ada sebuah kolam dan taman di sana. "Tuli? Cepat lakukan!" Aziel kembali memerintah, kali ini dengan menunjuk sepatunya dan memajukan kaki kanan di hadapan Ziana. Raut wajah lelaki itu bukan hanya tidak ramah, namun juga menyebalkan. "Bukan aku yang menumpahkan minuman itu, kenapa kamu memerintah?" protes Ziana. Dia tidak tahu siapa lelaki di depannya, datang-datang langsung meminta Ziana membungkuk dan membersihkan sepatunya. "Tapi kamu pelayan kan?" Ziana tercengang dengan anggapan pemuda itu--Aziel. Dia pun menatap Aziel dengan tatapan sengit. Gadis itu cukup berani untuk protes dan tidak mengindahkan perintah orang gila seperti Aziel. "Kamu masih muda, harusnya tidak rabun! Bagaimana bisa kamu mengira aku pelayan? Bukankah para pelayan itu memakai seragam!" Tunjuk Ziana ke jendela besar yang transparan, dimana seorang pelayan terlihat di aula pesta, mereka memakai seragam pelayan khusus. Aziel berdecih. Gadis miskin yang cukup berani, pikirnya. Dia kembali menelisik penampilan Ziana. Gaun berwarna mencolok yang dipakainya sangat ketinggalan jaman. "Yah, kalo kamu bukan pelayan, mungkin anak pelayan? Buktinya, hanya kamu yang datang ke sini memakai gaun lusuh, tidak tahu dresscode?" Aziel tersenyum mencibir, ekspresinya sangat menyebalkan. Kekehan tawa dan pertanyaan dari Aziel terdengar merendahkan, Ziana dibuat makin geregetan. Namun dia tahu bermasalah dengan anak orang kaya bukan sesuatu yang baik. Ketimbang melayaninya, Ziana memilih balik badan dan hendak menjauh. "Tunggu, kamu sungguh tidak mau membantuku membersihkan sepatuku? Aku bisa membayarmu mahal, apalagi jika kamu mengelapnya dengan gaun jelekmu itu!" Ziana mengepalkan tangannya. Sebagai anak yatim piatu dari panti asuhan, dia sering mendengar penghinaan, tapi harusnya bukan dari orang rendom seperti pemuda itu. Kenal saja tidak, sudah berani merendahkan! "Maaf aku tidak berminat! Aku datang ke sini untuk memenuhi undangan Sandra dan ayahnya!" Ziana tak acuh, dia mengangkat kaki dan hendak melangkah. Aziel tidak terima. Dia yang sudah kesal karena sepatunya kotor tertimpa minuman di aula pesta tadi. Kini ditambah dengan sikap sok dari gadis miskin membuat emosinya makin meluap. "Heh--" Aziel menegur, tangannya menarik pundak Ziana agar berbalik, namun tenaga yang terlalu kuat justru membuat langkah Ziana terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Byuuurrr! Tubuh Ziana tercebur saat Aziel melepas tangannya dari gaun yang sobek di bagian pundak. Ziana tidak bisa berenang. Gadis itu pun gelagapan. Bukannya menolong, Aziel justru tertawa puas. Dia bahkan sengaja tidak melakukan apa pun, menikmati suara kecipak air dengan teriakan minta tolong yang teredam. "Kamu tidak bisa berenang? Mau kubantu? Memohonlah dulu!" ucapnya angkuh. Suara minta tolong Ziana tidak terdengar oleh orang-orang di aula yang sedang asyik menikmati musik dan menyanyikan lagu ulang tahun. Namun, apa yang Aziel lakukan terlihat jelas oleh sang tuan rumah yang berdiri di balkon dan melihat ke arah kolam renang di bawah. Lelaki matang itu sejak tadi melihatnya, namun tak acuh, menganggap adegan di bawah hanya permainan anak muda. Tapi saat melihat gadis yang tercebur tidak lagi muncul ke permukaan, ia mengernyit dan memahami situasinya. Arhan pun bergegas turun. Dia berjalan melewati aula pesta dengan langkah yang tegap dan aura yang karismatik, sontak menjadi sorotan, namun wajah dinginnya membuat muda-mudi itu tidak berani menyapa dan hanya bergeser memberi jalan. Sandra yang sedang berdiri di depan kue ulang tahun menoleh ke arah ayahnya itu, namun Arhan hanya memberi isyarat untuk Sandra melanjutkan