Setelah hampir tiga tahun menikah, semakin terbukti kesetiaan Mila terhadap suaminya. Simon sering mengikutsertakannya dalam berbagai hal. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu sangat menghargai pendapat istrinya tersebut. Oleh karena itulah, ketika Theresia tadi meneleponnya sambil menangis terisak-isak, laki-laki tua itu langsung mengajak Mila ikut serta pergi ke rumah putri tercintanya.
Sekarang ia dan Jonathan duduk di sofa ruang keluarga untuk membahas persoalan yang terjadi. Dengan tanpa malu-malu akhirnya suami Theresia itu menceritakan segala hal yang terjadi dalam rumah tangganya selama setahun terakhir.
Dahi Simon sampai berkerut mendengarkan ceritan menantunya tersebut. Tak disangkanya putri tunggalnya sanggup bertindak sewenang-wenang terhadap suaminya sendiri. Ia menyadari bahwa anaknya itu memang sangat m
Jonathan tercenung mendengar kalimat-kalimat Simon yang menyejukkan hati. Bisakah There mengubah sikap dan perilakunya itu? tanyanya bimbang dalam hati. Hmm…sebenarnya bisa saja kalau dia mau. Dan itu membutuhkan tekad dan upaya yang keras. Barangkali kehadiran Papa sekarang justru bisa memperbaiki segalanya, pikir Jonathan seolah-olah melihat sebuah harapan baru. “Baiklah. Saya akan menuruti Papa kali ini. Terima kasih sebelumnya sudah menawarkan tempat tinggal untuk saya....” Simon tersenyum bijak dan menepuk-nepuk bahu menantunya, “Kau ini sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri, Jon. Masa kau tidak bisa merasakannnya?” Jonathan mengangguk mengiyakan. Ayah mertuanya ini memang selalu bersikap baik dan tak membeda-bedakannya dengan Theresia.  
Selanjutnya dia terduduk seperti dalam posisi bersujud. Tangan kanannya memegang dada kirinya. “Aaarrggghhh….”“Papaaa!” seru Theresia seraya melepaskan pisaunya. Perempuan yang kondisi mentalnya kurang stabil itu langsung menghambur ke arah ayahnya dan memeluknya erat-erat. Simon segera memberi isyarat kepada istrinya untuk menyingkirkan pisau yang jatuh ke lantai. Mila mengangguk mengerti. Diambilnya benda tajam yang hampir menimbulkan malapetaka itu dan diberikannya pada Bi Sum yang berjalan mendekatinya.“Mulai sekarang, simpan semua pisau baik-baik sehabis memasak. Jangan sampai ditemukan oleh Nyonya There,” pesannya kepada pembantu senior tersebut. Bi Sum menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan segera menghilang dari ruang keluarga itu bersama rekan-rekan sekerjanya.&nbs
Diraihnya kedua telapak tangan di depannya dan digenggamnya dengan penuh kasih sayang. “Papa dan Tante Mila akan membantumu menjadi seorang istri yang baik bagi seorang Jonathan Aditya. Benar kan, Mila?”Istri tercintanya itu mengangguk dan tersenyum tulus. Hati Simon lega sekali melihatnya. Dia tak tahu bagaimana masa tuanya tanpa kehadiran istrinya yang berhati mulia ini. Mestinya anakku banyak belajar dari Mila bagaimana caranya melayani suami dengan penuh cinta kasih, pikirnya serius. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang timbul dalam benak pria tua itu.“Mila, bagaimana kalau untuk sementara waktu kita berdua tinggal menemani There di sini? Ambillah seluruh perlengkapan sehari-hari kita di rumah dan bawalah kemari. Katakan pada Jonathan bahwa kita akan bertukar tempat tinggal untuk sementara waktu samp
“Yes! Senang deh, kamu masih ingat aku. Sama siapa kamu kemari? Istrimu?”“Oh, nggak. Sama temanku. Kenalkan, ini Bastian.”Bastian yang memakai treadmill di samping Jonathan tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Mimin alias Mina tersenyum nakal sambil menerima uluran tangan laki-laki itu, “Mina. Tapi teman-teman sekolahku biasa memanggilku Mimin.”“Kupanggil apa ya, enaknya?” tanya Bastian sopan.“Mina aja. Terdengar lebih keren. Hehehe….” jawab wanita itu kenes seraya melepaskan tangannya kembali. Kemudian dia memalingkan wajahnya pada Jonathan lagi.