acaranya. Sandra tersenyum dan mengangguk, tidak mencegah ayahnya yang berjalan keluar. Dia tahu ayahnya bukan seseorang yang suka keramaian. Meski diizinkan menggelar acara pesta ulang tahun, bukan berarti Arhan akan mengikuti acara. Sandra bisa memaklumi sifat ayahnya. "Keributan apa ini?" tegur Arhan pada Aziel yang seketika menghentikan tawanya. Pemuda itu menelan ludah saat melihat Arhan tak jauh darinya. "Apa kamu ingin mengacaukan pesta ulang tahun Sandra?" Arhan melangkah, setiap hentakan kakinya terdengar menakutkan di telinga Aziel yang kini nyalinya menciut. Arhan bukan orang lain, dia adalah adik dari ibu Aziel, jelas saja Aziel tahu betul bagaimana sifat dan temperamen pamannya. "Apa kamu berniat membunuh seseorang?" cecar Arhan lagi, melirik ke arah kolam yang masih beriak, auranya yang dominan dan mengintimidasi cukup membuat Aziel sadar apa kesalahannya. "Paman Arhan? Ti--tidak, aku hanya--" Aziel ingin berkilah tapi lidahnya terasa kelu. Pemuda itu hendak menceburkan diri untuk menolong Ziana karena takut mendapat teguran lebih keras dari Arhan. Namun tidak dia sangka, Arhan jauh lebih gesit masuk ke kolam, lalu mengangkat tubuh Ziana yang sudah lemas. Saat berhasil naik, Ziana tak sadarkan diri. Arhan membantunya memberikan pertolongan pertama.Sementara Aziel berdiri kaku. Setelah ini dia pasti akan mendapat masalah. Dia tahu adik ibunya itu bukan seseorang yang bisa direpotkan dengan hal seperti ini.
"Paman, apa dia mati?" Aziel ketakutan ketika Arhan memompa tangannya di dada Ziana untuk melakukan CPR, juga menempelkan mulutnya ke mulut Ziana untuk memberi napas buatan, tapi Ziana tak kunjung merespon, yang ada wajahnya semakin pias. Jangan sampai Ziana mati, bisa-bisa pamannya akan menjebloskan Aziel ke penjara sebagai hukuman! Arhan tidak mendengarkan ocehan Aziel yang ketakutan. Dia fokus pada Ziana yang bibirnya membiru dan terus memberikan pertolongan sebisanya sampai harapan itu kembali. Uhuuuk! Uhuuuk! Ziana terbatuk, dia bangun dan muntah banyak air. Sekarang Arhan kembali menatap keponakannya itu dengan raut wajah yang kaku. Tidak ada kelegaan di wajah itu meski sudah berhasil menyelamatkan seseorang. "Anak bodoh! Apa kamu tak punya nurani, hah? Siapa yang mengajarimu menjadi iblis? Kamu puas menindas seseorang dengan cara yang berbahaya seperti itu?" Plak! Arhan memarahi Aziel dengan mengeplak kepalanya memakai jas yang tadi dia tanggalkan, lalu Arhan kembali membungkuk untuk menyelimuti punggung Ziana dengan jas itu. Mungkin karena Arhan membayangkan jika gadis yang diperlakukan tak baik itu adalah putrinya, dia pasti tidak terima. Tidak peduli yang melakukannya keponakan sendiri, Aziel tetap harus mendapat pelajaran! "Ma--maaf, Paman... aku, aku hanya sedang bercanda!" Aziel memohon seperti pecundang. Di hadapan pamannya, keangkuhan Aziel bukanlah apa-apa. "Toh, Paman sudah menyelamatkan dia, Paman memberi napas buatan dan dia sudah bangun!" "Bercanda?" Tatapan Arhan menajam. Saat dia mengangkat tangannya, Aziel yang mengira akan dapat bogem buru-buru merunduk, membuat Arhan berdecih. Tangannya yang mengawang di udara hanya meremas angin kemudian turun dan berbalik menunjuk wajah Aziel. "Kamu, temui Paman di rumah Nenek besok!" Arhan cukup tegas ingin memberi Aziel hukuman, tapi tidak sampai hati membuat wajah keponakannya babak belur. Sebagai pria dewasa, tentu Arhan harus bersikap bijak. Ziana masih diam, dia syok, otaknya belum bisa mencerna apa pun sampai matanya bertemu tatap dengan manik tajam Arhan yang membuatnya menegang. Ziana sampai tersedak ludah, reflek menutup mulutnya lalu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia mengerjap, bayangan tentang napas buatan berkeliaran di benaknya saat menatap pria gagah di depan. Bukankah hal itu dilakukan dengan menempelkan bibir? Seperti ciuman! Entah kenapa bukan hanya fisik saja yang lemas, sepertinya otak Ziana ikut eror karenanya. "Kamu bisa berdiri?" Arhan mendekat, hanya bertanya dan tidak berniat menolong lebih, namun reaksi Ziana yang hendak berdiri lalu terjatuh lagi karena kakinya gemetar membuatnya iba. Gadis itu terlalu gugup menghadapi Arhan. "Apa gunanya kaki kurusmu jika hanya terendam sebentar langsung lemas--" Ucapan Arhan terdengar seperti cibiran, namun gerakannya yang tanggap membopong Ziana sama sekali tidak terduga. "Aku bisa jalan sendiri, Pak Arhan--" "Kamu yakin? Hanya untuk berdiri saja jatuh, kamu mungkin akan masuk angin jika berjalan dengan pakaian basah seperti itu." Ziana mengikuti arah mata Arhan pada gaunnya yang basah, menerawang, dan tercetak jelas di tubuh ramping Ziana. Sontak dia mengeratkan jas yang menyelubungi punggung lalu meringkuk dalam dekapan pria dewasa itu. Keadaannya sekarang sangat tidak menguntungkan untuk menolak bantuan, akhirnya Ziana hanya bisa pasrah sambil menahan malu. Tangan Arhan yang kokoh dan hangat sangat kontras dengan tubuh rapuh gadis itu. Usia Arhan mungkin tidak muda lagi, namun badannya masih kekar dan gagah. Wajahnya pun terbilang tidak menua, di usianya yang menginjak kepala empat. Dia seorang duda. Arhan berjalan masuk lewat pintu lain agar tidak mengganggu acara putrinya yang masih berlangsung. "Kamu bisa menginap malam ini, Sandra pasti akan sangat khawatir jika tahu keadaan sahabatnya begini--" kata Arhan yang membuat Ziana tertegun tak percaya. Dia menurunkan Ziana di kamar tamu. Rupanya lelaki dewasa yang selama ini terlihat dingin dan tidak peduli pada orang selain putrinya itu cukup perhatian--dia mengenali Ziana! Padahal Ziana kira Arhan tidak tahu siapa gadis berpenampilan lusuh dan bernasib menyedihkan ini. Entah kenapa, Ziana merasa berdebar saat tahu jika ternyata Arhan mengenalinya! Lelaki yang di matanya sangat dingin dan angkuh, kini punya kesan yang berbeda. Ada kebaikan dan ketegasan seorang lelaki yang membuat hati wanita merasa aman dan nyaman. "Kenapa? Matamu bisa kelilipan kalau tidak berkedip," tegur Arhan mengernyitkan keningnya saat menatap manik bening milik Ziana. Ziana gelagapan, gugup terpergok sedang menatap lelaki dewasa itu dengan tatapan kagum! "Ti--tidak...." Ziana menggeleng panik, pipinya yang dingin karena air kini justru terasa menghangat. "Kamu bisa ganti baju, saya akan suruh pelayan membawa baju ganti," imbuh Arhan, tetap bersikap biasa dan tidak menanggapi lebih sikap Ziana yang seperti anak-anak sedang heran. Ziana mengangguk sungkan, dia juga tidak nyaman dengan tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan. "Te--terima kasih, Pak Arhan--" ucap Ziana membungkuk. Arhan hendak berpaling, namun gerakan Ziana menarik perhatiannya. "Tunggu... kenapa belakang gaunmu memerah, itu darah! Apa kamu terluka?" Arhan menunjuk bagian pantat Ziana yang seketika membuat wajah gadis itu merona--malu!"Ibu, dengar? Kakak sungguh tidak masuk akal kan?" Arhan yang tadi duduk bersandar kini menegapkan tubuhnya, tersenyum miring lalu menghela napas lelah. Wina hanya melirik Raya, dia setuju dengan Arhan. Jika Raya bilang ini tentang perebutan kekuasaan maka ucapan Raya sangat tidak masuk akal. Sebagai ibu, Wina tahu betul bagaimana sifat Arhan. Putranya itu bukan seseorang yang tamak. Arhan menganggap anak kakaknya sama saja seperti bagian dirinya. Hanya saja, Arhan punya batasan dan punya cara bagaimana memperlakukan keponakannya. "Selama ini Yudis menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga ayahnya. Dia tidak dididik dengan baik hingga tumbuh menjadi pemuda yang tidak jujur. Ketimbang terus membelanya, kenapa Kakak tidak coba untuk merenung?"Raya terdiam, namun tatapannya masih tajam pada Arhan. "Sifat Yudis sudah terlanjur buruk. Kalau dia tidak diberi pelajaran sampai kapok, maka tidak akan mau berubah--""Tapi setidaknya bisa beri dia hukuman lain. Di penjara bukan sesua