Mina berpikir sejenak sebelum kemudian menjawab, “I think so. Hahaha…, tapi pada dasarnya aku ini tipe orang yang suka bereksperimen. Nggak apa-apa, kan? Mumpung masih muda.”“Agree!” jawab Bastian mendukung. Jonathan cuma nyengir saja. Dia mengelap keringatnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada sesosok tubuh ramping dan rambut lurus panjang yang dikenalnya. “Sebentar, ya,” pamitnya pada kedua sahabatnya.“Eh, mau ke mana?” tanya Mina penasaran. “Mau nyapa orang,” jawab Jonathan langsung ngeloyor pergi. Didekatinya perempuan muda yang dikenalnya itu.“Halo, Karin,” sapanya ramah. Rupanya gadis itu adalah keponakan Rosa dan dala
“Mau pergi ke mana, There?” tanya Simon begitu melihat putrinya keluar dari kamar tidurnya. Penampilan Theresia seperti mau keluar rumah.Istri Jonathan itu menoleh ke arah ayahnya yang sedang duduk menonton televisi bersama istrinya. Perempuan cantik itu lalu berjalan mendekati ayahnya dan duduk di sampingnya.“There mau mengunjungi Mas Jon, Pa. Sudah satu setengah bulan kami nggak saling kontak sama sekali. Kondisinya seperti apa sekarang ini, There nggak tahu. Cuma dengar cerita dari Papa sama Tante Mila aja.”“Hehehe…, akhirnya kamu merasa kehilangan suamimu juga, Anakku. Baru terasa ya, kalau sudah nggak serumah seperti sekarang?”Theresia mengangguk lalu menundukkan wajahnya. Sebenarnya dia sudah lama merindukan kehadiran suaminya, tapi ayahnya selalu melarangnya untuk menghubungi Jonathan meskipun hanya melalui chat WA. Simon benar-ben
Mila merangkul suaminya dengan penuh kasih sayang. Ditepuk-tepuknya pundak laki-laki yang dicintainya itu dengan lembut. “Sudahlah, Mas. Tak ada gunanya menyesali masa lalu. Pernikahan Theresia dan Jonathan terjadi atas kehendak Tuhan. Kalau tidak, masa bisa bertahan selama sepuluh tahun! Ingatlah, kalau jodoh tak akan lari ke mana. Buktinya…hubungan kita sendiri sudah putus dan masing-masing menikah dengan orang lain. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian kita bertemu kembali dalam keadaan sudah sama-sama menjadi duda dan janda. Benar, kan?” Simon manggut-manggut membenarkan. Direngkuhnya istri tercintanya dalam pelukannya sambil berbisik mesra, “Terima kasih mau menerimaku kembali, Sayang.” Mila tersenyum bahagia sambil berkata, “Sama-sama, Mas.” Sepasang suami-
Jonathan jadi gelagapan sendiri. Mati aku! Berdua dengan Karin pergi ke mal? Wah, batinnya deg-degan.Gadis yang namanya disebut-sebut justru menyahut dengan ekspresi tak berdosa, “Iya, Pak. Bukankah Bapak tadi sudah mengajak saya?”Jonathan mati kutu. Ia sudah tak bisa berkutik lagi. Dengan berat hati bos besar itu mengangguk setuju. “Sepuluh menit lagi kita berangkat ya, Karin.”“Siap, Pak.”Mudah-mudahan nanti nggak ketemu Bastian atau Mimin di D-Mall, batinnya was-was. Mereka biasanya sore hari sudah ngendon di gym. Beda denganku yang petang hari biasanya baru tiba di sana.