Ziana seolah ditarik untuk harus lebih sadar diri setiap kali terbangun dari khayalannya dan melihat dunia nyata yang sedikit perih, jauh dari angannya."Ada apa?" Dika mendekat, dia melihat ekspresi Ziana yang tidak tampak baik saat melihat ponsel. Dia kira Ziana mendapat kabar buruk. Ziana menggeleng. "Tidak ada apa-apa, hanya masalah kecil.""Ayo berkeliling panti, " ajak Ziana kemudian. "Bangunan ini baru selesai, aku juga belum sempat melihat seluruh ruangan yang sudah selesai dibangun."Dika mengangguk. Keduanya berjalan bersama mengelilingi panti. Ada juga beberapa anak yang mengikuti dengan langkah riang. ***Arhan menghela napas, begitu juga dengan Evan yang tampaknya kesal dan jengkel dengan ibunya. Saat mereka harus mengikuti lomba orang tua dan anak yang mengharuskan kerjasama tim, performa Ofi sangat buruk. Berkali-kali dia yang membuat tim mereka kalah dan tidak kompak. "Maaf, Sayang. Kalo kegiatan panas-panasan gini Ibu susah fokus. Kepala Ibu rasanya pening dan pan
"Baiklah, aku akan pergi bersama supir." Arhan mengangguk lagi. Dia langsung mentransfer uang, jumlahnya lumayan diluar perkiraan Ziana. "Pak Arhan, ini terlalu banyak--" Ziana melebarkan matanya saat menatap layar ponsel melihat uang sepuluh juta masuk ke rekeningnya. "Lebihnya bisa kamu tabung. Anggap saja bonus karena kamu sangat penurut," kata Arhan yang sudah selesai makan. Dia berdiri tanpa bicara apa pun lagi. Bergegas pergi ke kantor. Ziana mengiring dari belakang dengan senyum senang. "Pak Arhan, hati-hati!" ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil Arhan yang mulai melaju. Dia berdiri di teras, tatapannya terus mengikuti sampai mobil itu benar-benar tidak lagi terlihat. ***"Om Arhaaan!" Evan menyambut kedatangan Arhan dengan senyum ceria. Dia sudah berada di sekolah ketika Arhan datang menyusul. Arhan mendekat, melihat sekitar yang sudah ramai dengan kedatangan wali murid lainnya. Arhan baru tahu kenapa Evan memintanya datang ke sekolah ketika sampai. Ternya
Ziana memeluk dengan erat, kepalanya menyender di dada Arhan. Dia sempat kesal karena Arhan memarahinya, namun sekarang rasa takut membuatnya sadar dalam situasi seperti itu tetap hanya Arhan yang dia harapkan sebagai penolong. "Kamu takut? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Vila ini aman--" Arhan coba menenangkan. Bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan Ziana cemas dan merasa stres karena trauma kemarin. "Tidurlah lagi, saya akan di sini--" "Terus nanti pindah?" Pertanyaan polos itu membuat Arhan tersenyum miring, lalu mengacak rambut Ziana dengan gemas. "Anak kucing saja berani tidur sendirian. Kamu penakut sekali--"Ziana cemberut, dia menunduk dengan enggan disuruh tidur. "Tenanglah, setelah kamu tidur saya akan pindah ke sofa." Arhan menunjuk sofa kecil di pojok ruangan. "Tidak, itu tidak bisa digunakan untuk tidur--" Ziana menggeleng cepat. Tidak seperti kamar yang Arhan tempati ada sofa panjang yang nyaman untuk Ziana gunakan tidur. Di sini hanya ada sofa kecil, jika pun












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasanLebih banyak